Oleh: Al-Faqîr ilâ Rabbihi Irfan Abu Naveed[1] Dipresentasikan dalam Kajian Tafsir Bulanan di KPP Cianjur
LGBT, akronim dari lesbian, gay, biseksual dan transgender (termasuk interseks dan queer[2] (LGBTIQ)), kembali hangat diperbincangkan di berbagai media, terutama pasca legalisasi pernikahan sejenis oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat 26 Juni 2015 lalu mencakup 50 negara bagian AS[3], hal ini membuka kembali sejarah kelam peradaban umat manusia pada titik nadir, dimana ketuk palu Mahkamah AS yang menandai legalnya pernikahan sejenis pun menjadi lonceng kematian bagi peradaban Barat yang diwakili Amerika Serikat. Legalisasi pernikahan sejenis ini pun dianggap sebagai langkah penting dalam hal pengakuan terhadap LGBT.
Namun jika ditelusuri lebih jauh, legalisasi pernikahan sejenis yang pada akhirnya mengakomodasi kaum gay mengumbar hawa nafsunya melakukan perbuatan homoseksual, jelas meniti sejarah kelam Kaum Luth. Yakni suatu kaum dimana Nabi Luth a.s. diutus kepada mereka yang menempati kota Sodom di area Timur Jordania, mereka saling menzhalimi di tengah-tengah masyarakat mereka, serta mengamalkan berbagai kemungkaran lainnya.[4] Namun di atas semua kerusakan itu mereka pun melakukan kemungkaran baru di muka bumi yang tak pernah dilakukan oleh seorang pun sebelumnya[5], yakni mendatangi kaum lelaki dari duburnya menuruti syahwatnya dan meninggalkan para istrinya, menyelisihi tabiat manusia.[6]
A. Al-Qur’an: Perbuatan Homoseksual Merupakan Perbuatan Keji, Melampaui Batas
Perbuatan kaum gay yang melakukan perbuatan homoseksual lelaki mendatangi lelaki lainnya melalui duburnya, dalam istilah syari’ah, tercakup dalam istilah liwâth. Pengertian liwâth, dijelaskan dalam kamus bahasa ahli fikih, Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji (w. 1435 H):
اللواط: عمِل عَمَل قوم لوط . وطء الذكر في دبره (homosexuality)
“Al-Liwâth: adalah perbuatan siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth. Yakni memasukkan dzakar ke dubur laki-laki lainnya (homoseksual).”[7]
Jika kita telusuri, perbuatan homoseksual lelaki mendatangi lelaki dari duburnya, pertama kali dilakukan oleh Kaum Luth, hal itu sebagaimana difirmankan Allah ’Azza wa Jalla dalam ayat-ayat-Nya berikut penilaian Allah Yang Maha Benar berupa celaan dan kecaman keras terhadapnya.
a. Perbuatan Keji (Al-Fâhisyah)
Yakni penyifatan atasnya sebagai perbuatan al-fâhisyah (keji) jahat dan melampaui batas:
{وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ}
“Dan (ingatlah) ketika Luth berkata pepada kaumnya: “Sesungguhnya kamu benar-benar mengerjakan perbuatan yang amat keji yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun dari umat-umat sebelum kamu.” (QS. Al-’Ankabût [29]: 28)
Ada banyak pelajaran yang terkandung dalam ayat di atas:
Pertama, Kalimat (إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ) menunjukkan bahwa ayat ini menyifati perbuatan liwâth (homoseksual) sebagai perbuatan keji (al-fâhisyah). Imam Abu al-Qasim al-Zamakhsyari (w. 538 H) menjelaskan bahwa perbuatan al-fâhisyah bermakna perbuatan yang sangat tercela.[8] Imam Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) menjelaskan yakni perbuatan buruk yang nyata keburukannya, jika perbuatan zina adalah perbuatan keji dengan kondisi bahwa perbuatan tersebut bisa berkonsekuensi lahirnya anak (masih menjamin keberlangsungan generasi-pen.) meski tidak berlangsung terus menerus (sementara), adapun perbuatan homoseksual jelas tidak mungkin berkonsekuensi lahirnya anak (artinya tidak menjamin keberlangsungan generasi-pen.) sehingga perbuatan homoseksual jelas lebih keji (daripada perbuatan zina yang juga keji-pen.).[9]
Celaan dalam ayat di atas pun diawali dengan dua penegasan (tawkîd) berupa kata inna dan lâm al-ibtidâ’[10] yang berfaidah menafikan adanya keraguan dan pengingkaran atas celaan terhadapnya, sebagaimana ditegaskan dalam bahasan ilmu balaghah.[11] Ini sekaligus membantah penyesatan kaum liberal yang menjustifikasi perbuatan homoseksual dengan beragam alasan ngawur dan tidak ilmiah.
Kedua, Kalimat (مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ) menunjukkan bahwa tidak pernah ada seseorang pun di alam semesta ini yang melakukan perbuatan homoseksual sebelum kaum Luth, ini merupakan penafsiran Ibnu ’Abbas r.a.[12], dan Amru bin Dinar[13]. Sebagaimana ditegaskan pula menurut penafsiran para ulama, di antaranya: Imam Abu al-Muzhaffar al-Sam’ani (489 H)[14], Al-Hafizh Ibnu Katsir (w. 774 H)[15], Imam al-Zamakhsyari (w. 538 H)[16], dan lainnya.
Kata mâ dalam kalimat (مَا سَبَقَكُمْ بِهَا) merupakan bentuk penafian, dan kata min dalam frase min ahad[in] merupakan bentuk tambahan atas penegasan penafian[17] adanya orang lain sebelum kaum Luth, dimana dalam ayat ini tidak diungkapkan kata min qawm[in] yakni suatu kaum, namun dalam ruang lingkup yang lebih kecil yakni tidak seorang pun. Artinya tidak ada seseorang pun sebelum kaum Luth yang melakukan perbuatan keji tersebut, dan mereka yang melakukan perbuatan homoseksual jelas meniti jalan kaum terlaknat ini.
Ketiga, Ayat ini mengandung kewajiban sanksi had atas perbuatan liwâth, sebagaimana ditegaskan oleh Fakhruddin al-Razi.[18]
Kalimat hampir senada disebutkan dalam QS. Al-A’râf [7]: 80
b. Perbuatan Melampaui Batas (Al-Isrâf)
Dalam ayat lainnya, kaum Luth pun divonis sebagai kaum yang melampaui batas:
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ {٨١}
“Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melampiaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada perempuan, bahkan kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al-A’râf [7]: 81)
Kalimat (بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ) menunjukkan celaan atas perbuatan homoseksual, yakni perbuatan melampaui batas atau dengan kata lain perbuatan zhalim yang menyalahi fitrahnya. Hingga dikabarkan bahwa Nabi Luth a.s. pun memohon pertolongan kepada Allah dari kerusakan kaumnya ini, dalam ayat: (قَالَ رَبِّ انْصُرْنِي عَلَى الْقَوْمِ الْمُفْسِدِينَ), dan ini pula yang mesti kita lakukan. Allah pun berfirman dalam ayat lainnya: QS. Al-Anbiyâ’ [21]: 74.
Dan vonis sebagai kaum yang melampaui batas pun disebutkan dalam ayat:
أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ {١٦٥} وَتَذَرُونَ مَا خَلَقَ لَكُمْ رَبُّكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ ۚ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ عَادُونَ {١٦٦}
“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Rabb-mu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Syu’arâ [26]: 165-166)
Yakni melampaui batas yang halal melakukan keharaman.
c. Perbuatan Tidak Berakal
Bahkan perbuatan tersebut disifati sebagai perbuatan orang yang tidak berakal, berdasarkan mafhûm dari ayat:
{قَالَ يَا قَوْمِ هَٰؤُلَاءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ ۖ فَاتَّقُوا اللَّهَ وَلَا تُخْزُونِ فِي ضَيْفِي ۖ أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ}
“Luth berkata: “Hai kaumku, Inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, Maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini, tidak adakah di antaramu seorang yang berakal?” (QS. Hûd [11]: 78)
Kalimat (أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيدٌ) yang berbentuk istifhâm inkariy (kalimat tanya yang maksudnya pengingkaran keras) menunjukkan bahwa Nabi Luth a.s. mengkritik perbuatan kaumnya yang homoseksual sebagai perbuatan tidak berakal.
Maka kian terang benderang bahwa seluruh standarisasi penilaian yang Allah tunjukkan dalam ayat-ayat-Nya di atas, menunjukkan bahwa disorientasi seksual kaum homo bukanlah faktor genetik melainkan suatu penyimpangan dari syari’at, fitrah dan tabi’at manusia yang lurus, yang mesti diobati dengan solusi Islam sehingga kembali kepada fitrahnya.
B. Al-Qur’an: Azab-Azab Allah Bagi Kaum Luth
Mengenai kaum Luth yang terlaknat ini pun, Allah mengisahkannya di banyak tempat (dalam al-Qur’an) bahwa Dia telah menurunkan azab bagi mereka karena perbuatan keji tersebut:
a. Allah Butakan Pandangan Mata Mereka
Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
{وَلَقَدْ رَاوَدُوهُ عَنْ ضَيْفِهِ فَطَمَسْنَا أَعْيُنَهُمْ فَذُوقُوا عَذَابِي وَنُذُرِ}
“Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamunya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku.” (QS. Al-Qamar [54]: 37)
Dimana pada ayat ke-33, disebutkan bahwa mereka telah mendustakan ancaman-ancaman peringatan dari Nabi Luth a.s. (lihat QS. Al-Qamar [54]: 33).
b. Allah Kirimkan Suara yang Sangat Keras
Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
{فَأَخَذَتْهُمُ الصَّيْحَةُ مُشْرِقِينَ}
“Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit.” (QS. Al-Hijr [15]: 73)
c. Bumi yang Mereka Tempati Diangkat dan Dibalikkan
Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
{فَلَمَّا جَاءَ أَمْرُنَا جَعَلْنَا عَالِيَهَا سَافِلَهَا وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ}
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS. Hûd [11]: 82)\
Allah pun menyebut mereka dengan al-Muktafikah, terbalik kepala dan kakinya. Lalu dilempar kembali ke tanah. Allah berfirman:
{وَالْمُؤْتَفِكَةَ أَهْوَىٰ}
“Dan negeri-negeri kaum Luth yang telah dihancurkan Allah.” (QS. Al-Najm [53]: 53)
d. Dihujani dengan Batu dari Tanah yang Keras dan Terbakar Secara Bertubi-Tubi
Allah ’Azza wa Jalla berfirman:
{وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهَا حِجَارَةً مِنْ سِجِّيلٍ مَنْضُودٍ}
“Dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” (QS. Hûd [11]: 82)
Allah kabarkan pula dalam QS. Al-Hijr [15]: 74 dan QS. Al-Qamar [54]: 34.
C. Penegasan Kecaman Al-Sunnah Terhadap Perbuatan Homoseksual
Itu semua merupakan celaan bagi Kaum Luth dan mereka yang meniti jalanya, maka kaum muslimin (para ulama) pun bersepakat bahwa perbuatan kaum ini yakni homoseksual lelaki mendatang lelaki (liwâth) merupakan dosa besar yang jelas-jelas diharamkan Allah, sebagaimana disebutkan Al-Hafizh al-Dzahabi (w. 748 H).[19] Hal itu tidak mengherankan karena dalil-dalil al-Qur’an dan al-Sunnah secara tegas (qath’iy) mengharamkannya. Imam Muhammad bin al-Husain al-Ajurri al-Baghdadi (w. 360 H) bahkan menulis satu kitab khusus berjudul Dzamm al-Liwâth (tercelanya perbuatan liwâth). Para ulama pun menukil dalil-dalil dari al-Sunnah, berupa hadits-hadits Rasulullah –shallallâhu ’alayh wa sallam- yang mengecam perbuatan liwâth:
«إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي عَمَلُ قَوْمِ لُوطٍ»
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR. Ahmad & al-Tirmidzi)[20]
Kekhawatiran Nabi –shallallâhu ’alayh wa sallam- dalam hadits di atas, cukup menunjukkan bahwa perbuatan homo merupakan penyimpangan, bukan sesuatu yang sejalan dengan fitrah manusia sehingga diklaim karena faktor genetik. Dipertegas oleh dalil dalam hadits lainnya, dari Ibnu ’Abbas r.a., berkata: “Rasulullah –shallallâhu ’alayh wa sallam- bersabda:
«لا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى رَجُلٍ أَتَى رَجُلًا أَوِ امْرَأَةً فِي دُبُرِهَا»
“Allah tidak akan memandangi seorang laki-laki yang mendatangi laki-laki lainnya atau mendatangi perempuan pada duburnya.” (HR. Ibnu Hibban, al-Tirmidzi dll)[21]
Imam al-Mulla’ ’Ali al-Qari’ (w. 1041 H) menjelaskan bahwa pandangan tersebut adalah pandangan rahmat dan pemeliharaan. Dan yang dimaksud mendatangi laki-laki yakni pada duburnya.[22] Imam al-Shan’ani (w. 1182 H) pun menegaskan bahwa dalam masalah ini tidak ada ruang ijtihad di dalamnya terlebih penyebutan ancaman dalam hadits ini tidak perlu diketahui dengan ijtihad[23], karena sesungguhnya masalah ini hukumnya jelas. Rasulullah –shallallâhu ’alayh wa sallam- bersabda:
«لَعَنَ اللهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، لَعَنَ اللهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ، لَعَنَ اللهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ»
“Allah melaknat siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth, Allah melaknat siapa saja yang mengamalkan perbuatan kaum Luth.” (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dll)[24]
Dalam hadits di atas, kecaman Rasulullah –shallallâhu ’alayh wa sallam- diulang sebanyak tiga kali yang merupakan penekanan (tawkîd) atas kecaman tersebut, dan faidahnya menafikan keraguan atas kebenaran informasi adanya kecaman tersebut.[25] Dan kata la’ana mashdarnya adalah al-la’nu yakni al-ta’dzîb (siksaan)[26], Imam al-Azhari (w. 370 H) memaknai (لعنه الله) yakni Allah menjauhkannya.[27] Al-Hafizh Ibn al-Atsir (w. 606 H) menjelaskan:
وَأَصْلُ اللَّعْن: الطَّرْد والإبْعاد مِنَ اللهِ، وَمِنَ الخَلْق السَّبُّ والدُّعاء
“Asal kata al-la’nu: terhempas dan terjauhkan[28] dari Allah, dan dari makhluk-Nya berupa celaan dan do’a keburukan.”[29]
Dan makna yang lebih rinci, sebagaimana dijelaskan Imam al-Raghib al-Ashfahani bahwa orang yang terlaknat itu terhempas dan terjauhkan masuk ke dalam jalan kemurkaan, dan laknat dari Allah berupa siksa di akhirat, dan di dunia terputus dari rahmat dan taufik-Nya.[30] Adanya ancaman keras berupa kata laknat jelas mengandung pesan tercelanya perbuatan tersebut, ia termasuk tarhîb dari Allah atas pelakunya, dalam ilmu ushul fikih kata ini pun menjadi indikasi keharaman perbuatan tersebut. Bahkan indikasi bahwa ia termasuk dosa besar. Al-Qadhi ’Iyadh (w. 544 H) menjelaskan:
وقد استدلوا لما جاءت به اللعنة أنه من الكبائر
“Dan sungguh para ulama telah berdalil bahwa hal-hal dimana kata laknat menyertainya maka ia termasuk dosa besar.”[31]
Hingga pelaku homoseksual baik subjek dan objeknya pun wajib dikenakan sanksi hukuman di dunia yang wajib ditegakkan dan menjadi kewenangan al-Imam (Khalifah), berdasarkan dalil:
«مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاِعَلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ»
“Siapa saja di antara kalian menemukan seseorang yang melakukan perbuatan kaum Luth, maka hukum mati lah (oleh Imam atau yang mewakilinya-pen.) subjek dan objeknya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud & al-Hakim)[32]
Nash-nash al-Qur’an dan al-Sunnah di atas jelas mengandung celaan yang menjadi qarînah (indikasi) keharamannya[33], maka tidak mengherankan jika para ulama pun merinci keharaman liwâth secara pasti dan mutlak, tidak ada ruang ijtihad di dalamnya. Lalu apakah masih samar hakikatnya? Allâh al-Musta’ân.
{وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ} سورة الذاريات: ٥٥
[1] Staf Kulliyyat al-Syari’ah wa al-Dirasah al-Islamiyyah STIBA Ar-Raayah Sukabumi.[2] Homoseksual
[3] Barrack Obama, Presiden Amerika Serikat, sebenarnya sudah lama mendukung eksistensi LGBT, hal itu ditandai dengan penentangannya terhadap sikap Pemerintah Uganda yang anti gay, lesbian.
[4] Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Al-Kabâ’ir, Al-Manshurah: Dâr al-Khulafâ’, Cet. I, 1416 H, hlm. 57.
[5] Lihat QS. Al-’Ankabût [29]: 28 dan QS. Al-A’râf [7]: 80.
[6] Dr. Samih ‘Athif al-Zayn, Majma’ al-Bayân al-Hadîts wa Qashash al-Anbiyâ’ fî al-Qur’ân al-Karîm, Kairo: Dâr al-Kitâb al-Mishri, Cet. VII, 1426 H/2005, hlm. 305.
[7] Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Ji, dkk, Mu’jam Lughat Fuqahâ’, Beirut: Dâr al-Nafâ’is, Cet. II, 1408 H, juz I, hlm. 394.
[8] Abu al-Qasim Mahmud bin ‘Amru al-Zamakhsyari, Al-Kasyâf ‘an Haqâ’iq Ghawâmidh al-Tanziil, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. III, 1407 H, juz III, hlm. 451.
[9] Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Umar al-Razi, Mafâtiih al-Ghayb, Beirut: Dâr Ihyâ’ al-Turâts al-‘Arabi, cet. III, 1420 H, juz XXV, hlm. 49.
[10] Ayyub bin Musa al-Husaini Abu al-Baqa’ al-Hanafi, Al-Kulliyyât Mu’jam fii Mushthalahât wa al-Furûq al-Lughawiyyah, Beirut: Mu’assasat al-Risâlah, hlm. 269; Abu Muhammad Badruddin Hasan bin Qasim al-Maradiy al-Malikiy, Al-Junnâ al-Dâniy fî Hurûf al-Ma’âniy, Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, cet. I, 1413 H, hlm. 124.
[11] Dalam ilmu balaghah disebut dengan istilah al-khabar al-inkâriy karena keberadaan penegasan lebih dari satu. Lihat: Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, Riyâdh: Jâmi’atul Imâm Muhammad bin Su’ud al-Islâmiyyah, Cet. II, 1425 H, hlm. 38-39; Muhammad ’Ali al-Sarraj, Al-Lubâb fî Qawâ’id al-Lughah al-’Arabiyyah wa Âlât al-Adab al-Nahw wa al-Sharf wa al-Balâghah wa al-‘Arûdh wa al-Lughah wa al-Mitsl, Damaskus: Dâr al-Fikr, cet. I, 1403 H/1983, hlm. 161.
[12] Abu al-Muzhaffar Manshur al-Sam’aniy, Tafsîr al-Qur’ân, Riyadh: Dâr al-Wathan, cet. I, 1418 H, juz II, hlm. 195-196.
[13] Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim al-Tsa’labi, Al-Kasyf wa al-Bayân ‘an Tafsîr al-Qur’ân, Beirut: Dâr Ihyâ’ at-Turâts al-‘Arabi, Cet. I, 1422 H, juz IV, hlm. 258.
[14] Abu al-Muzhaffar Manshur al-Sam’aniy, Tafsîr al-Qur’ân, juz IV, hlm. 177.
[15] Abu al-Fida’ Isma’il bin Umar bin Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-’Azhiim, Dâr Thayyibah, cet. II, 1420 H, juz VI, hlm. 276.
[16] Abu al-Qasim al-Zamakhsyari, Al-Kasyâf ‘an Haqâ’iq Ghawâmidh al-Tanzîl, juz III, hlm. 451.
[17] Ibid, juz II, hlm. 125.
[18] Abu ‘Abdullah Muhammad bin ‘Umar al-Razi, Mafâtiih al-Ghayb, juz XXV, hlm. 49.
[19] Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Al-Kabâ’ir, hlm. 57.
[20] Hadits shahih, Ahmad (III/382), al-Tirmidzi (IV/1457), Ibnu Majah (II/2563), dishahihkan Al-Hakim (IV/397). Abu Isa mengatakan: “Hadits ini hasan gharib dari jalur ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Uqail bin Abi Thalib dari Jabir bin ‘Abdillah r.a.”
[21] HR. Ibnu Hibban menshahihkannya dalam Shahih-nya (X/267, hadits 4418) Syu’aib al-Arna’uth mengatakan: “Hadits sanadnya kuat memenuhi syarat Muslim”; Al-Tirmidzi dalam Sunan-nya (III/461, hadits 1165) ia mengatakan: “Hadits ini hasan gharib”; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya (IV/251), Al-Bazzar dalam Musnad-nya (XI/380, hadits 5212); Al-Nasa’i dalam Al-Sunan al-Kubrâ’ (VIII/197, hadits 8952) Imam Ibn Daqiq al-‘Iid dalam Al-Ilmâm (II/660, hadits 1290) menyebutkan bahwa para perawinya tsiqah/shahih; Abu Ya’la dalam Musnad-nya (IV/266, hadits 2378) Husain Salim: “Hadits hasan”; Al-Baihaqi dalam Al-Sunan al-Shaghiir (III/54, hadits 2482).
[22] Abu al-Hasan al-Mala’ al-Qari, Mirqât al-Mafâtîh Syarh Misykât al-Mashâbîh, Beirut: Dâr al-Fikr, Cet. I, 1422 H, juz VI, hlm. 2351.
[23] Muhammad bin Isma’il al-Amir al-Shan’ani, Subul al-Salâm, Maktabah Mushthafa al-Bâbi al-Halabi, Cet. IV, 1379 H/1960, juz III, hlm. 138.
[24] Hadits shahih, Ahmad dalam Musnad-nya (I/127), Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (53), al-Thabrani (11546), dishahihkan al-Hakim (IV/356), namun dihasankan oleh Syu’aib al-Arna’uth.
[25] Tim Pakar, Al-Balâghah wa al-Naqd, hlm. 39.
[26] Abu ‘Abdurrahman al-Khalil bin Ahmad al-Farahidi al-Bashri, Kitâb Al-‘Ayn, Ed: Dr. Mahdi al-Makhzhumi, Dâr wa Maktabah al-Hilâl, juz II, hlm. 141.
[27] Muhammad bin Ahmad al-Azhari al-Haruri, Al-Zâhir fî Gharîb Alfâzh al-Syâfi’i, Ed: Dr. Muhammad Jabr, Kuwait: Wizârah al-Awqâf wa al-Syu’ûn al-Islâmiyyah, Cet. I, 1399 H, juz I, hlm. 335.
[28] Lihat pula: Abu al-Qasim Mahmud bin ’Amru al-Zamakhsyari, Asâs al-Balâghah, Ed: Muhammad Basil, Beirut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyyah, Cet. I, 1419 H, juz II, hlm. 171.
[29] Majduddin Abu al-Sa’adat al-Mubarak bin Muhammad (Ibn al-Atsir), Al-Nihâyah fî Gharîb al-Hadîts wa al-Atsar, Ed: Thahir Ahmad al-Zawi, Beirut: al-Maktabah al-’Ilmiyyah, 1399 H, juz IV, hlm. 255.
[30] Abu al-Qâsim al-Husain bin Muhammad al-Râghib al-Ashfahani, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, Maktabah Nazâr Mushthafâ al-Bâz, suku kata (لعن), jilid II, hlm. 581.
[31] ‘Iyadh bin Musa Abu al-Fadhl al-Sabati, Syarh Shahîh Muslim (Ikmâl al-Mu’lim bi Fawâ’id Muslim), Mesir: Dâr al-Wafâ’, cet. I, 1419 H, juz IV, hlm. 486.
[32] Hadits shahih, Ahmad (I/300), al-Tirmidzi (IV/1456), al-Hakim (IV/355), Abu Dawud (IV/4462), Ibnu Majah (II/2561), al-Daruquthni (III/124), al-Bayhaqi (VIII/232)
[33] ‘Atha bin Khalil Abu al-Rasytah, Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, Beirut: Dâr al-Ummah, Cet. III, 1421 H, hlm. 20.
Sumber: irfanabunaveed.net