Organisasi Konferensi Islam (OKI) menggelar KTT di Jakarta pada bulan Maret ini. Selain hadir perwakilan dari 47 dari 56 negeri-negeri Islam, KTT ini juga dihadiri negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB; AS, Rusia, Inggris, Prancis dan Tiongkok.
Pada KTT yang diselenggarakan pada tanggal 6-7 Maret ada enam agenda yang akan dibahas; Pertama, masalah perbatasan, di mana hingga wilayah Palestina dari waktu ke waktu semakin mengecil karena dikuasai oleh Israel. Kedua, masalah pengungsi Palestina yang tidak bisa kembali ke tempat asalnya. Ketiga masalah status Kota Jerusalem yang dianggap Kota Suci oleh tiga agama, yakni Yahudi, Nasrani dan Islam. Keempat, masalah pemukiman ilegal Israel yang terus menggerogoti wilayah Palestina juga menjadi hal yang belum bisa terselesaikan. Kelima, masalah keamanan, keenam masalah distribusi air bersih yang terus menjadi isu konflik yang terjadi di kedua negara tersebut.
Persoalannya, seriuskah OKI menyelesaikan persoalan-persoalan tadi? Ataukah sekedar retorika kosong ditambah sedikit aksi formalitas untuk menyenangkan umat, dan menandakan bahwa OKI masih eksis? Relevankah keberadaan OKI di tengah carut marut politik dunia Islam menghadapi imperialisme Barat?
Bertolak Belakang
Mengharapkan OKI mampu menyelesaikan enam persoalan tersebut – apalagi dalam KTT yang hanya digelar dua hari – sebenarnya ibarat menggantang asap. Mustahil. Kita tidak sedang melemparkan pesimisme dan skeptisme tanpa dasar kepada umat. Sejarah panjang OKI yang telah berdiri selama 47 tahun memperlihatkan organisasi itu tak lebih dari ‘talking doll’ alias boneka bicara yang tak mampu bergerak.
Umat jangan lupa bahwa OKI yang didirikan pada tanggal 12 Rajab 1389 H (25 September 1969) juga terbukti sudah gagal mewujudkan apa yang mereka katakan sebagai tujuan pendiriannya. OKI didirikan dengan latar belakang reaksi para pemimpin dunia Islam atas okupasi Israel terhadap Masjid al-Aqsha. Dengan sentimen pembelaan terhadap Tanah Suci kedua umat Muslim, kaum muslimin di dunia berharap para pemimpin dunia Islam di bawah payung OKI dapat mengembalikan kembali al-Aqsha ke pangkuan umat. Bahkan berharap agar kaum muslimin di Palestina dapat terlindungi.
Tapi sepanjang sejarah itu pula kita bisa menyaksikan keterlibatan OKI dalam membela kepentingan muslim Palestina justru amat minim. Benar bahwa negara-negara Teluk anggota OKI kerap mengirimkan donasi dan bantuan medis kepada penduduk Palestina, akan tetapi mereka berlepas tangan setiap kali terjadi invasi militer Israel terhadap wilayah pemukiman warga Palestina.
OKI lebih banyak mendorong terciptanya apa yang dikatakan sebagai ‘dialog perdamaian’ antara Palestina dengan Israel. Padahal akar konflik Palestina-Israel adalah penjajahan atas tanah Palestina yang dilakukan oleh Negara Zionis Israel, bukan masalah perdamaian. Keberadaan Israel di atas tanah Palestina adalah ilegal dan haram baik dalam logika politik apalagi pandangan hukum Islam.
Dalam berbagai perundingan itu negara-negara Arab sebagai anggota OKI pun lebih memilih mengakui PLO yang sekuler dan disukai Barat ketimbang kelompok perjuangan HAMAS yang lebih berbasis Islam. Di antara alasannya karena OKI menilai HAMAS sulit ‘dikendalikan’ secara politik dan lebih memilih jalan jihad atau militer dalam menghadapi Israel. Sedangkan PLO adalah ‘good boy’ bagi OKI dan lebih kooperatif dengan Israel.
Beberapa kali HAMAS dan OKI berseberangan sikap politik. Pada tahun 2015 misalnya HAMAS dan sejumlah mufti Palestina dan ulama Timur Tengah lain mengecam keputusan Sekjen OKI Iyad bin Amin Madani yang akan mengunjungi kompleks Masjid al-Aqsa pada tanggal 5 Januari. Kunjungan tersebut dipandang HAMAS sebagai bentuk lain dari pengakuan terhadap eksistensi Israel di Palestina, khususnya di kawasan Masjid al-Aqsha.
Keseriusan OKI untuk menyelesaian konflik Palestina-Israel, dan keberpihakan mereka pada rakyat Palestina dan pembebasan al-Aqsha – yang menjadi alasan pendirian lembaga itu – makin dipertanyakan, karena beberapa negara anggota OKI malah menjalin persahabatan dengan Israel. Yordania, Turki dan Mesir adalah sebagian anggota OKI yang telah menjalin kerjasama dengan Israel. Presiden Mesir Abdul Fatah as-Sisi pada September tahun lalu menyerukan negara-negara Arab untuk bekerjasama dengan Israel dengan dalih untuk memerangi ancaman terorisme.
Sementara itu meski Arab Saudi hingga hari ini belum secara resmi melakukan kontak dengan Israel, akan tetapi mereka adalah sekutu terdekat Amerika Serikat di Timur Tengah yang merupakan induk semang dan pelindung Israel. Dalam operasi militer terhadap Syiah Houthi di Yaman, mereka disupport oleh Amerika Serikat. Begitu pula dalam rencana penyelesaian konflik Suriah dan upaya gencatan senjata di sana, Arab Saudi berada satu kubu dengan Amerika Serikat, dengan menyingkirkan faksi mujahidin Sunni yang memperjuangkan Islam seperti Jabhan Nusrah dan mengesampingkan terus menguatnya aspirasi umat Islam di Suria bagi penerapan syariah dan tegaknya Khilafah Rasyidah.
Sampai di sini, sebenarnya siapapun bisa membaca ketidakseriusan OKI dalam menyelesaikan berbagai konflik dunia Islam, terutama kasus Palestina yang menjadi alasan pendiriannya. Kebijakan OKI dan beberapa negara anggotanya justru bertolak belakang dengan tujuan pendiriannya. Beberapa anggota OKI justru bemesraan dengan Israel. Lalu bagaimana bisa mereka menyatakan sanggup menyelesaikan konflik Palestina-Israel, dan membela kehormatan al-Aqsha dan rakyat Palestina? Suatu hal yang musykil dapat dilakukan dan itu telah terbukti selama 47 tahun.
Akan Kembali Mandul
Kini OKI menghadapi persoalan-persoalan baru selain konflik Palestina-Israel. Instabilitas politik dalam negeri anggota-anggota OKI seperti Mesir atau Tunisia pasca Arab Spring, hingga operasi militer keji rezim Bashar Assad kepada rakyatnya sendiri. Termasuk operasi militer Arab Saudi ke Yaman untuk menghantam kelompok Syiah Houthi.
Namun OKI takkan pernah bisa menyelesaikan persoalan-persoalan tadi. Alasan kuat mengapa OKI tak sanggup menyelesaikan persoalan dunia Islam adalah karena anggota-anggota OKI tak bisa lepas dari hegemoni politik dan militer negara-negara Barat seperti Amerika, Inggris, dan Rusia.
Peran Amerika Serikat terlihat jelas dalam skenario kudeta militer terhadap Presiden terpilih Mursi. AS memberikan dukungan kepada militer untuk menjatuhkan pemerintahan yang sah dan membiarkan tindakan represif kepada anggota Ikhwanul Muslimin dan para pendukung Mursi. Dalam kejadian ini lagi-lagi OKI berdiam diri karena alasan klausul kesepakatan di antara mereka untuk tidak terlibat dalam persoalan dalam negeri masing-masing negara.
Namun dalam kasus kudeta oleh Syiah Houthi terhadap Presiden Yaman Abdu Rabbu Manshur Hadi, Arab Saudi justru melakukan invasi militer. Awalnya dunia Islam banyak mendukung aksi militer Saudi – dengan alasan menghilangkan ancaman Syiah terhadap kaum Sunni –, tapi pemerintah Saudi sendiri justru mengatakan bahwa invasi militer ini tidak terkait konflik Sunni-Syiah. Maka bisa ditebak, bahwa lagi-lagi Amerika Serikat-lah yang mensponsori aksi militer tersebut untuk menjaga kepentingan mereka di Yaman.
Begitupula dalam upaya penyelesaian konflik militer di Suriah, peran AS begitu dominan. Kehadiran Arab Saudi dalam upaya gencatan senjata tidak lepas dari pengaruh AS untuk menjaga kepentingan mereka di Suriah. AS menginginkan kuku kekuasaan mereka tidak lepas ke tangan negara lain seperti Inggris atau Rusia, apalagi pada kelompok-kelompok dengan aspirasi Islam. Maka kehadiran Arab Saudi sebagai sekutu terdekat mereka di Timur Tengah menjadi vital, karena AS melihat kekuasaan rezim Bashir Assad sulit untuk dipertahankan sementara kandidat penggantinya yang dapat dikendalikan masih belum didapatkan.
Kehadiran perwakilan lima negara anggota tetap DK PBB adalah bukti bahwa OKI dan para pemimpin dunia Islam tidak independen dalam memutuskan nasib umat. Negara-negara imperialis akan terus memonitor dan memberikan arahan serta tekanan bila ada gelagat yang tidak menguntungkan keberadaan mereka di dunia Islam, khususnya kawasan Timur Tengah.
Menilik dari berbagai catatan sejarah dan fakta politik terkini, bisa dipastikan OKI tidak akan optimal menyelesaikan enam agenda dalam KTT di Jakarta. OKI tidak melakukan aksi nyata yang berdampak riil untuk mencegah menyusutnya luas wilayah Palestina yang terus dicengkram penjajah Israel, selain mengecam, menggiring Israel ke meja perundingan, atau mengirim uang ‘diyat’ dan uang ‘ta’ziyah’ kepada warga Palestina. Mereka sudah merasa cukup melakukan itu.
Alih-alih melakukan tindakan yang menolong dan mencegah terulangnya serangan bersenjata oleh Israel kepada warga Palestina, pemerintah Mesir malah menutup terowongan ke wilayah Gaza yang menjadi andalan jalur pasokan pangan untuk warga Palestina. Ini semakin mengokohkan realita bahwa Palestina adalah penjara terbesar di dunia.
Persoalan Israel hanya bisa dihilangkan dengan menghapus entitas Yahudi di tanah Palestina. Keberadaan mereka adalah ilegal dan haram untuk diakui. Bila itu dilakukan maka berbagai persoalan di sana akan selesai, termasuk krisis air yang kini dialami warga Palestina.
Krisis air warga Palestina sudah jelas penyebabnya adalah akibat pendudukan Zionis Israel di kawasan-kawasan sumber mata air di kawasan Yordania dan Palestina. Misalnya, semenjak perang pada Juni 1967, terdapat 140 mata rantai sumur di lembah Yordan (Jordan Valley). Namun pasca pendudukan kawasan ini oleh militer Israel, sumur-sumur tersebut dihancurkan dan sesuai dengan proyek aliran air Israel, air sumur tersebut dialirkan ke kawasan yang ditentukan oleh rezim Tel Aviv.
KTT OKI di Jakarta hanya mengulangi KTT sebelumnya dan sebelumnya yang bersifat seremonial untuk menyenangkan umat Islam seolah para pemimpin mereka sungguh-sungguh peduli pada persoalan Palestina dan berbagai persoalan lain. Kenyataannya OKI hanyalah ‘talking doll’ yang tidak bisa lepas dari skenario negara-negara Barat. Kita akan melihat, selepas KTT ini semua akan sama saja. Tak akan ada perubahan berarti menyangkut nasib muslim Palestina, al-Aqsha, apalagi dunia Islam. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [IJ – LS DPP HTI]