OKI Tak Serius Menyelesaikan Masalah Palestina

[Al-Islam edisi 797, 2 Jumadul Akhir 1437 H – 11 Maret 2016 M]

Konferensi Tingkat Tinggi Luar Biasa (KTT LB) Organisasi Kerjasama Islam (OKI) ke-5 telah berlangsung 6-7 Maret 2016 di Jakarta. KTT LB OKI ke-5 itu diikuti lebih dari 500 delegasi dari 47 negara anggota, tiga negara peninjau (Bosnia Herzegovina, Afrika dan Thailand), anggota The Quartet (Amerika Serikat, Rusia, PBB, Uni Eropa) negosiasi Palestina-Israel dan lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB. KTT itu diselenggarakan untuk mencari terobosan guna menyelesaikan isu Palestina dan Al-Quds asy-Syarif.

Ada enam isu yang dibahas. Pertama: Masalah perbatasan, terutama terkait wilayah Palestina yang dari waktu ke waktu makin mengecil karena dikuasai oleh Israel. Kedua: Masalah pengungsi Palestina yang tidak bisa kembali ke tempat asalnya. Ketiga: Masalah status Kota al-Quds (Jerusalem) yang dianggap kota suci oleh tiga agama: Yahudi, Nasrani dan Islam. Keempat: Masalah pemukiman ilegal Israel yang terus menggerogoti wilayah Palestina. Kelima: Masalah keamanan. Keenam: Masalah distribusi dan akses air bersih yang terus menjadi isu konflik yang terjadi.

Pertanyaannya, seriuskah OKI menyelesaikan persoalan-persoalan itu? Akankah KTT LB OKI ke-5 bisa menjadi momentum penyelesaian yang sesungguhnya untuk isu Palestina, al-Quds dan al-Aqsha asy-Syarif?

Tak Serius

Sejarah panjang OKI sejak berdiri 47 tahun lalu menunjukkan organisasi itu tak lebih dari ‘talking doll’ alias boneka bicara yang tak mampu bergerak. Sejak didirikan pada 12 Rajab 1389 H/25 September 1969 OKI telah terbukti gagal mewujudkan tujuan pendiriannya. OKI didirikan dengan latar belakang reaksi para pemimpin Dunia Islam terhadap penyerobotan Israel atas Masjid al-Aqsha. Namun, sejak saat itu pula umat Islam bisa menyaksikan betapa minimnya keterlibatan OKI membela kepentingan Muslim Palestina.

Benar, negara-negara Teluk anggota OKI kerap mengirimkan donasi dan bantuan medis kepada penduduk Palestina. Namun, mereka tak melakukan apa-apa terhadap Israel yang menjajah Palestina sekaligus mengusir dan membunuhi warga Muslim Palestina. OKI lebih banyak mendorong apa yang dikatakan sebagai ‘dialog perdamaian’ Palestina dengan Israel. Padahal akar konflik Palestina-Israel adalah penjajahan Zionis Israel atas Tanah Palestina, bukan masalah perdamaian.

Keseriusan OKI untuk menyelesaian konflik Palestina-Israel, juga keberpihakan mereka kepada rakyat Palestina dan pembebasan al-Aqsha, makin dipertanyakan. Beberapa anggota OKI malah menjalin persahabatan dengan Israel. Yordania, Turki, dan Mesir adalah sebagian anggota OKI yang telah menjalin kerjasama dengan Israel. Presiden Mesir, Abdul Fatah as-Sisi, September 2015 malah menyerukan negara-negara Arab untuk bekerjasama dengan Israel dengan dalih untuk memerangi ancaman terorisme. Sebagian negara yang lain berhubungan dengan Israel secara sembunyi atau melalui pihak ketiga. Banyak anggota OKI lainnya—meski secara resmi tidak berhubungan dengan Israel—menjadi sekutu dekat Amerika Serikat yang merupakan induk semang dan pelindung Israel, atau menjadi sekutu dekat Eropa khususnya Inggris yang menjadi bidan dan sekaligus pengasuh Israel.

OKI pun tidak melakukan aksi nyata untuk menghalangi terus menyusutnya wilayah Palestina yang terus diduduki oleh penjajah Israel. OKI hanya mengecam, menggiring Israel ke meja perundingan, atau mengirim bantuan medis, obat-obatan, makanan dan uang ‘takziyah’ kepada warga Palestina. Mereka sudah merasa cukup melakukan itu.

Yang lebih parah, alih-alih menolong Palestina dan mencegah terulangnya serangan bersenjata oleh Israel kepada warga Palestina, Pemerintah Mesir malah menutup terowongan ke wilayah Gaza yang menjadi andalan jalur pasokan pangan untuk warga Palestina. Ini semakin mengokohkan realita bahwa Palestina adalah penjara terbesar di dunia.

Dengan demikian, siapa pun niscaya bisa membaca ketidakseriusan OKI dan anggotanya dalam menyelesaikan berbagai krisis Dunia Islam, terutama kasus Palestina yang menjadi alasan pendiriannya. Hal itu telah terbukti selama 47 tahun sejarahnya.

Bergantung pada Barat

Selain sudah terbukti gagal menyelesaikan problem di Dunia Islam, termasuk isu Palestina, al-Quds, dan al-Aqsha, OKI juga hanya membebek pada solusi dan keinginan Barat. Pasalnya, anggota-anggota OKI tak bisa lepas dari dominasi politik dan militer negara-negara Barat, khususnya Amerika dan Inggris. OKI termasuk dalam KTT LB ke-5 tetap tidak mandiri serta terus tunduk pada keinginan dan kepentingan Barat, khususnya AS. Kehadiran kuartet negosiasi Palestina-Israel (Amerika, Rusia, PBB, dan Uni Eropa) dan wakil lima negara anggota tetap DK PBB di KTT LB ke-5 OKI di Jakarta adalah bukti bahwa OKI dan para pemimpin Dunia Islam tidak mandiri dalam memutuskan nasib umat. Ketidakmandirian OKI juga tampak jelas dalam solusi yang diserukan dan didukung para anggota OKI dalam KTT LB ke-5 OKI untuk mengatasi krisis Palestina dan al-Aqsha, yaitu solusi dua negara. Ini adalah solusi yang dirancang oleh AS dan Barat.

KTT LB ke-5 OKI di Jakarta hanya mengulangi KTT-KTT sebelumnya yang bersifat seremonial untuk menyenangkan umat Islam seolah-olah para pemimpin mereka sungguh-sungguh peduli pada persoalan Palestina dan berbagai persoalan lain. Kenyataannya, OKI hanyalah ‘talking doll’ yang tidak bisa lepas dari skenario negara-negara Barat. Kita akan melihat, selepas KTT ini semua akan sama saja. Tak akan ada perubahan berarti menyangkut nasib Muslim Palestina, al-Aqsha, apalagi Dunia Islam.

Solusi Tuntas

Solusi hakiki dan tuntas untuk masalah Palestina, al-Quds, dan al-Aqsha tidak akan terjadi melalui solusi dua negara. Israel telah merampas dan menduduki Bumi Palestina, menodai kesucian al-Quds, menodai al-Aqsha di antaranya dengan terus menggali terowongan di bawah dan dekat al-Aqsha, merampas tanah warga Palestina dan mengusir mereka. Bahkan Israel telah menyerang secara brutal dan membunuhi warga Palestina termasuk anak-anak, wanita, dan para orang tua. Solusi dua negara sama artinya memberikan pengakuan legal kepada zionis Israel; sama dengan mengakui pendudukan, kebrutalan, kekejian, dan penjajahan Israel atas Palestina dan warganya.

Selama ini, negara-negara OKI mengklaim menentang penjajahan bahkan mengklaim penjajahan harus dihapuskan dari muka bumi. Faktanya, negara-negara yang mengklaim itu justru menyerukan dan mendukung untuk mengakui dan melegalkan keberadaan penjajah Israel melalui solusi dua negara? Solusi dua negara sama saja memberikan jalan kepada zionis Israel penjajajah untuk tetap menguasai dan menjajah Palestina. Hal itu jelas haram. Allah SWT berfirman:

﴿وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً﴾

Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada kaum kafir untuk memusnahkan kaum Mukmin (TQS an-Nisa’ [4]: 141).

 

Persoalan Palestina bukan persoala perbatasan (hudûd), tetapi persoalan keberadaan (wujûd) Israel. Selama Israel masih bercokol di Tanah Palestina maka isu Palestina, al-Quds, dan al-Aqsha tidak akan berakhir. Persoalan Palestina hanya bisa diselesaikan dengan menghapus entitas Yahudi di Tanah Palestina. Ini karena keberadaan mereka adalah ilegal dan haram. Penghapusan entitas Yahudi sekaligus penjagaan terhadap umat Islam, khususnya di Palestina, hanya bisa sempurna terwujud saat umat Islam berhasil menegakkan Khilafah Rasyidah dengan membaiat seorang khalifah. Imam atau Khalifah inilah yang akan menjadi benteng pelindung umat, termasuk Palestina. Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ، يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ»

Sesungguhnya Imam (Khalifah) laksana perisai; orang-orang berperang di belakang dia dan berlindung kepada dirinya (HR Muslim).

 

Dengan kepemimpinan Khalifah itu akan sempurnalah penghancuran entitas Yahudi. Bumi yang diberkahi pun secara sempurna kembali ke pangkuan Islam. Khalifah itu pun akan mengembalikan sirah Khalifah Umar al-Faruq yang pernah membebaskan al-Quds dan bumi yang diberkahi di sekitarnya, mengembalikan sirah Sultan Shalahuddin dengan membebaskan bumi yang diberkahi itu dari pasukan Salib, serta mengembalikan sirah Khalifah Abdul Hamid yang menjaga dan memposisikan bumi yang diberkahi itu lebih mahal daripada nyawanya sendiri. Keadilan dan kehidupan yang baik pun akan bisa dirasakan oleh umat manusia, baik Muslim maupun non-Muslim.

Alhasil, upaya menegakkan kembali Khilafah Rasyidah dengan membaiat seorang imam atau khalifah harus menjadi agenda vital umat Islam di manapun.

﴿لِمِثْلِ هَذَا فَلْيَعْمَلِ الْعَامِلُونَ﴾

Untuk kemenangan serupa ini hendaklah berusaha orang-orang yang bekerja (TQS ash-Shafat [37]: 61).

 

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

 

Komentar al-Islam

Menko Perekonomian Darmin Nasution menilai pergerakan nilai tukar tidak boleh dibiarkan menguat terlalu dalam dan cepat. Alasannya, menurut Darmin, penguatan rupiah akan membuat ekspor semakin melemah. Di sisi lain impor juga dikhawatirkan bisa mengalir deras, khususnya barang konsumsi. (Finance.detik.com, 7/3).

  1. Nilai tukar menjadi seperti buah simalakama karena penerapan sistem ekonomi kapitaisme neoliberal yang membuat negeri ini bergantung pada asing, juga akibat penerapan sistem uang kertas (fiat money) dan ketergantungan terhadap dolar.
  2. Nilai tukar akan stabil dan akan selalu berdampak positif jika sistem ekonomi Islam yang bakal mewujudkan kemandirian dan sistem moneter Islam yang berbasis pada emas dan perak diterapkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*