Plastik Berbayar, Solusi ala Kapitalistik
Pemerintah mulai menguji coba penerapan kantong plastik berbayar di ritel modern di Indonesia pada minggu ini, 21 Februari 2016. Ujicoba tersebut serempak dilakukan di 17 kota seluruh Indonesia, termasuk DKI Jakarta. Nantinya saat berbelanja, konsumen akan dikenakan pembayaran sebesar Rp 200,- per kantong plastik.
http://m.liputan6.com/bisnis/read/2441282/mulai-hari-ini-belanja-pakai-kantong-plastik-bayar-rp-200
Komentar:
Kebijakan plastik berbayar hanya akan mengurangi sedikit penggunaan plastik, bukan solusi tuntas menyelesaikan masalah lingkungan.
Sistem kapitalis dalam menyelesaikan masalah seringkali tidak menyentuh akar masalah, bahkan memunculkan masalah baru bagi rakyat.
Kebijakan ini lebih dirasakan sebagai pembebanan atas pundak rakyat daripada mengurangi limbah plastik. Karena plastik berbayar tidak menyentuh produsen/pabrik plastik sama sekali. Artinya produksi jalan terus tiap jam tiap saat. Inilah sistem kapitalis yang memanjakan para kapital/pebisnis/perusahaan, dan “mencekik” atau “memalak” rakyat dengan berbagai dalih/alasan.
Masyarakat yang pragmatis akan memilih beli plastik (sekalipun berbayar) daripada membawa tas dari rumah, demikan pula kalangan menengah keatas. Dan yang akan membawa plastik dari rumah mungkin dilakukan oleh orang-orang yang tidak mampu, atau orang-orang yang mau berhemat karena alasan kondisi keuangan.
Jika demikian, bisa diprediksi sampah plastik akan tetap banyak. Sehingga plastik berbayar tak berarti sama sekali bagi pengurangan limbah plastik.
Negara harus serius disatu sisi memberikan pendidikan kepada rakyat untuk menjaga lingkungan dan menerapkan kebijakan yang menjamin lingkungan yang sehat dan bersih.
Disisi lain pemerintah juga serius membuat kebijakan kepada produsen/pabrik plastik berupa aturan harus memproduksi plastik yang ramah lingkungan dan mudah terurai. Jika tak ada lagi produsen “plastik tak ramah” maka berikutnya seluruh rakyat tak akan dapat mencemari lingkungan dengan plastik-plastik tersebut, karena plastik tersebut memang sudah tidak ada lagi, karena tak diproduksi oleh pabrik-pabrik itu.
Bila kebijakan ini lebih fokus pada kebijakan plastik berbayar saja, maka kebijakan ini menjadi sarat kepentingan kapitalistik untuk mendulang keuntungan.
Jadi, kebijakan ini lebih nampak sebagai kebijakan “lipstik” ala kapitalis yang gemar memalak rakyat disemua lini kehidupan, untuk mendulang kapital dari dompet rakyat di negeri yang ratusan juta penduduk ini.
Kebijakan yang hanya mengikuti trend (baca desakan) global AS, Inggris (sebagaimana yang tertera dalam iklan sosisalisasinya).[] (Ishmah Cholil, Ketua DPP Muslimah HTI)