Aktivis Mahasiswi Jakarta Waspadai Liberalisasi Kampus
HTI Press, Jakarta. Mahasiswa identik dengan agen perubahan. Banyak harapan diletakkan di pundak-pundak mereka. Namun pada faktanya banyak sekali faham liberalisasi Barat yang menyesatkan para mahasiswa dan mengancam idealisme mereka. Karenanya Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) DPD I Jakarta menyelenggarakan Diskusi Terbatas (Distas) aktivis mahasiswi, di kantor Pusat Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia, Jakarta, Sabtu (12/3/2016).
Hal ini sebagai wujud kepedulian MHTI atas upaya maraknya liberalisasi terutama kasus LGBT yang belakangan ramai diperbincangkan kampus. Acara dihadiri oleh aktivis dari berbagai kampus seperti Universitas Indonesia (UI), Politeknik Negeri Jakarta, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan kampus lainnya di Jakarta. Tema yang diangkat yaitu “Waspadai Liberalisasi Kampus: Upaya Penghancuran Profil Intelektual Muslimah”.
Para aktivis harus tetap memegang idealisme mereka sebagai agent of change dan iron stock. Sehingga aktivis tetap melek informasi dan bertindak sebagaimana mestinya. Banyak sekali upaya liberalisasi yang menyerang aktivis. Seperti yang terjadi beberapa bulan terakhir. Dunia kampus dihebohkan dengan faham LGBT. LGBT yang merupakan akronim dari lesbian, gay, biseksual, dan transgender itu semakin menunjukan eksistensinya lantaran menginginkan legalisasi status.
Adapun berbagai upaya yang dilakukan agar status mereka legal yaitu mereka harus signifikan secara statistik, mereka harus layak disebut komunitas, dan perilaku mereka diterima secara normatif menurut persyaratan kesehatan mental dari WHO. Pada abad 21 ini, LGBT telah menjelma menjadi kekuatan politik, karena telah diakui secara politis oleh negara pertama – AS dalam konstelasi internasional dan tujuan puncak mereka tercapai yakni legalisasi pernikahan sejenis. Adapun target lain dari mereka yaitu Being LGBT in ASIA. Demikian pemaparan Zikra Asril, SE., selaku penyaji dari MHTI.
Untuk mencapai tujuannya, lanjut Zikra, mereka secara massif dan intens menyerang intelektual dari empat sisi. Secara individu, mahasiswa merupakan generasi galau idenitas Islam. Dari institusi akademik, mereka menguatkan legitimasi ilmiah atas kenormalan kebebasan perilaku. Melalui serangan udara-media, mereka membangun suasana kebebasan perilaku menjadi budaya umum masyarakat. Dari negara, legitimasi UU dengan payung paham kebebasan, HAM dan institusi internasional.
Ayuk Deswanti aktivis dari UI menyampaikan, bahwa liberalisasi kampus beberapa waktu terakhir memang muncul kembali. Mereka muncul di UI dengan LGBT (SGRC UI) setelah sebelumnya ada yang menyerukan pernikahan sejenis. “Para aktivis harus mampu menyampaikan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah,” serunya.
Ada pula Kholviyatul Karimah dari UNJ yang menanggapi adanya LGBT di dunia kampus. “Prihatin dan tidak percaya akan adanya hal ini,” ungkap Kholviyatul sambil terdiam tak percaya.
Kondisi LGBT yang kian marak dan masuk dunia kampus butuh sikap tegas negara. Hendaknya negara harus melindungi generasi dari penyakit kaum Luth ini. Harus pula disudahi sebab munculnya perilaku terlaknat ini, yaitu mencampakkan faham liberalisasi dan deretannya. Serta perlu untuk adanya sistem pendidikan tinggi yang berbasis aqidah Islam.
Namun sikap tegas itu nampakkan hanya harapan kosong jika mengharap pada negara yang menerapkan sistem Demokrasi. Oleh karena itu yang mampu mensikapi dengan tegas hanya negara dengan sistem Islam. Negara yang hanya menerapkan aturan agung dari dzat yang maha Agung. Negara yang tidak takut akan negara-negara lain. Negara itu adalah Khilafah Islamiyah. Sebuah negara dambaan umat yang akan segera hadir keberadaannya.[]