Pertentangan antara kebenaran dan kebatilan adalah sunnatullah yang tidak berubah. Tidaklah aneh jika penghinaan, pemboikotan, penyiksaan bahkan pembunuhan mewarnai sejarah kehidupan para penyeru kebenaran, tidak terkecuali para utusan Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا
Sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu. Namun, mereka tetap sabar atas pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka hingga datang pertolongan Kami kepada mereka (QS al-An’am [6]: 34).
Bahkan ketika kebenaran itu dominan di masyarakat, masih ada kemungkinan rasa dengki yang memunculkan terjadinya penghinaan. Abu Bakar ra. pernah mengajak seorang Yahudi bernama Finhash untuk masuk Islam. Bukannya menerima, Finhash justru berkata, “Demi Allah, wahai Abu Bakar, kami tidak memerlukan Allah. Sesungguhnya Dia (Allah)-lah yang membutuhkan kami. Tidaklah kami merendahkan diri kepada-Nya sebagaimana Dia merendahkan diri-Nya kepada kami. Sesungguhnya kami tidak membutuhkan Dia. Bila Dia benar-benar Mahakaya sebagaimana yang dikatakan oleh Temanmu, niscaya Dia (Allah) tak akan meminta pinjaman kepada kita. Dia melarang kamu melakukan riba, namun memberikan riba kepada kami. Bila Dia benar-benar Mahakaya, Dia tak akan memberikan riba kepada kami.”
Dalam hal ini Finhash menggunakan firman Allah SWT:
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللّٰهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافاً كَثِيرَةً
Siapa saja yang mau memberi pinjaman kepada Allah dengan pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Allah pasti akan melipatgandakan pembayaran kepada dia dengan pelipatgandaan yang banyak (QS al-Baqarah [2]: 245).
Abu Bakar marah, lalu memukul wajah Finhash sambil berkata, “Demi Allah, andai tidak ada ikatan perjanjian antara kamu dan kami, aku akan membunuh kamu, hai musuh Allah!”
Finhash mengadukan hal ini kepada Nabi saw. Setelah mendengarkan pengaduannya, Nabi saw. menanyai Abu Bakar tentang insiden tersebut. Abu Bakar menceritakan apa yang telah terjadi, namun Finhash menyangkal telah melakukan penghinaan, Allah SWT kemudian menurunkan wahyu QS Ali Imran (3) ayat 181 yang membongkar kebohongan Finhash (Tafsîr Ibnu Katsîr, 2/176).
Walaupun kebencian yang berpotensi melahirkan penghinaan adalah sunnatullah, bukan berarti hal tersebut harus dibiarkan. Sudah merupakan sunnatullah juga, bahkan menjadi kewajiban untuk tidak ridha, menolak dan menghentikan berbagai penghinaan tersebut.
Akar Masalah: Sekularisme
Semakin massifnya penghinaan terhadap simbol-simbol Islam yang terjadi saat ini, mulai dari sandal bercorak lafal Allah/Muhammad, sajadah untuk menari, terompet dari cover al-Quran, cetakan kue berlafalkan ayat-ayat al-Quran, bungkus petasan berlafalkan ayat-ayat al-Quran, celana ketat bermotif kaligrafi surat al-ikhlas dan lain-lain, menggelitik pikiran kita, mengapa hal ini terus terjadi?
Suatu penghinaan bisa terjadi karena dua faktor. Pertama: Faktor kebodohan, yakni ketidaktahuan akan perbuatan yang merupakan penghinaan; atau ketidaktahuan akan kemuliaan apa yang dihina; atau mengejar materi yang tak seberapa dengan mengorbankan kehidupan yang kekal. Kedua: Faktor kedengkian yang mendominasi akal dan nurani. Akibatnya, kemuliaan yang sudah tampak jelas akan terlihat sebagai kehinaan; kebenaran akan terlihat sebagai kejahatan.
Namun, dua faktor ini tidak akan muncul kepermukaan jika tidak ditopang oleh negara sekular. Sekularisme, akidah yang memisahkan agama dengan urusan dunia, termasuk negara, telah menjadikan sendi-sendi kehidupan rakyat tidak diatur dengan Islam. Sekularisme menjadi asas bagi liberalisme yang diwujudkan dalam kebebasan berperilaku (freedom of behavior) dan berpendapat (freedom of speech) yang dijadikan alasan untuk melakukan penghinaan terhadap Islam. Akibatnya, makin suburlah berbagai penghinaan terhadap Islam.
Akibat nyata yang bisa kita saksikan antara lain: Pertama, berkembangnya kebodohan dan/atau pengabaian manusia akan agama; tidak tahu hak-hak Allah dan hak-hak manusia yang lainnya. Negara menganggap urusan keberislaman sebagai urusan individu; mau belajar tidak dilarang, mau tidak belajar juga tidak masalah. Mau shalat atau tidak juga tidak dipermasalahkan. Masalah memakai helm bagi pengendara motor dianggap ‘lebih penting’ untuk diperhatikan daripada mereka bisa membaca al-Quran atau tidak. Wajar jika lembaran al-Quran dijadikan terompet, karena bisa jadi pembuatnya tidak bisa membacanya, dia kira tulisan al-Quran tersebut hanyalah ukiran yang akan mempercantik terompet yang dia buat; atau bisa jadi dia bisa membacanya namun tidak tahu kalau itu al-Quran, atau tidak tahu kalau perbuatan yang dia lakukan itu tercela.
Kedua, tumbuh-suburnya paham-paham dan prilaku nyeleneh dengan mengatasnamakan toleransi, pluralisme maupun Islam Nusantara. Demi toleransi azan mengiringi lagu Natal (Jpnn.com, 29/12/15). Untuk menunjukkan Islam menyatu dengan budaya Nusantara dilakukan tarian dengan penari yang membuka aurat, berlenggang lenggok di atas karpet shalat. Ajaran kebatinan, yang menganggap kalau batin manusia sudah bersih maka boleh-boleh saja dia tidak terikat dengan syariah, boleh tidak shalat, itu pun bisa diakui sebagai keragaman Islam Nusantara. Agus Sunyoto dalam majalah Aulia menyatakan, “Kalau dikumpulkan ya kelompok-kelompok dari aliran kepercayaan macam-macam itu sebetulnya yang mewarisi Islam Nusantara. Saya lama meneliti golongan kebatinan yang beraneka ragam. Karena mereka memiliki tradisi yang sama, tradisi kebudayaan dan keyakinan yang sama pula.” (Hidayatullah.com, 26/5/15).
Ketiga, menjadikan umat yang mulia ini terlihat hina hingga akhirnya benar-benar jadi sasaran penghinaan. Penghinaan bukan saja terhadap umatnya, namun juga Islamnya. Ide sekularisme yang dianut negara telah menggusur sebagian besar hukum syariah Islam. Padahal syariah Allah inilah rahasia kemuliaan umat Islam, bahkan rahasia kebaikan umat manusia, Muslim maupun non-Muslim. Umar bin Khaththab ra. pernah mengatakan:
إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ فَأَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلاَمِ فَمَهْمَا نَطْلُبُ الْعِزَّةَ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللهُ بِهِ أَذَلَّنَا اللهُ
Sesungguhnya kita dulu adalah kaum yang hina, kemudian Allah muliakan kita dengan Islam. Bagaimanapun kita mencari kemuliaan selain dengan apa yang dengan itu Allah telah muliakan kita, maka Allah pasti akan menghinakan kita (HR Al Hakim).
Keempat, tidak ada hukum yang tegas yang membuat jera pelaku penghinaan. Penghinaan ibarat virus penyakit, jika tidak diobati, atau obatnya tidak mujarab, maka virus tersebut akan berkembang. Hukum yang dipakai dalam sistem sekular saat ini tidak mampu mengobati virus seperti ini. Bahkan virus penghinaan tidak akan dianggap mengganggu jika masyarakat tidak ‘menggeliat-geliat’ protes. Apa yang dilakukan penguasa terhadap oknum mahasiswa beberapa tahun lalu, yang mengubah takbir “Allahu Akbar” dengan “Anjinghu akbar”, “tuhan membusuk”, “kawasan bebas tuhan” dll., maupun yang terjadi akhir-akhir ini, sama sekali tidak memberikan efek jera kepada mereka; tidak juga memberikan pelajaran kepada yang lain agar tidak terjangkit virus yang sama.
Penghinaan Bentuk Lain
Orang-orang Arab Jahiliah dulu membuat berhala untuk disembah dan dipuja-puji. Mereka juga berkorban untuk berhala tersebut. Mereka akan marah jika ada yang berani menghina berhala mereka.
Dalam negara sekular, Allah SWT dianggap tak lebih dari sekadar berhala: silakan dipuji, disembah, dikagumi, disanjung. Namun, dalam mengatur kehidupan, Allah SWT ‘tidak boleh ikut campur’. Aturan-Nya tidak boleh diterapkan. Al-Quran boleh dibaca, dikaji, dihafal bahkan dilombakan; namun tidak boleh dijadikan rujukan dalam mengatur negara. Inilah bentuk lain penghinaan kepada al-Quran yang terus terjadi, hingga detik ini!
Padahal al-Quran pun melaknat siapa saja yang menghinanya. Anas bin Malik ra. berkata:
رُبَّ تاَل لِلْقُرآنِ وَالْقُرْآنُ يُلْعِنُهُ
Banyak orang yang membaca al-Quran, sedangkan al Qur-an melaknatnya (Ihyâ’ ‘Ulûm ad-Dîn, 1/674).
Ayat-ayat riba dibaca, namun ekonomi yang diterapkan justru berbasis riba. Ayat-ayat yang melarang kezaliman (memutuskan perkara selain dengan hukum Allah) dilantunkan, namun kezaliman (pengabaian hukum-hukum Allah) tetap dilanjutkan. Padahal ketika membaca al-Quran dibaca pula ayat:
أَلَا لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الظَّالِمِينَ
Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang zalim (QS Hud []: 18).
Sanksi Tegas
Penghinaan terhadap Islam, Allah SWT atau Rasul-Nya bisa menjadikan pelakunya tergolong murtad (keluar dari Islam). Imam ath-Thabari (w. 310 H) menceritakan bahwa ketika Rasulullah pergi ke Tabuk, beliau lewat di depan sekelompok orang munafik, mereka berkata dengan sesama mereka, “Lelaki ini (Nabi Muhammad) ingin menaklukkan Istana Syam dan benteng-bentengnya. Mustahil, mustahil!”
Kemudian Allah SWT memperlihatkan hal tersebut kepada Nabi-Nya. Nabi saw. lalu mendatangi mereka dan berkata, “Kalian telah mengatakan demikian dan demikian, bukan?” Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main.” Lalu turunlah firman-Nya:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ، لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ
Jika kamu bertanya kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Apakah kepada Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?” Tidak usah kalian minta maaf karena kalian kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kalian (lantaran mereka tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan yang lain disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa (QS at-Taubah [9]: 65-66).
Tidak ada perbedaan pendapat di antara ‘ulama bahwa hukuman bagi penghina Islam adalah hukuman mati jika dia tidak mau bertobat. Jika dia bertobat, gugurlah hukuman mati atas dirinya, hanya saja negara tetap memberikan ‘pelajaran’ kepada dia sesuai dengan ketetapan Khalifah, dengan memperhatikan tingkat penghinaannya. Ash-Shaidalâni (w. 427H), ‘ulama dari kalangan Syafiiyah, menyatakan bahwa pencaci Allah dan Rasul-Nya, jika bertobat, tobatnya diterima, tidak dihukum mati, namun tetap diberi ‘pelajaran’ dengan dicambuk 80 kali (Mughni al-Muhtâj, 5/438).
Dengan hukuman yang tegas, orang yang berpenyakit kedengkian dalam hatinya tidak akan sempat menularkan penyakitnya kepada orang lain.
Solusi Tuntas: Tegakkan Khilafah!
Mungkin sebagian kalangan bertanya, kok ujung-ujungnya Khilafah? Memang sebenarnya ada banyak solusi, mulai dengan melakukan protes jika ada penghinaan, melakukan aktivitas ‘riil’ seperti apa yang dilakukan Abu Bakar kepada Finhash (risikonya justru Islam yang akan dibully dan dianggap anarkis), mengadukan ke negara (lalu kasusnya ‘menguap’) dll. Hanya saja semua itu tidak mampu mencegah dan mengatasi persoalan penghinaan ini dengan tuntas.
Persoalan ini baru akan tuntas jika akar masalah, yakni sekularisme, dicabut dan dicampakkan dari kehidupan; kemudian ditegakkan sistem yang menjalankan seluruh aturan Allah SWT, yaitu sistem Khilafah. Khilafah akan menghilangkan masalah penghinaan terhadap Islam ini dari hal yang paling mendasar: kebodohan akan agama dan kedengkian.
Khilafah akan menjadikan Islam sebagai asas pendidikan. Akidah dan syariah Islam menjadi menu pertama dan utama dalam kurikulum pendidikan. Imam as-Safarini menyatakan:
أَوَّلُ وَاجِبٍ عَلَى الْعَبِيْدِ…مَعْرِفَةُ الإِلَهِ باِلتَّسْدِيْدِ
Kewajiban pertama atas seorang hamba adalah mengenal Tuhan dengan benar (Lawâmi’ul Anwâr, 1/112).
Ilmu pengetahuan yang sifatnya umum harus dikembangkan dalam kerangka menciptakan manusia yang hanya takut kepada Allah SWT semata. Dengan itu setiap dimensi kebenaran dapat ditegakkan terhadap siapapun tanpa pandang bulu.
Penutup
Penghinaan terhadap Islam sebenarnya hanyalah ‘efek samping’ dari sistem yang berlaku di negara sekular. Bahkan sistem sekular merupakan ‘penghinaan’ yang lebih besar, yang melahirkan penghinaan-penghinaan lain. Sudah saatnya umat mencampakkan sekularisme bersama perangkat aturan-aturan yang menentang aturan Allah SWT. Dalam hal ini, Khalifah Umar bin Khaththab, ketika menjawab pengaduan Saad bin Abi Waqqash r.a, tentang kitab-kitab bangsa Persia, berkata:
اِطْرَحُوْهَا فِي الْمَاءِ، فَإِنْ يَكُنْ مَا فِيْهَا هُدَى فَقَدْ هَدَانَا اللهُ بِأَهْدَى مِنْهُ، وَإِنْ يَكُنْ ضَلَالًا فَقَدْ كَفَانَا اللهُ
Lemparkan buku-buku tersebut ke air (sungai/laut). Jika di dalamnya ada petunjuk, maka sungguh Allah telah menunjuki kita dengan yang lebih baik dari itu (yakni Islam). Jika di dalamnya terdapat kesesatan maka sungguh Allah telah mencukupi kita (Târîkh Ibnu Khaldûn, 1/631).
WalLâhua’lam bi ash-shawâb. [M. Taufik N.T., S.Pd., M.Si.]