Bidan Menghadapi MEA, Siap Bersaing atau Korban Neoliberalisme?
Menghadapi pasar global atau era perdagangan bebas Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), profesi bidan diharapkan dapat meningkatkan kualitasnya jika tidak mau menjadi penonton di negara sendiri. Dalam rangka MEA, harus ingat, orang datang ke Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 250 juta. Kita bisa jadi tuan rumah atau penonton di negara kita sendiri.
http://www.bkkbn.go.id/ViewBerita.aspx?BeritaID=3474
Komentar:
Era neoliberalisme menggencarkan upaya menjadikan perempuan sebagai penyangga ekonomi keluarga termasuk profesi bidan. Atas nama mempersiapkan persaingan memperebutkan kue ekonomi kapitalis, Perempuan-perempuan Indonesia seperti kalangan bidan, diaruskan menyiapkan diri untuk berkompetisi, tanpa ada jaminan bagaimana fungsi mereka sebagai ibu pencetak generasi tidak terganggu.
MEA terbukti tidak kompetitif bagi mayoritas pekerja Indonesia, karena yang menang bersaing adalah pemilik modal (pengusaha besar) yang berkoalisi dengan penguasa.
Semakin nyata, bahwa program PEP (Pemberdayaan Ekonomi Perempuan) semakin masif di aruskan seiring dengan agenda post 2015 atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang digagas PBB. UN Women pun makin aktif menggalang para CEO perusahaan untuk berpartisipasi dalam PEP. Amanat Beijing Platform for Action (BPFA) yang belum terwujud ini menjadi PR abadi pemerintah yang telah meneken kesepakatan gender itu. Semua ini menjadi bukti bahwa PEP adalah by desain kapitalisme untuk memobilisasi perempuan masuk dalam arus ‘liberalisasi ekonomi’ atas nama tanggung jawab untuk mewujudkan kesejahteraan secara mandiri.
Janji kesejahteraan dalam sistem kapitalisme sejatinya tidak pernah nyata bagi seluruh umat manusia kecuali untuk segelintir orang. Hanya memuluskan kepentingan produsen barang dan jasa modal besar untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya dengan menghalalkan segala cara. Dampak arus PEP atas nama peningkatan kemampuan perempuan, akan membuat perempuan ‘berlomba-lomba meninggalkan rumah dan keluarga’ untuk memburu ‘kue kesejahteraan yang tak kunjung ada’ kecuali serpihan receh. Di sisi lain, ancaman rapuhnya ketahanan keluarga semakin nyata di depan mata.
Akhirnya perempuan, keluarga dan generasi hanya menjadi tumbal kebijakan pasar global. Negara dalam kapitalisme telah ‘lalai’ dalam melindungi perempuan untuk mendapatkan hak hidup sejahtera tanpa mencabut fitrah dan fungsinya sebagai ibu pendidik generasi dan manajer rumah tangga.
Sebaliknya Islam dalam sistem Khilafah, penerapan hukum-hukum syara secara menyeluruh di seluruh bidang telah menjamin pemenuhan hak-hak perempuan untuk sejahtera. Yaitu melalui jalur nafkah oleh suami dan walinya, bahkan bila tidak mencukupi negara ikut bertanggung jawab untuk memenuhinya, sehingga perempuan tidak pernah dibebankan untuk mencari nafkah. Bekerja bagi perempuan bukan untuk kebutuhan ekonomi tetapi untuk berkontribusi bagi kebaikan umat tanpa mencabut fitrah dan fungsinya sebagai ibu dan manager rumah tangga.
Saatnya selamatkan perempuan, keluarga dan generasi dengan Syariah dan Khilafah yang mewujudkan rahmatan lil ‘alamiin.[] (Lajnah Siyasi MHTI).