Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H (Advokat, Aktivis Hizbut Tahrir)
Publik untuk yang kesekian kalinya dikejutkan dengan kabar kematian terduga teroris oleh Densus 88. Adalah Siyono, 33 tahun, warga Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Klaten, yang ditangkap Densus 88 Mabes Polri pada Rabu (9/3). Bapak lima anak itu kemudian meninggal pada hari Jumat (11/3), saat berada dalam pemeriksaan Densus 88 Anti Teror Mabes Polri.
Terang saja peristiwa ini memantik keprihatinan dan kemarahan umat Islam. Pimpinan Majelis Adz-Dzikra KH. Muhammad Arifin Ilham menyebut apa yang telah diperbuat Densus merupakan tindakan yang dzolim terhadap umat Islam. Melalui akun Facebook-nya, ia menilai tindakan yang dilakukan Densus 88 terhadap umat Islam terus berulang dengan dalih terorisme. Tindakan langsung tangkap, tembak, siksa, bunuh tanpa hak bela, tanpa bukti, tanpa pengadilan, kontras dengan visi negara hukum.
Komisioner Komnas HAM Manager Nasution juga memberikan perhatian khusus terhadap peristiwa ini. Komnas HAM berkomitmen secepatnya untuk menginvestigasi kasus kematian Siyono.
“Siapapun yang mencintai kemanusiaan tentu tidak setuju dengan tindakan kekerasan, apalagi terorisme yang dilakukan oleh siapapun dengan dalih apapun, karena itu bertentangan dengan HAM yang adil dan beradab. Hanya cara pencegahan dan penidakannya tentu tidak boleh dengan cara yang tidak manusiawi, tidak adil dan tidak beradab,” terangnya sebagaimana dilansir detik.com (13/03/16).
Kepala Pusat Kedokteran Kesehatan (Dokkes) Mabes Polri Brigjen Arthur Tampi mengatakan terduga teroris Siyono meninggal akibat benda tumpul. Hal tersebut diketahui setelah jenazah Siyono diperiksa oleh tim Labfor Mabes Polri yang menerima jenazah pada Jumat. (Republika.com, 14/03/16)
Sebelumnya, Mabes Polri menjelaskan Siyono meninggal karena melakukan perlawanan di dalam mobil. Saat itu, Siyono yang telah ditutup wajahnya dengan topeng dan diikat borgol meminta dilepaskan, namun setelah dilepas ternyata Siyono memukul seorang anggota Polri. Terjadilah duel anggota Polri dengan Siyono yang berujung kematian Siyono.
Revisi UU Anti Terorisme perlu ditinjau ulang
Pasca peristiwa bom Thamrin, Pemerintah bersama DPR menyatakan akan merevisi UU Anti Terorisme dengan alasan agar aparat dapat mengambil serangkaian tindakan preventif dan antisipatif. Faktanya, draft revisi isinya mengatur penambahan serangkaian kewenangan penyidik yang sebelumnya sudah ‘over power full’.
Di dalam Undang-Undang Anti Terorisme (UU No 15/2003), penyidik telah diberi wewenang tambahan yang menyimpang dari Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP). Dalam kasus terorisme, sesuai ketentuan pasal 28, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap terduga teroris, hanya dengan bukti intelijen yang telah dilegalisasi ketua pengadilan. Hal ini menyimpangi hukum acara dalam KUHAP, yang mengatur penangkapan hanya bisa dilakukan pada seseorang yang telah berstatus sebagai tersangka.
Frasa “Terduga” ini pada praktiknya telah dijadikan dalih oleh Densus 88 dalam banyak kasus untuk melakukan tindakan pembunuhan diluar vonis pengadilan (Extra judicial killing). Tindakan ini tentu saja melabrak asas praduga tak bersalah (presuption of inocent), yang seseorang itu harus dianggap tidak bersalah sebelum ada vonis pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Status seorang terduga teroris tidak boleh dianggap bersalah sehingga marwah, wibawa, termasuk keselamatan jiwanya harus tetap diperhatikan.
Celakanya, media masa mainstream juga ikut-ikutan latah memberitakan kabar dengan memvonis terduga teroris, padahal dari banyak kasus terbunuhnya teroris mayoritas di eksekusi pada status terduga, bukan dengan status terpidana atau setidak-tidaknya dengan status sebagai terdakwa.
UU anti terorisme juga telah memberikan wewenang kepada penyidik untuk melakukan penahanan terhadap terduga teroris hingga batas waktu 7 X 24 jam. Penahanan dengan modal status “terduga” tentu saja sangat rawan disalahgunakan, mengingat bukti permulaan yang cukup dalam kasus terorisme dapat diambil hanya dengan dasar data atau pemeriksaan intelejen.
Padahal, menurut KUHAP wewenang penahanan diberikan kepada penyidik hanya pada saat penyidik telah menetapkan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sebagai tersangka atau terdakwa (pasal 20 KUHAP). Tidak ada satupun ketentuan dalam KUHAP yang memberikan wewenang pada penyidik untuk melakukan penahanan pada seseorang dengan status terduga.
Sesuai ketentuan pasal 25 ayat (2) UU Anti Terorisme, telah diberikan wewenang kepada penyidik secara kumulatif untuk melakukan penahanan kepada tersangka teroris sampai pada batas waktu 6 (enam) bulan atau 180 hari. Padahal pada tahap penyidikan kasus yang lain, penyidik oleh KUHAP hanya diberi wewenang melakukan penahanan selama 20 hari dan dapat ditambah maksimal 40 hari (pasal 24 ayat 1 dan 2 KUHAP), itupun dengan syarat yang ketat.
Wewenang yang melampaui KUHAP ini pada praktiknya rawan dipergunakan secara tidak profesional dan berpotensi disalahgunakan (abuse of power). Penyidik bisa saja—dengan dalih belum lengkapnya alat bukti—melakukan penahanan kepada tersangka teroris hingga batas maksimal 6 bulan. Alhasil, sebelum diajukan dipersidangan pengadilan dan diberi vonis berdasarkan kekuatan bukti sebagaimana diatur undang-undang, seorang tersangka teroris telah “divonis” penjara oleh penyidik pada masa penahanan. Faktanya, penahanan ini telah menghilangkan hak-hak seseorang terhadap kebebasan dirinya.
Oleh sebab itu, wacana revisi undang-undang Anti Terorisme yang salah satu substansinya adalah memberikan wewenang kepada penyidik untuk melakukan penahanan kepada terduga teroris hingga 14 X 24 Jam (sebelumnya 7 X 24 jam), penahanan kepada tersangka teroris hingga 8 bulan (sebelumnya maksimal 6 bulan), izin verifikasi data intelejen cukup melalui hakim (sebelumnya harus melalui izin ketua pengadilan), mempermudah pembuktian melalui alat bukti atau saksi elektronik diluar bukti yang diatur KUHAP, pencabutan izin status kewarganegaraan teroris, semua ini harus ditolak.
Dengan wewenang yang ada saja, penyidik—dalam hal ini Densus 88—telah berkali-kali bertindak tidak profesional dan cenderung menyalahgunakan wewenangnya. Apalagi jika wewenang itu ditambah, publik akan menjadi semakin sulit melakukan kontrol atas tindakan penegakan hukum yang dilakukan oleh Densus 88.
Sebagai tambahan, penindakan kasus terorisme selama ini juga tidak fair. Aksi-aksi kekerasan dalam tindak terorisme selalu diarahkan kepada umat Islam. Kasus bom mal Alam Sutera adalah contoh yang paling kontras. Penyidik tidak menetapkan tersangka sebagai pelaku teroris meskipun ditemukan bukti penggunaan bom dan diakui oleh tersangka. Setelah diselidiki, ternyata pelaku bukan seorang muslim.
Bahkan, melihat rekam jejak penindakan kasus terorisme oleh Densus 88 yang sering menimbulkan kematian, wacana tentang pembubaran Densus 88 Anti Teror patut untuk dipertimbangkan.
Solusi Paripurna
Banyaknya kasus pembunuhan terhadap terduga teroris yang tidak lain adalah umat Islam, perlu untuk disikapi secara kritis dan penting untuk segera mengambil serangkaian tindakan antisipasi dan penyelesaian yang bersifat komprehensif dan terintegrasi. Kritik Rezim dan sistem harus dijadikan basis penelaahan dan analisis agar terhindar dari solusi yang bersifat parsial, insidental, dan pragmatis.
Tidak boleh adalagi pembunuhan terhadap jiwa dimana Allah SWT telah menjaganya dan haram menumpahkan darahnya. Allah SWT berfirman:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan suatu (sebab) yang benar” (TQS. Al-‘An’âm: 151)
Allah Ta’ala juga berfirman:
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.” (TQS. Al-Mâidah: 32)
Sementara Rasulullah SAW yang mulia telah bersabda:
“Hancurnya dunia lebih rendah kedudukannya di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang muslim tanpa hak.” (HR: Ibnu Maajah)
Oleh karenanya, kedzaliman berupa pembunuhan terhadap jiwa-jiwa yang diharamkan oleh Allah SWT, baik dalam kasus terorisme maupun kasus-kasus kejahatan lainnya harus segera dihentikan. Menghentikan pembunuhan maknanya adalah menghentikan kedzaliman. Menghilangkan kedzaliman harus dimulai dengan menghilangkan akar atau sebab masalah, yakni diterapkannya aturan dan sistem yang dzalim, sistem yang tidak berasal dari Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, Tuhan Manusia, dan Tuhan Kehidupan.
Menghilangkan kedzaliman berarti menghilangkan keberlakuan sistem Kapitalisme-Sekulerisme-Demokrasi sebagai biang kerusakan dan bala’ bagi umat Islam. Menghilangkan kedzaliman maknanya juga harus menjauhkan kekuasaan politik dari rezim yang dzalim, yakni dari orang-orang yang memimpin mengikuti hawa nafsunya, orang-orang yang menentang perintah dan larangan Allah, orang-orang yang telah menghalalkan apa yang Allah haramkan dan mengharamkan apa yang Allah halalkan.
Maka, dalam konteks menghilangkan kedzaliman oleh aparat Densus 88 kepada umat Islam, termasuk menjauhkan umat Islam dari kedzaliman sistem Kapitalisme Sekulerisme Demokrasi, hanya bisa diwujudkan manakala umat ini kembali menerapkan syariat Islam yang mulia dengan menegakkan sistem Khilafah.
Khilafah-lah yang akan mengadopsi seperangkat undang-undang dan aturan yang di-istinbath dari al Qur’an dan as Sunnah, untuk mengatur kehidupan umat. Memberikan hak pada ahlinya, menegakkan kebenaran dan keadilan, menghilangkan kedzaliman, menjaga harta, menjaga setiap jiwa, menjaga agama, dan pada akhirnya tujuan paripurna penciptaan manusia bisa diwujudkan, yakni, menjadikan umat manusia benar-benar menghamba kepada Allah semata serta menolak untuk tunduk, taat, dan patuh kepada selain-Nya. Wallahu ‘alam bish Showab []