Salah satu mutiara berharga yang dimiliki oleh umat Islam adalah peninggalan jejak Nabi Muhammad Saw, berupa Sirah (perjalanan) hidup beliau, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Sirah Nabawiyah.
Sirah Nabawiyah menempati kedudukan layaknya hadits atau sunnah. Karena, sebetulnya Sirah Nabawiyah pada dasarnya disusun melalui metode periwayatan hadits. Konsekuensinya, sikap kita terhadap Sirah pun mestinya sama dengan hadits, yakni menempatkannya sebagai panduan dalam beramal.
Dan tentu saja, dalam Sirah Nabi tercakup hukum-hukum yang membuat kita perlu mengamalkannya. Yang di dalamnya juga ada klasifikasi hukum Wajib, Sunnah, Mubah, Makruh, dan Haram. Titik tekan Sirah bukanlah amal perbuatan Nabi Saw sehari-hari. Karena, hal tersebut telah terangkum dalam kitab-kitab induk hadits atau sunnah. Kitab-kitab Sirah lebih berisi tentang alur perjalanan kehidupan Nabi Saw.
Secara lebih lengkap, kitab-kitab Sirah mengupas situasi dan kondisi yang melingkupi tempat di mana Nabi Muhammad Saw dilahirkan. Juga termasuk silsilah beliau Saw ke atas, dari ayah, kakek, buyut, dan seterusnya. Demikian pula tentang proses permulaan turunnya wahyu, penyebaran Islam, halang rintang di dalam dakwah, nama-nama sahabat yang menyertai dakwah beliau, pernikahan, hingga wafatnya beliau Saw.
Tentu yang membawa konsekwensi hukum Islam, adalah perjalanan hidup Nabi Muhammad Saw semenjak beliau diangkat menjadi Nabi. Karena memang tidak ada risalah sebelum itu.
Urgensi kita mengenal Sirah adalah agar kita mengetahui kiprah dan sepak terjang beliau Saw dalam menempuh proses dakwah dengan segala tahapannya; bagaimana Beliau memulai dakwah; dan bagaimana beliau menghadapi segala tantangan dakwah.
Para ulama telah memberikan perhatian penuh dalam hal Sirah ini. Telah banyak buku yang ditulis dengan berbagai sudut pandang sehubungan dengannya. Mulai dari karya Ibnu Ishaq, Ibnu Hisyam, lalu Muhammad al Gazali, Said Ramadhan al Buthi, hingga al Mubarakfuri dan Prof. Rowas al Qol’ahji.
Penting Diajarkan di Sekolah
Tentu pelajaran tentang Sirah Nabawiyah penting untuk diajarkan di sekolah. Karena, hanya dengan begitu siswa bisa kenal lebih dekat dengan Nabi panutan mereka. Jika dipelajari secara benar, maka secara garis besar ada 5 hal penting yang bisa dipetik dari Sirah Nabawiyah:
Pertama, Aspek pribadi Rasulullah. Betapa mulia silsilah beliau dan betapa luhurnya pribadi dan akhlaq beliau
Kedua, aspek tahapan dakwah. Beliau berdakwah dengan tahapan yang apik.
Ketiga, sikap dan tindakan beliau menghadapi tantangan dakwah. Dengan dibimbing oleh wahyu, maka setiap tantangan di semua fase dakwah dan kehidupan beliau dihadapi dengan cara yang tepat
Keempat, aspek Leadership atau Kepemimpinan. Beliau memiliki integritas yang tiada bandingannya. Kesatuan kata, perbuatan, dan luasnya pengaruh sebagai hasil kerja dakwah beliau belum ada yang menandinginya.
Kelima, aspek heroisme para sahabat beliau. Tidak ada generasi sehebat para sahabat. Dan tidak ada pengorbanan sehebat para sahabat. Dan ini tidak kita temukan di umat dan bangsa manapun
Dari kelima aspek itu, kesemuanya mengajarkan pesan keluhuran dan kemuliaan dalam menjalani hidup, membangun kehidupan, dan menata peradaban.
Kita bisa pastikan bahwa tidak ada kesalahan dalam Sirah Nabawiyah. Bahkan potensi kesalahan pun tidak. Itu sebabnya, tak mungkin dapat terbersit di akal fikiran yang sehat tentang kemungkinannya Sirah Nabawiyah menjadi akar bagi lahirnya kesalahan atau kesesatan, apalagi tindak kekerasan. Itu jika dipelajari secara obyektif dan niat ikhlas ingin meneladani Nabi Saw.
Kesalahan itu memang mungkin terjadi dalam penulisan Sirah Nabawiyah, pengutipan, atau penafsirannya. Terlebih jika penyusun kisah hidup Nabi Saw tersebut adalah orientalis, tentu potensi kesalahan makin banyak. Orientalis tidak hanya bisa salah meninjau dan mengulas, tapi juga bisa salah data, dan sangat mungkin menyengaja melakukan kesalahan dalam pemaparan, dan melayangkan tuduhan palsu dalam rangka mendiskreditkan sosok Nabi Saw.
Jika kita ingin melahirkan generasi yang berakhlak luhur, berkepribadian yang punya integritas, bermental leadership yang handal, tinggi pengabdian bagi kebaikan masyarakat, dan jitu dalam menemukan solusi bagi tantangan kehidupan, maka Sirah Nabawiyah mesti menjadi mata pelajaran utama di sekolah dasar dan menengah. Yang penting harus dipastikan bahwa materi Sirah yang diajarkan memiliki sumber rujukan yang otentik dan akurat, atau dengan kata lain diperoleh dari periwayatan yang shahih.
Tidak Ada Anjuran Kekerasan dalam Sirah Nabawiyah
Harus diakui bahwa materi pelajaran Sirah Nabawiyah yang ada di sekolah-sekolah belumlah cukup komprehensif. Karena mestinya harus dilengkapi dengan pesan aplikatif berupa dorongan kepada siswa untuk membentuk karakter diri yang meneladani Nabi Muhammad Saw. Juga tidak dilengkapi dengan gambaran tahapan dakwah Nabi Saw secara komprehensif, mulai pertama beliau menerima wahyu, titik tolak penyebaran dakwah secara terbuka, hingga keberhasilan beliau menduduki tampuk kepemimpinan yang bermula di Madinah, melebar ke Makkah hingga merata di seluruh kawasan Jazirah Arab.
Termasuk memaparkan asas konstitusi yang beliau jadikan patokan dalam memimpin masyarakat. Selanjutnya para siswa diarahkan untuk turut menempuh langkah seperti yang beliau jejakkan tersebut.
Kepada para siswa diberi pesan agar tidak boleh berpangku tangan melihat berbagai realitas di banyak dimensi kehidupan yang jauh dari agama. Apalagi ikut hanyut pada kerusakan masyarakat. Lalu mereka dibimbing untuk mencontoh sifat-sifat dakwah Nabi Muhammad Saw, agar tidak salah kaprah dan tidak keliru langkah.
Beginilah semestinya orientasi yang perlu dibangun ketika kita ingin mengevaluasi Materi Pelajaran Sejarah Hidup Nabi Saw di sekolah-sekolah. Agar tidak menjadi pelajaran kosong tanpa makna, sekedar meramaikan kurikulum sekolah bidang sejarah. Bukan malah mereduksi, mengeliminir, apalagi menghapus data-data sejarah yang kebenarannya telah disepakati oleh ulama umat Islam dari masa ke masa. Yang lebih mengecewakan adalah jika muncul ‘kecurigaan’ bahwa materi pelajaran itu dsinyalir menjadi akar bagi lahirnya ideologi kekerasan.
Pelajaran yang ada sekarang sudah bagus. Tidak ada masalah di situ. Hanya perlu dilengkapi dan diberikan orientasi yang proporsional kepada para siswa. Ada banyak problematika kesiswaan yang harus dijadikan perhatian dan sorotan. Mulai dari pergaulan bebas, narkoba, rendahnya mentalitas leadership, hingga ketidakjelasan visi menyongsong masa depan. Perkara-perkara ini yang harus diutamakan untuk ditinjau. Bukannya malah materi pelajaran sejarah Nabi.
Kisah-kisah peperangan di zaman Nabi Muhammad Saw harus dilihat dari sudut pandang yang komprehensif dan adil. Bahwa perang itu adalah dalam rangka dua hal: (1) Perlawanan dan tindakan defensif atas serangan dan gangguan musuh, (2) Tindakan ofensif untuk menghalau segala penghalang dakwah yang secara keji menghalangi diterimanya Islam oleh masyarakat luas.
Dalam dua point itu, bagaimana bisa muncul kesimpulan bahwa ini berpotensi mengajarkan kekerasan. Silakan saja survei kepada seluruh siswa di negeri ini yang suka melakukan kekerasan dan tawuran. Apakah mereka melakukan itu diinspirasi oleh kisah-kisah perangnya Nabi bersama para sahabat melawan kezaliman orang-orang kafir dan musyrik atau para siswa pegiat tawuran itu malah ber-uswah pada ilmu-ilmu kekerasan yang diajarkan di ‘madrasah-madrasah’ bernama Televisi?
Terlalu jauh rasanya untuk menghubungkan tindak kekerasan dan terorisme itu berakar dari pelajaran Sejarah Hidup Nabi. Lupakah kita bahwa pelajaran sejarah termasuk pelajaran yang kurang diminati kebanyakan siswa. Nilai sejarah, terutama menyangkut peristiwa demi peristiwa beserta penanggalannya, rata-rata nilai rapor nya kurang begitu memuaskan. Lalu, setelah mereka lulus sekolah, dan bergumul dalam kehidupan nyata, dan mereka telah lupa akan seluruh pelajaran Sejarah Hidup Nabi yang pernah mereka dapatkan di bangku sekolah, hingga ada yang mengikuti pergerakan dan organisasi, lalu melakukan tindakan yang disebut teror, pantaskah kita menghubungkan-hubungkannya? Sekolah males-malesan, pelajaran sejarah kurang minat, nilai sejarah di rapor kurang memuaskan, lalu melakukan tindak kekerasan disebut berakar dari pelajaran Sejarah Nabi…ini sulit memahaminya.
Logika Keliru
Berdasarkan alur berpikir di atas, maka tentu kita mestinya belum bisa menerima wacana yang dimunculkan oleh pihak kementrian agama untuk melakukan perbaikan pelajaran sejarah dengan motivasi ingin lebih mengajarkan Islam yang damai dan rukun serta mencegah tindak kekerasan. Kabalitbangdiklat Kementrian Agama, Abdurrahman Masud menyatakan “Kajian kita menunjukkan bahwa sejarah Nabi Muhammad lebih menitikberatkan pada perang-perang, tapi aspek luas tentang sifat nabi yang amanah, jujur, sangat adil, humanis belum banyak di literatur, apalagi literatur di sekolah” (bbc.com/indonesia, 11 Januari 2016).
Benar bahwa penulisan buku sejarah Nabi, termasuk yang diajarkan di sekolah, sarat akan data peperangan. Tapi itu perlu dilihat dari aspek-aspek luhur dalam kehidupan. Seperti sabar menghadapi gangguan, rela berkorban menghadapi segala tantangan, tegar menghadapi serangan musuh, elegan tampil ke depan sebagai pahlawan, termasuk teladan kepemimpinan sang panglima yang gagah berani.
Tokoh buku sejarah perjuangan Indonesia juga sarat akan hal-hal seperti ini. Tapi mengapa ini tak pernah diusik? Film-film dari Barat tentang heroisme, seperti Superman, Spiderman, Batman, dan kisah-kisah fiktif lainnya pun sarat akan pertarungan. Malah terlalu banyak bumbu-bumbu yang beracunnya. Tapi kenapa bukan ini yang dicegah masuk ke rumah-rumah?
Bukankah kita sekarang sedang dalam masa yang terus berjuang menjayakan kehidupan bangsa dan umat. Sehingga tentu kita membutuhkan teladan perjuangan. Dan siapakah teladan terbaik kita kalau bukan Nabi Muhammad Saw. Allah Swt telah menegaskan: “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik, bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan banyak mengingat Allah (al Ahzab [33] : 21)
Kita tentu harus menentang segala bentuk kekerasan dan terorisme yang merugikan masyarakat umum. Tapi kita juga harus tepat dalam menganalisa akar masalah kekerasan yang sesungguhnya, lalu memberi solusi yang jitu.
Ada satu kritikan yang perlu dilayangkan kepada Bapak Menteri Agama, H Lukman Hakim Saifuddin, ketika diwawancara oleh BBC Indonesia, beliau mengatakan “Jadi intinya, kita ingin melengkapi kesan Rasulullah itu tidak hanya semata sebagai tokoh atau figur pemimpin perang, sebagaimana selama ini dikesankan oleh sebagian anak-anak kita.”
Ini tidaklah benar. Karena, yang dikenal oleh siswa secara kental sebagai figur pemimpin perang itu adalah Jendral Sudirman, Diponegoro, Cut Nyak Dhien, dan lain-lain. Siswa-siswa sekolah sudah sangat faham kalau menyebut Nama Nabi Muhammad Saw, para siswa malah lebih fasih menceritakan peristiwa isra mi’raj, menyepi di gua hira, beliau bersabar saat dilempari kotoran, tanda-tanda kenabian sejak beliau kecil, perniagaan beliau ke Syam, pernikahan beliau dengan Khadijah dan Aisyah. Bahkan mereka tidak begitu hafal mengenai kisah-kisah peperangan Nabi.
Ketika BBC Indonesia menanyakan tentang wacana perubahan pelajaran sejarah Nabi “Apakah rencana ini juga berangkat dari semacam kekuatiran, analisa atau hipotesa umum, bahwa karena materi sejarah Nabi Muhammad selama ini menonjolkan aspek peperangan, itu berpengaruh terhadap sikap atau pemahaman yang radikal?” Bapak Menteri Lukman menjawab “Saya tidak tahu persis apakah ini ada korelasi yang signifikan atau tidak.” (bbc.com/indonesia, 11 Januari 2016).
Semestinya tegas dijawab bahwa sama sekali tidak ada kaitannya. Karena memang faktanya tidak ada korelasinya. Jika membiarkan kekuatiran ini muncul, dan analisa atau hipotesa umum tidak segera dibantah, bisa-bisa kita malah mempersoalkan ayat-ayat al Quran tentang Jihad. Naudzu billahi min dzalik. Karena faktanya, peristiwa demi peristiwa peperangan Nabi Muhammad Saw itu berada dalam arahan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang tertuang dalam banyak ayat.
Kalaupun ingin ada penambahan materi pelajaran, ada baiknya yang ditambah itu adalah tentang keagungan peperangan Nabi Saw yang tidak kejam seperti perang ala Barat. Juga bisa tentang akhlaq Nabi Saw dalam peperangan. Termasuk tentang Fiqh Jihad dan etika perang dalam Islam misalnya yang tidak membolehkan merusak rumah ibadah agama lain, merusak tanaman, membunuhi orang tua renta, wanita, dan anak-anak secara membabi buta, dan lain-lain.
Model perang yang diperlihatkan Nabi malah harus dengan percaya diri kita tawarkan menjadi referensi bagi para panglima perang dari berbagai bangsa dan agama di seluruh dunia. Agar mereka juga bisa belajar pada Islam bagaimana berperang itu agar lebih humanis dan manusiawi. Tidak sadis, jahat, dan hewanis seperti yang mereka (Barat dan Kafir) pertontonkan di Palestina, Irak, Afganistan, Burma, Chechnya, Suriah, dan lain-lain.
Adapun soal teladan moral, kasih sayang, dan toleransi Nabi Saw itu bagusnya dibuatkan buku tersendiri yang terpisah dari Sirah Nabawiyah. Dan itupun harus ditulis oleh orang yang punya kapasitas keilmuan dan kejujuran yang tinggi. Kalau diserahkan penulisannya ke anak-anak liberal, malah rusak isinya. Bisa-bisa isu-isu LGBT, ikut merayakan hari raya agama lain dengan dalih toleransi, dll, disusupkan di sana.
Wallahu a’lam bish shawab.[]
Zamroni Ahmad,Lajnah Tsaqofiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia