Oleh H. Luthfi Hidayat, SP, MP.
Jika dalam produk-produk dalam negeri kita mengenal label SNI (Standar Nasional Indonesia), mungkin saat ini perlu ditambahkan satu label lagi, SSI, Semua Serba Impor. Tidak peduli barang atau orang, semua serba diimpor oleh negeri ini, jika dirasa menguntungkan untuk jangka pendek dan bagi segelintir orang.
Mulai dari pakaian, kota-kota di negeri ini beberapa waktu yang lalu dibanjiri pakaian bekas impor. Dan kondisinya cukup memukul sektor garmen yang menjadi salah satu andalan produksi Indonesia.
Daging sapi juga impor. Dan yang aneh, meski impor, harga daging sapi di Indonesia tetap saja lebih mahal dari harga daging sapi standar dunia dan negara tetangga. Harga daging sapi di Indonesia Rp 120.000 per kilogram. Sementara di Malaysia separohnya, yakni Rp 60.000 per kilogram. Dan harga daging sapi di pasar dunia saat ini adalah 45.000 per kilogram.
Demikian juga di sektor perikanan. Beberapa pasar di Jawa Barat ikan asinnya dipenuhi ikan asin impor dari Thailand dan Taiwan. “Hampir seluruh lapak didominasi penjualan ikan asin impor seperti Thailad dan Taiwan,” kata salah seorang pedagang ikan asin di Pasar Cisaat Kabupaten Sukabumi (Antara Sukabumi, 25/01/2016).
Impor juga merasuk sampai ke dapur rumah tangga kita. Garam dapur juga impor. Garam Indonesia diimpor dari Australia, India, Slandia Baru, dan tidak ketinggalan dari China. Rata-rata Indonesia impor garam 1,5 juta ton setiap tahun (Indonesiamedia.com).
Yang biasanya kita selalu ekspor, seperti TKI (Tenaga Kerja Indonesia) dan TKW (Tenaga Kerja Wanita), kali ini kita juga impor tenaga kerja. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal mengungkapkan, puluhan ribu pekerja asal Tiongkok sudah membanjiri Indonesia. Dan yang sangat disayangkan, pekerja yang masuk ini justru bukan tenaga kerja terampil, melainkan hanya mengurusi pekerjaan kecil.
Gubernur Banten, Rano Karno juga pernah mengatakan , “Di Banten saja, ada 30 ribu pekerja Tiongkok masuk ke Banten.” Said juga mengungkap, saat ini ada sebanyak 6.000 pekerja asal Tiongkok sudah masuk Sulawesi Tenggara untuk menangani proyek mercusuar.
Beberapa saat lagi Indonesia juga impor jagung. Pemerintah menunjuk Perum Bulog menjadi satu-satunya importir jagung di tengah kelangkaan jagung di awal tahun. Pada tahap awal, Bulog diberi tugas mengimpor 600.000 ton jagung hingga Maret 2016. “Tanggal 7 Februari mulai masuk. Jumlahnya 40.000 ton, semuanya dari Argentina. Tapi belinya dari trader, semua jagung asalnya dari Argentina,” kata Djarot ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (2/2/2016). Ia melanjutkan, pihaknya sudah menandatangani pembelian jagunvg dari Brazil dan Argentina sebesar 260.000 ton dari 600.000 alokasi yang diberikan pemerintah pada Bulog di awal tahun.
Demikian pula dengan sektor otomotif, tidak butuh waktu lama bagi perusahaan mobil (joint venture) asal China, SAIC-GM-WULING atau dikenal “Wuling” segera berproduksi dan memasarkan mobilnya di Indonesia. Bahkan mereka sudah menyatakan siap mengambil pasar di dalam negeri. Pada 2017, Indonesia akan dimasuki oleh SAIC-GM-Wuling (SGMW). Sebagai tahap awal perusahaan patungan antara General Motors China dengan SAIC dan Wuling Motors telah melakukan ground breaking pabrik di Bekasi pada Agustus 2015 (detik.com). Tidak ada lagi cerita soal mobil SMK.
Yang cukup memalukan adalah impor listrik dari Malaysia. Untuk lima tahun pertama, Indonesia akan mengimpor listrik dari Malaysia sebesar 50 MW saat Lewat Waktu Beban Puncak (LWBP) dan 230 MW saat Waktu Beban Puncak (WBP).
Pada tahap awal terkoneksi ini, SESCO MAlaysia akan menyalurkan daya listrik sebesar 10 MW dan secara bertahap akan dinaikkan menjadi 50 MW sampai periode akhir MAret 2016. Untuk selanjutnya, Malaysia akan menyuplai 50 MW saat LWBP dan 230 MW saat WBP (detik.com).
Atas beragam barang dan orang yang membanjiri negeri ini, pemerintah menjadikan tidak tercukupinya stok dalam negeri sebagai alasan. Namun jika keadaannya terus berulang, bahkan seolah jadi budaya, keadaannya akan berbeda.
Impor berbagai komoditas tersebut akan menjadikan kita tidak pernah mandiri dan selalu tergantung dengan negara lain. Kita dijajah dengan produk asing.
Pemerintah juga terkesan tidak pernah serius membenahi infrasruktur dan teknologi untuk menjamin kelangsungan tersedianya suplai komoditas tersebut, di musim dan keadaan tertentu.
Ikan asin sebagai contoh, kondisi minimnya suplai selalu berulang dengan alasan musim. Baik dari sisi penangkapan atau pun sisi pengolahan. Proses pengolahan kita yang hanya mengandalkan pada kondisi alam (pemanasan matahari) senantiasa menjadi persoalan di musim hujan.
Dan yang aneh, atas kondisi ini, Menteri Kelautan dan Perikanan malah menginginkan 100 % persoalannya diserahkan kepada swasta asing (liberalisasi). Inilah wujud nyata mental yang ter-asingi, alias mental terjajah.
Banjir produk impor, sebenarnya juga sebuah konsekuensi logis ketika Pemerintah masuk dalam perangkap berbagai kesepatan wilayah ekonomi.
Berbagai kesepatakan ekonomi regional seperti GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), AFTA (ASEAN Free Trade Area), NAFTA (North American Free Trade Area)/Perdagangan Bebas America Utara, MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN), TPP (Trans Pacific Partnership) , dan berbagai blok perdagangan lainnya adalah istrumen negara-negara besar untuk mendapatkan bahan baku murah dan meruntuhkan dinding batas pangsa pasar. Bahasa lain dan hakikatnya adalah penjajahan ekonomi.
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sebagai contoh. Tujuan MEA adalah menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan basis produksi yang meniscayakan terjadinya aliran (impor maupun ekspor) barang, jasa, investasi, modal, dan buruh terampil secara bebas.
Tarif bea masuk impor barang negara-negara ASEAN yang nol persen mencapai 96 % dari total barang yang diperdagangkan. MEA hakikatnya adalah instrumen penjahan ekonomi negara-negara maju atas negara-negara berkembang. Mau bersaing seperti apa disaat yang sama dan realitasnya kita senantiasa kalah bersaing. Sekali lagi kita terjajah.
Setelah MEA, Indonesia disebut-sebut juga akan ikut pada perdagangan Blok Amerika atau Trans-Pasific Partnership (TPP). Berikutnya akan masuk ke Blok Eropa, lalu blok China. Walau tanpa masuk blok China pun negara ini sudah banjir dengan produk China.
Memang tidak ada larangan untuk impor barang bagi sebuah negara. Namun ketika impor ini terus dilakukan dan menjadi budaya, keadaannya akan menjadikan negeri ini tidak pernah mandiri. Selain merupakan bukti bahwa Negara “kalah” dengan segelintir pengusaha importir yang memang mengeruk banyak keuntungan dari proses impor barang.
Karenanya banjir impor di negara ini merupakan cermin Negara yang tidak mandiri dan dikelola oleh Penguasa dengan mental terjajah.[]