Oleh: Gusti Orrin (Pengurus DPD I HTI Kalsel)
SEMENJAK RUNTUHNYA Sosialisme Sovyet dan Eropa Timur, kibar arogansi AS dan sekutunya kian menjulang. Sekarang tak ada lagi kutub rival. Mereka sendirian. Maka adalah wajar kalau AS dan Blok barat pada umumnya beranggapan, bahwa keruntuhan sosialisme merupakan kemenangan bagi ideologi Kapitalisme. Bahkan secara berlebihan, Francis Fukuyama, seorang filosof Jepang penganut kapitalisme yang fanatik, mengklaimnya sebagai babak akhir perjalanan sejarah.
Dengan adanya dominasi tunggal AS sebagai negara adidaya dan pengembang kapitalisme terbesar, lahirlah apa yang disebut tata dunia baru (the new world order). Dan kini AS tengah berusaha menancapkan dominasi ideologi kapitalisme di tengah umat manusia. Syekh Taqiyuddin an Nabhani mensinyalir, bahwa penjajahan (isti’mar) merupakan metode baku (thoriqoh) yang senantiasa dilakukan untuk memantapkan pengaruh dan memperluas hegemoninya, sekalipun dengan cara (uslub) yang berkembang. Oleh karena itulah kita kemudian mengenal istilah kolonialisme gaya baru. Penjajahan ekonomi, politik, hukum, budaya, dan lain-lain membuktikan hal tersebut.
Namun, terdapat penghalang bagi semakin berkembangnya ideologi kapitalisme, yakni Islam yang semakin hari semakin menunjukkan geliat kebangkitannya. Untuk itu AS merasa perlu melemahkan kekuatan kaum muslimin. Salah satu cara yang saat ini tengah dilakukan adalah menyebarkan isu dan stigma terorisme pada Islam, walaupun tidak diucapkan secara nyata, namun sangat jelas dalam kenyataan.
Mendapati hal ini, adalah penting bagi kaum muslimin untuk berfikir jernih dan bersikap kritis terhadap ideologi kapitalisme yang ditancapkan di benak kaum muslimin. Sehingga kebenaran akan nampak sebagai kebenaran, dan kebatilan pun memperlihatkan wajah aslinya sebagai kebatilan.
Rusak Sejak Awal
Kelahiran kapitalisme bermula pada saat kaisar dan raja-raja di Eropa berkolusi dengan kekuasaan agama (Kristen) untuk menghisap rakyat, memaksakan kehendak, dan menganiaya. Para pemuka agama, waktu itu, dijadikan perisai untuk mencapai keinginan mereka.
Gejolak tak terelakkan. Tragedi Galileo Galilei di abad XVII merupakan tragedi paling tragis yang dirayakan sebagai upacara penolakan tegas atas otoritas kontrol rohaniawan terhadap segala bentuk pengetahuan dan klaim absolut atas kebenaran. Pekabaran Galileo – tentang pusat tata surya yang membantah teori Ptolomeus yang telah dipampatkan sebagai doktrin gereja – menjadi berita yang tersebar semakin luas. Kecakapan literer dan kemahiran Galileo dalam menuliskan gagasannya secara cerdas dan jernih telah mendorong terbentuknya arus opini baru. Buah fikirannya menjadi tikaman yang lain bagi gereja yang ketika itu juga tengah bersaing keras dengan gelombang Protestanisme yang dikobarkan Martin Luther.
Otoritas gereja memang berhasil membungkam Galileo dan memenjarakan keyakinannya. Benar pula bahwa gereja mampu membendung sekaligus menaklukkan gelombang pemberontakan Protestanisme yang dipimpin Thomas Munzer – manifestan ajaran Luther. Namun pemikiran Galileo dan Martin Luther telah terlanjur merasuk ke kepala sekian banyak orang yang juga gemar mempertanyakan setiap klaim tentang kebenaran. Maka timbullah pergolakan sengit yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan cendekiawan.
Akhirnya, sebagian mereka mengingkari agama secara mutlak, sedangkan yang lain mengakui agama tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan dunia. Sampai kemudian pendapat mayoritas dari kalangan filosof dan cendekiawan lebih cenderung memilih ide yang memisahkan agama dari kehidupan. Disepakati pula pendapat untuk tidak mempermasalahkan agama, dilihat dari segi diakui atau ditolak. Sebab, yang menjadi masalah adalah agama itu harus dipisahkan dari kehidupan.
Hal ini menggeser supremasi keyakinan teologis atas kemahakuasaan Tuhan dalam mengatur relasi-relasi kehidupan. Jika Tuhan sudah terwakilkan, maka secara logis Dia boleh tidak ada dalam penyelenggaraan kehidupan dunia. Artinya, manusia menjadi lebih bebas dalam merealisasikan kehidupannya tanpa campur tangan kekuatan lain di luar dirinya sendiri.
Ide ini dianggap sebagai jalan kompromi antara pemuka agama yang menghendaki segala sesuatunya harus tunduk kepada mereka – dengan mengatasnamakan agama – dengan para filosof dan cendekiawan yang mengingkari adanya agama dan dominasi para pemuka agama. Jadi, ide ini sama sekali tidak mengingkari adanya agama, akan tetapi juga tidak menjadikannya berperan dalam kehidupan. Yang mereka lakukan tidak lain memisahkan agama dari kehidupan. Agama hanya berada di ruang privat, tidak di ruang publik. Inilah sekulerisme! Dan pemahaman sekuler inilah yang menjadi landasan bagi tegak dan lestarinya kapitalisme.
Sistem yang Rusak
Sebuah sistem kehidupan senantiasa disandarkan kepada suatu landasan (aqidah). Sistem kehidupan yang bobrok merupakan konsekuensi logis dari aqidah yang rusak. Aqidah sekuler yang menjadi asas kapitalisme sudah terang kekeliruannya sehingga apapun yang terpancar darinya pasti akan rusak. Andrew L. Shapiro dalam bukunya ‘Amerika Nomor 1’, memaparkan kondisi AS sebagai negara kapitalisme terbesar yang kontradiktif dan ironis. Kondisi ini menjadi bukti atas kerusakan kapitalisme.
Kebebasan perilaku yang diagung-agungkan yang membawa kepada pergaulan semau gue, memberikan hasil yang “menakjubkan”. AS menduduki posisi teratas dalam masalah remaja yang mendapat gelar MBA (Married by Accident). Satu di antara remaja puteri berusia 15 – 19 tahun menjadi hamil per tahunnya per kapita. Hal ini lebih besar dua kali lipat dibandingkan dengan Inggris, tiga kali lipat dibandingkan Swedia, dan enam kali lipat dibandingkan dengan remaja Belanda. Dengan kondisi seperti itu, AS pun menjadi nomor satu dalam masalah aborsi di antara 19 negara maju. Lebih dari 1,5 juta kasus aborsi dalam setahun.
Hasil lain akibat pergaulan bebas adalah prestasi “spektakuler” AS dalam hal AIDS. AS ternyata memiliki penderita AIDS sepuluh kali lebih banyak dibanding Uganda – negara asal penyakit tersebut. Pada dekade pertama AIDS ditemukan (1981), paling sedikit satu juta warga AS telah terjangkiti virus HIV. Pada akhir 1993 saja sebanyak 480.000 warga AS terjangkiti AIDS dan sebanyak 340.000 orang mati. Menjelang tahun 2000, WHO melaporkan bahwa 40 juta warga dunia akan terjangkiti oleh HIV. Meskipun obat mukjizat ditemukan, ke-40 juta warga tersebut tetap akan menemui ajalnya.
Kalau keluarga dianggap sebagai komunitas terkecil tatanan ideal dalam masyarakat, maka AS memberikan contoh terburuk. AS nomor wahid dalam pernikahan yang menghasilkan perceraian. Setiap tahunnya 2,4 juta rakyat AS menyatu dalam ikatan perkawinan yang suci dan setiap tahunnya 1,2 juta orang bercerai dengan perasaan saling memusuhi terhadap pasangannya. Saat ini, angka perceraian bertambah tujuh kali lipat dengan jumlah pernikahan yang sama. Kecenderungan seperti ini berlangsung terus. Suatu hasil penelitian menyatakan bahwa anak-anak yang perkawinan orang tuanya kandas, akan cenderung mengalami perceraian pula kelak. Terlihat bahwa angkanya empat kali lipat dari jumlah orang tua yang utuh. Dan sekali lagi : AS nomor satu dalam anak-anak yang terlibat perceraian. Tatanan keluarga macam apa ini ?
Memang AS boleh menyombongkan diri dengan menempatkan 100 orang dengan kekayaan US $ 100 milyar dalam pemilihan milyuner versi majalah Forbes. Namun, satu di antara lima anak AS dan satu di antara orang dewasanya hidup dalam kemiskinan. AS menduduki peringkat atas dalam prosentase masyarakat yang memiliki rumah mewah sekaligus yang tidak memiliki rumah. Terdapat kurang lebih tiga juta rakyat di AS yang tidak memiliki tempat tinggal. Betapa lebarnya kesenjangan ekonomi yang dihasilkan kapitalisme.
Dalam kondisi seperti di atas, kekerasan dan kejahatan telah menjadi suatu elemen yang senantiasa ada dalam kehidupan rakyat AS. Hampir 30 % warga AS mengatakan bahwa mereka pernah menjadi korban kejahatan dalam kurun waktu setahun ini, dan lebih dari separo rakyat AS mengaku bahwa mereka adalah korban kejahatan dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Pembunuhan terjadi lebih dari 200.000 kasus setiap tahun atau hampir setiap 25 menit terjadi pembunuhan. Banyak pembunuhan terjadi karena pengaruh obat-obatan terlarang. Sehingga narapidana pecandu obat berjumlah lebih dari separo (58%) dari semua narapidana yang meringkuk di tahanan-tahanan federal AS.
Sementara itu, pemerkosaan terjadi terhadap 114 per 100.000 orang, yang merupakan angka tertinggi dibandingkan negara manapun. Suatu penelitian melaporkan bahwa 21% dari wanita AS pernah diperkosa sejak usia 14 tahun.
Para korban kejahatan tersebut tentulah sangat menderita baik fisik maupun emosi bahkan mengalami trauma. Sementara sistem hukum yang diharapkan sebagai tempat mengadu pun tak memiliki daya apa-apa. Jadilah kondisi ini bak hidup di rimba belantara : yang kuat sang pemenang ! Itulah kondisi AS yang menganut faham kapitalisme. Sangat mengenaskan bukan ?
Kondisi yang rada-rada mirip pun dijumpai di Indonesia – negeri muslim terbesar yang mulai terpengaruh kapitalisme. Euforia kebebasan – yang jelas di luar kendali iman – sudah mulai memperlihatkan dampak negatif.
Pers yang semakin terbuka menyuarakan ‘isi hatinya’ kini menjadi dilema. Bebasnya berbagai majalah dan media cetak lainnya dalam menampilkan berita dan gambar yang mengumbar nafsu, membuat masyarakat semakin terbiasa dengan hal-hal tersebut.
Ditambah lagi dengan tayangan media elektronik yang mulai menyajikan tayangan secara lebih vulgar. Iklan sabun, pembalut wanita, bahkan produk-produk yang tidak ada hubungannya dengan wanita pun harus dilakonkan oleh wanita yang kadang-kadang dengan penampilan menggoda. Tak mengherankan, jika semua ini sudah sedemikian mudahnya untuk disaksikan maka keinginan untuk lebih dari sekedar menyaksikan pun pasti terbersit. Walhasil, pergaulan bebas yang menjurus ke arah free sex pun tak dapat dihindari lagi. Tak mengherankan kalau kemudian ancaman AIDS semakin menggila.
Jangan kata di kota-kota besar, di Kalimantan Selatan yang notabene merupakan provinsi yang religius pun tak luput dari maraknya HIV/AIDS. Rudy Resnawan – Wakil Gubernur Kalsel — bahkan menyatakan bahwa Kalsel masuk pada taraf epidemi terkonsentrasi. Artinya, prevalensi penderita HIV/AIDS di Kalsel lebih dari lima persen, sehingga masuk dalam kelompok beresiko tinggi dalam penularan HIV/AIDS.
Berdasarkan data hingga September 2014, kasus HIV/AIDS di Kalsel dilaporkan mencapai 947 kasus (HIV 508 kasus dan AIDS 429 kasus). Dari jumlah itu, penderita dari kalangan laki-laki sebanyak 420 orang dan perempuan 490 orang, serta tidak diketahui 37 orang. Penyebarannya pun tidak hanya pada orang dewasa saja.
Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Kalsel mencatat hingga Juli 2014 terdapat 26 bocah terjangkit HIV/AIDS, 7 di antaranya bayi.
Menurut beberapa ahli medis, untuk mengetahui jumlah penderita AIDS sesungguhnya, angka temuan atau catatan harus dikalikan 5. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa penderita AIDS cenderung ‘menghilang’ dan sebagian mungkin dendam atas pengucilan oleh masyarakatnya sehingga sengaja menularkan AIDSnya.
Dunia obat terlarang pun semakin memarakkan bursa masalah di negeri ini. Data terakhir, BNN menyebut pengguna narkoba di Kalsel sudah mencapai 57.900 orang (BPost, 061115). Kelompok pengguna pun cenderung mengalami pergeseran dari kalangan pekerja menjadi pelajar.
Pada 23 Agustus 2015 yang lalu, Polda Kalsel bersama BNN Kalsel mengamankan 6,23 kg sabu-sabu. Ini masih sebagian kecil. Diperkirakan peredarannya sekitar 500 kg per tahunnya.
Ini hanya sekelumit realita yang nampak di permukaan. Realita bobrok yang tersembunyi tentu lebih banyak lagi, bahkan di semua aspek kehidupan.
Terbukti bahwa kapitalisme tak mampu dan tak akan pernah mampu untuk dapat menyelesaikan permasalahan hidup manusia dalam kapasitasnya sebagai manusia. Dengan kapitalisme, yang terbentuk bukanlah ‘tata dunia baru’ (the new world order) akan tetapi ‘kekacauan dunia baru’ (the new world disorder). Masih mau ikut ?[]