Solusi Islam Atasi Problem Perburuhan

phkAwal 2016, kita dikejutkan oleh PHK massal yang dilakukan oleh beberapa perusahaan. Tak tanggung-tanggung, perusahaan raksasa dan terbilang senior pun juga tak dapat menghindari tuntutan untuk merumahkan karyawannya, sebagaimana yang terjadi pada beberapa perusahaan seperti Ford, Panasonic, dan Toshiba.

Kementrian Ketenagakerjaan (Kemenaker) mengeluarkan rincian Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sebanyak 1.564 orang awal tahun ini, di tiap sektor dan wilayah Indonesia. Bidang industri yang paling banyak mengurangi karyawan adalah sektor perdagangan, jasa, dan investasi, yakni sebanyak 691 karyawan. Untuk sebaran wilayah, Jakarta menyumbang angka PHK terbesar sebanyak 1.047 orang. (ekbis.sindonews.com, 18/2/2016).

Tidak hanya telah terjadi, gelombang PHK masih terus membayangi. Dan itu tidak hanya terjadi di perusahaan besar, pekerja di sektor UKM juga dihantui pemangkasan. Nina Tursinah, Ketua Bidang Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pada Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan, “Jumlah UKM tidak banyak, hanya 56 juta dengan bisa menyerap 94 juta orang. Ada yang sudah rencanakan (PHK) tapi kita dorong dibatalkan” (ekbis.sindonews.com, 17/2/2016).

Kita tentu tidak sedang membicarakan soal kualitas perorangan buruh atau karyawan. Sebab, hal itu sifatnya personal dan kasuistis. Akan tetapi, yang kita soroti adalah PHK dalam konteks gelombang. Sebab, apabila tidak ditemukan akar masalahnya, hal ini akan terus terjadi. Christ Kanter, Wakil Ketua Apindo mengatakan bahwa masalah perburuhan di Indonesia memang menjadi persoalan yang tidak selesai ditanggulangi pemerintah. Dia menambahkan, ada tiga faktor yang menyebabkan ini terjadi: produktifitas rendah, kurang kompetitifnya SDM, dan tenaga kerja asing yang kian membanjir. (ekbis.sindonews.com, 7/2/2016)

Walaupun pemerintah, melalui BPS (Badan Pusat Statistik) sempat menyatakan bahwa kekhawatiran PHK Massal cukup berlebihan, sebagaimana disampaikan oleh Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo (bisnis.liputan6.com, 1/2/2016). Akan tetapi, realitas permasalahan perburuhan ini kerap terjadi. Dan ini merupakan problem laten yang sejak lama menjadi ancaman serius. Sebab, dampaknya juga tidak main-main, terkait hajat hidup banyak orang.

Akar Masalah

Kalau kita lihat lebih teliti, akar dari problem perburuhan adalah konsep Freedom of Ownership alias kebebasan berpemilikan dalam ekeonomi kapitalis yang dikembangkan dan dijajakan oleh Barat. Konsep ini meniscayakan adanya rekrutmen tenaga kerja dalam jumlah besar dan mengeksploitasinya di berbagai sektor strategis. Sudah jadi sifat kaum kapitalis untuk mengeluarkan modal kecil dan mendapat keuntungan besar.

Ada beberapa hal yang bias kita cermati terkait hal ini. Pertama, sektor-sektor besar yang digarap akhirnya memerlukan jumlah SDM yang juga besar. Namun demikian, untuk memberikan buruh kompensasi berupa gaji yang tinggi juga tak mungkin karena akan mengurangi pemasukan bagi pemilik perusahaan.

Akar masalah yang kedua, bahwa seluruh kebutuhan hidup sang buruh beserta keluarganya dalam berbagai urusan, sudah terlanjur tergantung pada gaji atau penghasilan yang didapat dari pekerjaan di perusahaan tadi. Sementara, seperti disebut sebelumnya, memberi gaji tinggi untuk seluruh buruh, bagi pemilik perusahaan juga tidak memungkinkan.

Dari sudut pandang yang lebih ideologis, problem perburuhan juga kerap terjadi dikarenakan adanya kelas-kelas ekonomi yang diusung oleh kaum Sosialis-Komunis sebagai antithesis dari Kapitalisme. Pembagian kelas ini tentu akan melahirkan sentimen tersendiri.

 

Solusi Islami

Dalam Islam, niscaya tidak akan ditemukan problem perburuhan secara komunal. Kalaupun ada masalah, itu bersifat kausistik, atau personal. Bukan perburuhan sebagai sebuah entitas.

Dalam kitab Asy Syakhshiyyah al Islamiyyah jilid 2, bab Laa Tuujadu fil Islaami Musykilaatu ‘Ummaal (Tidak ada Problem Perburuhan dalam Islam), hal 325-327, Syaikh Taqiyuddin an Nabhani memberikan pandangan yang sangat solutif dalam hal ini. Di sana kita dapat lihat beberapa poin penting ini:

  1. Negara menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap anggota masyarakat, seperti sandang, pangan, dan papan. Negara juga memberi jaminan terpenuhinya 3 kebutuhan pokok kolektif masyarakat yakni keamanan, kesehatan, dan pendidikan. Artinya, para pekerja tidak menggantungkan biaya-biaya untuk kebutuhan pokoknya dari gajinya sebagai pekerja. Berbeda dengan saat ini. Dari gaji seorang karyawan, dia harus menghidupi keluarganya, harus menganggarkan biaya pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Maka gaji karyawan, mestinya lebih diperuntukkan pada kebutuhan yang bersifat sekunder ataupun tersier. Bukan primer.
  2. Hubungan pekerja dengan pemilik usaha hanya ditinjau dari aspek aqad kerja. Apakah halal atau haram, apakah sah atau tidak. Dan syariat Islam telah menjelaskan ini sangat detail dan rinci. Tidak ada golongan kelas buruh atau proletar, yang menjadi lawan dari kelas borjuis. Jadi, jika akadnya sesuai syariah, jumlah gajinya disepakati, maka muamalah bisa dilangsungkan antara kedua belah pihak
  3. Negara memberikan pendidikan dan pelatihan agar para karyawan memiliki kapasitas yang memadai sesuai kebutuhan dunia kerja. Rasul SAW bersabda:

الإمام راعٍ وهو مسؤول عن رعيته (رواه البخاري)

Kepala Negara adalah pelayan. Dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya. (HR Bukhari)

Pengabaian Negara dalam urusan ini dapat dianggap sebagai kezaliman. Dalam level yang lebih serius, maka Mahkamah Mazhalim dapat memecat Khalifah yang tidak memberi perhatian terhadap hal ini. Namun perlu diingat, perhatian yang diperlukan dari seorang Khalifah bukanlah perhatian kepada entitas kaum buruh. Namun secara lebih luas, terkait tanggung jawabnya terhadap setiap individu rakyat.

Di sisi lain, Islam juga melarang segala bentuk privatisasi Sumber Daya Alam. Sehingga dalam konteks penguasaan SDA, tidak mungkin ada perusahaan swasta yang melakukan eksploitasi SDA, yang selanjutnya mempekerjakan buruh secara besar-besaran. Memang perusahaan milik negara yang bergerak di sektor ini juga melakukan rekrutmen pekerja. Namun konteksnya berbeda, khususnya dalam hal peruntukan gaji karyawan.

Jika kita lihat sistem rekrutmen karyawan, penggajian, dan pemenuhan kebutuhan hidup, tentu pembiaran eksploitasi Sumber Daya Alam secara privat ini akan berdampak besar bagi kesejahteraan masyarakat. Kaum kapitalis jelas diuntungkan. Karena banyak tenaga kerja terserap, namun saat yang sama kesejahteraan mereka tidak begitu terjamin. Belum lagi Negara yang cenderung abai akan pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat. Semua berlangsung sesuai mekanisme ekonomi. Semua harus dibeli, semua harus bayar. Dan rakyat harus bayar sendiri dan cari uang sendiri untuk penuhi kebutuhannya, yang sekunder sekalipun. Mestinya semua berlangsung berdasarkan mekanisme pelayanan publik. Dan itu tanggung jawab Negara.

Walhasil, dalam Islam tak ada problem perburuhan atau problem entitas manapun. Karena semua problem, dikembalikan pada konteks ri’ayatu syu`uni ar ra’iyyah, alias pelayanan Negara terhadap seluruh urusan rakyat. Yang penting, seluruh pekerja memahami dan menyepakati akad-akad kerja bersama perusahaan tempat mereka bekerja, selesailah urusan. Adapun kebutuhan pokok masyarakat, Negara yang menanggung. Karena memang Negara dihadirkan untuk melakukan pelayanan. Memang sulit, jika Negara berpoisi hanya sebagai fasilitator. Penghubung antara pengusaha dan buruh. Tanpa mempedulikan aspek pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, dan tanpa memberi batasan bidang garapan yang dieksploitasi oleh pengusaha. Wallaahu a’lam bish shawaab. [] Zamroni Ahmad

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*