Rencana penutupan usaha PT Panasonic Lighting di Cikarang, Jawa Barat, dan Pasuruan, Jawa Timur, serta PT Toshiba Indonesia di Cikarang akan berdampak pada pemutusan hubungan kerja ribuan pekerjanya.
“Sekitar 2.500 pekerja akan di-PHK,” ujar Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal dalam konferensi pers di Hotel Mega Proklamasi, Jakarta, Selasa (2/1/2016).
Said menjelaskan, ribuan pekerja itu terdiri atas sekitar 1.700 anggota KSPI di PT Panasonic dan 970 anggota KSPI di PT Toshiba. Ia merinci, sebanyak 600-700 pekerja dari Panasonic Lighting Pasuruan di-PHK pada periode Desember 2015-Januari 2016.
Sementara itu, Panasonic Lighting Cikarang-Bekasi, sejumlah 900-1.000 karyawan di-PHK untuk periode Januari 2016 sampai dengan Maret 2016.
Kedua pabrik Panasonic Lighting ini resmi ditutup. Pabrik Toshiba di Cikarang-Bekasi pun mengumumkan ditutup pada pertengahan Januari lalu. Saat ini, pekerja tengah dalam proses negosiasi pesangon. Perusahaan akan resmi berhenti beroperasi pada Maret mendatang.
Di luar dua perusahaan elektronik raksasa ini, terdapat dua perusahaan elektronik lain asal Korea Selatan yang juga mengumumkan akan menutup pabriknya di Indonesia, yaitu PT Samoin, yang telah mem-PHK 1.200 karyawannya, dan juga PT Starlink, yang mem-PHK 500 orang pekerja. Kedua perusahaan ini telah selesai beroperasi di Indonesia pada Januari kemarin.
Said Iqbal mengatakan, tutupnya Panasonic Lighting dan juga Toshiba ini memberikan sinyal negatif terhadap investor asing yang akan datang ke Indonesia. Selain itu, yang paling buruk menurut Said adalah lantaran Kementerian Perindustrian tidak mengetahui penutupan pabrik ini.
Faktor lesunya industri elektronik ini, menurut Said Iqbal, di antaranya adalah kondisi pasar yang tidak kondusif. Melambatnya pasar global turut memengaruhi pasar domestik. Perlambatan ini mengakibatkan barang produksi menjadi tidak laku di pasaran. Selain itu adalah karena menurunnya daya beli masyarakat.
Manajemen Panasonic Lighting dan Toshiba mengklaim, penutupan pabrik bukan lantaran upah buruh yang tinggi, melainkan karena sepinya pasar dan penurunan daya beli.
Namun, kata Said, PP Nomor 78 Tahun 2015 mengenai pengendalian upah terbukti menurunkan daya beli masyarakat karena buruh pabrik merupakan pasar utama dari industri padat modal, seperti industri otomotif dan sebagainya. Dengan adanya pengendalian upah, daya beIi menjadi turun sehingga tingkat konsumsi masyarakat pun menjadi lemah.
Dengan PHK, pelemahan daya beli ini, tingkat pertumbuhan ekonomi 2016 yang ditargetkan mencapai 5,3 persen, menurut Said Iqbal, tidak akan tercapai dan hanya akan tumbuh sama seperti 2015 lalu, di level 4,7 persen.
Faktor lain ialah kegagalan paket kebijakan pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla di tingkat implementasi karena justru banyak perusahaan yang tutup. Faktor ketiga, menurut Said Iqbal, adalah retorika paket kebijakan hanya untuk menyenangkan investor. Padahal, kenyataannya investor memilih wait and see untuk masuk ke Indonesia lantaran banyak yang hengkang. (kompas.com, 3/2/2016)