Perilaku menyimpang penyuka sesama jenis sebenarnya bukanlah hal yang baru. Perilaku ini telah lama menjadi bagian dari gaya hidup Barat. Perilaku ini kemudian diadopsi di negeri-negeri Muslim, termasuk di Indonesia, kemudian disosialisaikan dengan gencar melalui berbagai macam cara. Berbagai upaya telah dilakukan agar perilaku “sakit” kelompok ini dapat diterima oleh masyarakat luas di negeri ini. Muncullah sejumlah organisasi gay dan lesbian seperti Lambda Indonesia pada tahun 1982, yang merupakan organisasi gay pertama di Indonesia, KKLGN (Kelompok Kerja Lesbian dan Gay Nusantara), GAYa NUSANTARA dan lain-lain.
Para pelaku dan pendukung gaya hidup LGBT ini melakukan pergerakan untuk mencari dukungan ke kalangan intelektualitas, khususnya mahasiswa, yang memungkinkan untuk diajak dialog. Harapannya, mereka nantinya bisa memengaruhi masyarakat awam agar bisa menerima mereka. Kita bisa lihat bagaimana pengaruh gerakan ini di kalangan mahasiswa.
Pada Oktober 2009 MAPANZA Unair mengadakan seminar berkedok AIDS dan NAPZA dengan mengundang pemuda homo yang ditunjuk GAYa Nusantara sebagai salah satu pembicara. Bahkan pada 15 Mei 2013 lalu Fakultas Ilmu Budaya Unair dipilih untuk lokasi Pembukaan Peringatan International Day Against Homophobia & Transphobia (IDAHOT) 2013. Dua tahun berikutnya, tepatnya 5-7 Juni 2015, kembali FISIP Unair menggelar festival film bertema homoseksual. Yang paling anyar dan menghebohkan adalah munculnya lembaga konseling Support Group and Resource Center on Sexuality Studies (SGRC) di Universitas Indonesia (UI). (Hidayatullah.com/27/01/2016).
Buah Sistem yang Rusak
Ibarat penyakit, perilaku menyimpang seksual LGBT ini merasuk ke semua celah yang ada di masyarakat. Kampus menjadi celah karena banyaknya mahasiswa yang tinggal di kos-kosan atau di asrama, tempat perempuan berkumpul dengan sesama mereka, juga tempat laki-laki berkumpul dengan sesama mereka. Di tempat-tempat semacam ini, satu orang pelaku LGBT bisa menularkan ‘penyakitnya’ banyak orang di sekitarnya.
Setiap ada hubungan pertemanan, maka berpeluang terjadi perilaku menyimpang ini. Selain di kampus, antarpelajar di sekolah juga memungkinkan.
Awalnya mungkin hanya pertemanan biasa. Namun, karena bertemu hampir setiap saat, lalu pergi ke mana mana selalu berdua, saling berbagi baik dalam suka maupun duka, merasa senasib sepenanggungan karena jauh dari orang tua dan saudara, maka kedekatan seperti ini sangat memungkinkan terjadinya hubungan spesial sesama jenis. Apalagi ketika mereka tidur bersama di satu ruangan, atau mungkin satu tempat tidur (ranjang) atau bahkan satu selimut. Apalagi jika tak ada satu pun yang menganggap itu hal berbahaya. Pasalnya, biasanya yang dianggap berbahaya hanyalah hubungan yang berbeda jenis.
Inilah fakta yang terjadi di masyarakat kita saat ini. Hubungan pertemanan dengan lawan jenis rawan pergaulan bebas yang berakibat perzinaan dengan seabrek permasalahannya. Berteman dengan yang sejenis juga rawan karena bisa menjadi homo/gay atau lesbian. Mengapa ini terjadi? Bukankah seharusnya hubungan antarmanusia yang berbeda jenis maupun yang sejenis tidak akan menimbulkan masalah?
Merajalelanya homoseksual dan lesbianisme adalah buah sistem yang rusak. Sistem Kapitalisme dengan ide dasar sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang diadopsi oleh masyarakat dan diterapkan oleh Pemerintah di negeri ini telah membuka pintu lebar lebar bagi perkembangan berbagai macam pemikiran rusak dan kufur. Para pengadopsi perilaku menyimpang seksual ini bisa gencar beraksi karena mendapat justifkasi dari ide liberalisme, kebebasan berekspresi yang dibangun di atas ideologi sekular yang menafikan agama dari kehidupan. HAM (hak asasi manusia) sering digunakan sebagai tameng dalam seluruh kegiatan mereka. Para pendukung mereka pun selalu punya seribu satu alasan untuk membela mereka.
Sistem rusak inilah yang menjadi penyebab rendahnya ketakwaan masyarakat, penyebab minimnya pengetahuan masyarakat terhadap syariah Islam, juga penyebab lemahnya pemahaman masyarakat terhadap Islam sebagai solusi hidup. Akibatnya, semakin banyak di antara individu masyarakat yang menganggap bahwa menjadi homo atau lesbi bukanlah hal yang terlarang dalam agama. Ini diperparah dengan gencarnya kampanye sesat dan menyesatkan dari pergerakan kaum homoseksual dan para pendukungnya.
Sistem rusak tersebut juga telah menyibukkan masyarakat dengan kehidupan materialistis yang membuat lemahnya pengawasan baik dari keluarga maupun masyarakat terhadap perkembangan ide dan pemikiran ini. Akibatnya, serangan tidak hanya menimpa orang dewasa, melainkan juga anak anak para penerus generasi. Yang jelas dan pasti, tidak ada satu pun UU di negeri ini yang melarang perilaku ini. Jadi, bagaimana mungkin pergerakan mereka bisa dihalangi? Jelas ini adalah sebuah ancaman, tak bisa dibiarkan. Lalu bagaimana solusinya?
Islam Menolak Hubungan Sejenis
Sistem kehidupan sekular-kapitalisme mengajar manusia hidup bebas, sebebas bebasnya. Aturan akan diberlakukan jika kebebasan yang satu mengganggu kebebasan yang lain. Menurut mereka, perilaku seks bebas seperti lesbianisme dan homoseksual adalah boleh karena merupakan hak asasi manusia (HAM) dan bagian dari kebebasan individu yang harus dihormati dan dijaga oleh negara.
Sebaliknya, sistem kehidupan Islam sangat bertolak belakang dengan gaya hidup liar yang diajarkan sekularisme-liberalisme. Islam memandang perilaku LGBT ini hukumnya haram. Semua perbuatan haram itu sekaligus dinilai sebagai tindak kejahatan/kriminal (al-jarimah) yang harus dihukum (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 8-10).
Lesbianisme dalam kitab-kitab fikih disebut dengan istilah as-sihâq atau al-musâhaqah. Definisinya adalah hubungan seksual yang terjadi di antara sesama wanita. Tak ada khilafiyah di kalangan fuqaha’ bahwa lesbianisme hukumnya haram. Keharamannya antara lain berdasarkan sabda Rasulullah saw.:
السِّحَاقُ بَيْنَ النِّسَاءِ زِنًا بَيْنَهُنَّ
Lesbianisme (as-sihâq) di antara wanita adalah [bagaikan] zina di antara mereka (HR ath-Thabrani).
Lesbianisme menurut Imam Dzahabi merupakan dosa besar (Dzahabi, Az-Zawâjir ‘an Iqtirâf al-Kabâ’ir, II/235).
Adapun homoseksual dikenal dengan istilah liwâth. Imam Ibnu Qudamah mengatakan bahwa telah sepakat (ijmak) seluruh ulama mengenai keharaman homoseksual (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, XII/348). Nabi saw. telah bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ
Allah telah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth. Allah telah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth. Allah telah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth (HR Ahmad).
Islam: Solusi Hakiki
Memberantas penyimpangan seksual ini haruslah dilakukan mulai dari akarnya dengan mencampakkan ideologi sekular berikut paham liberalisme, politik demokrasi dan sistem kapitalisme. Hal itu diiringi dengan penerapan ideologi Islam dengan syariahnya secara total.
Jika dikatakan bahwa perilaku seksual menyimpang ini adalah fitrah, maka jelas ini adalah salah. Yang menjadi fitrah adalah adanya naluri untuk melestarikan keturunan atau yang biasa disebut gharîzah naw’. Islam meman-dang bahwa bangkitnya gharîzah naw’ ini merupakan hal yang wajar atau normal. Hanya saja Islam memberikan aturan secara rinci bagaimana cara untuk memenuhi dan memuaskannya. Islam tidak membiarkan manusia memuaskan nalurinya sesuai dengan hawa nafsunya. Karena itu, ketika laki-laki memuaskan hasrat seksualnya kepada laki-laki atau perempuan memuaskannya kepada perempuan, maka Islam menilai hal ini sebagai penyimpangan terhadap fitrah manusia. Jadi, nalurinya fitrah, tetapi penyaluran naluri ini ke sesama jenis jelas menentang fitrah.
Islam memberikan solusi preventif (pencegahan) terhadap perilaku menyimpang ini dengan cara. Pertama, mewajibkan negara untuk terus membina keimanan dan memupuk ketakwaan rakyat. Hal itu akan menjadi kendali diri dan benteng yang menghalangi muslim terjerumus pada keharaman.
Kedua, Islam memerintahkan untuk menguatkan identitas diri sebagai laki-laki dan perempuan. Allah SWT menciptakan manusia dengan dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan sebagai pasangan. Secara fisik maupun psikis, laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan yang mendasar sesuai fungsi yang kelak akan diperankannya. Mengingat perbedaan tersebut, Islam telah memberikan tuntunan agar masing-masing fitrah yang telah ada tetap terjaga. Islam menghendaki agar laki-laki memiliki kepribadian maskulin, sementara perempuan memiliki kepribadian feminin. Islam tidak menghendaki wanita menyerupai laki-laki, begitu juga sebaliknya. Pola asuh orangtua dan stimulasi yang diberikan kepada anak harus menjamin hal itu.
Rasulullah saw. melarang laki-laki dan perempuan menyerupai lawan jenisnya.
لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنْ النِّسَاءِ
Nabi saw. melaknat laki-laki yang berlagak meniru wanita dan wanita yang berlagak meniru laki-laki (HR al-Bukhari).
Ketiga, Islam mengharuskan pemisahan tempat tidur anak-anak. Rasulullah saw. bersabda:
مُرُوا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرِ سِنِينَ وَفَرِّقُوا بَيْنَهُمْ فِى الْمَضَاجِعِ
Suruhlah anak-anak kalian shalat pada usia 7 tahun, pukullah mereka pada usia 10 tahun jika tak mau shalat, dan pisahkan mereka di tempat tidur (HR Abu Dawud).
Keempat, Islam melarang tidur dalam satu selimut. Rasulullah saw. bersabda:
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِي الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِي الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ
Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki. Jangan pula perempuan melihat aurat perempuan. Janganlah seorang laki-laki tidur dengan laki-laki dalam satu selimut. Jangan pula perempuan tidur dengan perempuan dalam satu selimut (HR Muslim).
Kelima, secara sistemis negara harus menghilangkan rangsangan seksual dari publik termasuk pornografi dan pornoaksi. Begitu pula segala bentuk tayangan dan sejenisnya yang menampilkan perilaku homoseksual dan lesbianisme atau mendekati ke arah itu.
Selain aturan preventif, Islam juga menetapkan aturan yang bersifat kuratif (menyembuhkan), menghilangkan homo-seksual-lesbianisme dan memutus siklusnya dari masyarakat. Bagi para pemula, yang belum sampai melakukan hubungan seksual, maka menyembuhkannya bisa dilakukan dengan cara mengubah pola pikir dan pola sikap mereka terhadap homoseksual maupun lesbianisme. Para pelaku dijauhkan dari lingkungan sebelumnya yang membuat mereka terjerat perilaku ini. Mereka harus dijauhkan dari pasangan mereka. Alihkan naluri atau gharîzah naw’ mereka ke naluri yang lainnya semisal gharîzah tadayyun (naluri beragama), yaitu dengan menyibukkan mereka dengan zikir dan beribadah kepada Allah SWT. Bisa juga dengan menyibukkan mereka dengan kegiatan kegiatan bermanfaat atau bisa juga dengan mengajak mereka berpuasa. Pahamkan kepada mereka bahwa itu adalah dosa besar yang akan menjerumuskan mereka pada kehinaan, dunia maupun akhirat. Ajak mereka untuk bertobat atas seluruh dosa yang sudah dilakukan dan bertekad untuk berubah.
Adapun bagi pelaku yang sudah melakukan hubungan seksual, Islam menerapkan hukuman (persanksian) yang sangat tegas. Bagi pelaku sodomi, baik subyek maupun obyeknya dikenakan sanksi berupa hukuman mati.
مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ
Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (homoseksual) maka bunuhlah pelaku (yang menyodomi) dan pasangannya (yang disodomi) (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad, al-Hakim dan al-Baihaqi).
Dalam hal ini, tak ada perbedaan pendapat di antara para fuqaha’, khususnya para Sahabat Nabi saw., seperti dinyatakan oleh Qadhi Iyadh dalam kitabnya Asy-Syifa‘.
Ijmak Sahabat Nabi saw. juga menyatakan bahwa hukuman bagi pelaku homoseksual adalah hukuman mati. Hal itu tanpa dibedakan apakah pelaku sudah menikah (muhshan) atau belum pernah menikah (ghayr muhshan). Hanya saja para sahabat Nabi saw. berbeda pendapat mengenai teknis hukuman mati untuk gay. Menurut Ali bin Thalib ra., kaum gay harus dibakar dengan api. Menurut Ibnu Abbas ra., harus dicari dulu bangunan tertinggi di suatu tempat, lalu jatuhkan gay dengan kepala di bawah, dan setelah sampai di tanah lempari dia dengan batu. Menurut Umar bin Khaththab ra. dan Utsman bin Affan ra., gay dihukum mati dengan cara ditimpakan dinding tembok padanya sampai mati. Memang para Sahabat Nabi Saw berbeda pendapat tentang caranya. Namun, semuanya sepakat bahwa gay wajib dihukum mati. (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 21).
Demikian juga dengan lesbianisme. Para fuqaha’ sepakat akan keharamannya berdasarkan hadis dari Watsilah bin Al Asqa’ ra., bahwa Rasulullah saw bersabda:
سِحَاقُ النِّسَاءِ بَيْنَهُنَّ زِنًا
Perbuatan lesbian di antara wanita adalah [bagaikan] zina. (HR Abu Ya’la. Lihat juga: Majma’ az-Zawâ’id, VI/256).
Dalam riwayat lain yang semakna, Rasulullah saw bersabda:
Lesbianisme diantara wanita adalah [bagaikan] zina di antara mereka. (HR ath-Thabrani, dalam Al-Mu’jam al-Kabîr, XXII/63; Sa’ud al-Utaibi, Al-Mawsû’ah al-Jinâ‘iyah al-Islâmiyyah, 1/427 dan 452; Al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaytiyyah, 24/162; Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, VII/291).
Imam Ibnu Hazm menyebut dalil-dalil lain yang mengharamkan lesbianisme. Di antaranya hadis dari Ibnu Mas’ud ra. yang berkata bahwa Nabi saw. telah melarang perempuan bersentuhan kulit (mubâsyarah) dengan perempuan lain dalam satu selimut karena bisa jadi perempuan itu akan menceritakan keadaan temannya itu kepada suaminya sehingga seakan-akan suaminya melihat perempuan teman istrinya itu (HR al-Bukhari). Imam Ibnu Hazm menjelaskan bahwa dalil ini telah mengharamkan mubâsyarah, yakni persentuhan kulit dengan kulit tanpa penghalang antarwanita di bawah satu selimut. Jika persentuhan itu terjadi antar kemaluan (farji), yaitu lesbianisme, maka tentu lebih haram lagi dan merupakan kemaksiatan yang berlipat ganda (ma’shiyah mudhâ’afah) (Ibnu Hazm, Al–Muhalla, VI/547; Ibnu Bathal, Syarh Shahîh al-Bukhari, VII/366).
Namun demikian, hukuman untuk lesbianisme tidak seperti hukuman zina, melainkan hukuman ta’zîr, yaitu hukuman yang tidak dijelaskan oleh sebuah nash khusus. Jenis dan kadar hukumannya diserahkan kepada qâdhi (hakim). Ta’zîr ini bentuknya bisa berupa hukuman cambuk, penjara, publikasi (tasyhîr), dan sebagainya (Sa’ud al-Utaibi, Al-Mawsû’ah al-Jinâ‘iyyah al-Islâmiyah, hlm. 452; Abdurrah-man Al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât, hlm. 9).
Demikianlah, Islam memberikan aturan yang sangat rinci tentang perilaku seks menyimpang, homoseksual dan lesbianisme. Dengan peneapan syariah Islam secara kâffah, umat Islam akan tercegah dan bisa diselamatkan dari perilaku ini. Kehidupan umat pun akan dipenuhi oleh kesopanan, keluhuran akhlak, kehormatan, martabat, ketenteraman dan kesejahteraan. Hal itu hanya bisa terwujud jika syariah Islam diterapkan secara total di bawah sistem Khilafah Islamiyah. Karena itu menjadi tugas umat Islam untuk mengembalikan Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
WalLlâhu a’lam bi ash-shawwâb. [Wiwing Noeraini; Lajnah Tsaqafiyah Muslimah HTI]