HTI-Press,Jakarta. Revisi Undang –Undang Antiterorisme menurut ketua Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia Yahya Abdurrahman, memberi potensi lahirnya rezim yang lebih represif dan berpeluang terlahir “Guantanamo” versi Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara Dirasah Syar’iyyah ‘Ammah (DSA) pada hari Sabtu (19/03) di Aula Gedung Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia Crown Palace Tebet Jakarta Selatan.
Menurut Yahya Abdurrahman, terdapat beberapa pasal karet dan multitafsir dalam Revisi UU Antiterorisme, diantaranya adalah pasa 1 ayat 5, pasal 12A ayat 1, pasal 12B ayat 2, pasal 13A.
“Di pasal lain bahkan ada usaha meningkatkan atau menambah ancaman hukuman bagi tersangka, malah yang masih terdakwa. Sepeti pasal pasal 25, 28, 31, dan pasa 43A” papar Yahya.
Yahya melanjutkan bahwa revisi ini sejatinya tidak berbicara tentang pengawasan dan mekanisme pertanggungjawaban operasi penindakan terorisme.
“Padahal selama ini minimal sudah 116 orang terduga yang mati, mereka baru terduga, dan ini bukan status hukum”, tegasnya.
Selain itu cenderung ada “kriminalisasi berlebihan”, kecenderungan ini bisa berbahaya dan berpotensi dijadikan alat membungkam kalangan yang tidak sepaham dengan pemerintah.
“Terakhir, tidak ada aturan tentang rehabilitasi dan kompensasi atas salah tangkap atau bahkan salah tembak” tutupnya dalam akhir presentasi di hadapan 80 an peserta DSA.
Sedangkan menurut Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI KH Hafidz Abdurrahman MA, tindakan teror bisa dilakukan oleh individu, kelompok dan juga negara dengan target individu, kelompok atau juga negara.
“Secara umum, teror yang dilakukan terhadap umat Islam atau Ahli Dzimmah yang hidup di dalam wilayah Negara Khilafah hukumnya haram. Baik teror tersebut dilakukan oleh individu, kelompok maupun negara” paparnya.
Ketua Lajnah Tsaqofiyah DPP HTI ini menjelaskan lebih lanjut bagaimana negara Khilafah menyikapi terorisme. Menurutnya, terhadap pelaku teror individu, polisi (Syurthoh) sebagai aparat yang diberi kewenangan menangkap, menahan dan melakukan penyidikan dengan harus didasarkan kepada “bukti” permulaan. Hanya saja, dalam penyidikan tidak boleh melakukan intimidasi, teror dan ancaman, juga tidak diberi hak untuk melakukan penyadapan, dan memata-matai rakyat. Jika terbukti, dibawa ke pengadilan kemudian divonis oleh hakim dengan sanksi ta’zir.
Ditambahkan, jika pelaku teror tersebut kelompok, apalagi kelompok bersenjata dan menjadi kepanjangan tangan kepentingan negara Kafir Harbi, seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis atau lainnya. Polisi dan militer harus bahu membahu menumpas aksi teror tersebut. Jika polisi dan militer tidak mampu, maka rakyat wajib membantu. Karena, hukum mempertahankan negara yang menerapkan syariat Islam hukumnya wajib, bukan hanya bagi polisi dan militer, tetapi juga seluruh kaum Muslim.
Adapun individu atau kelompok kepanjangan negara kafir harbi seperti ini disebut sebagai Ahlu ar-Raib (pihak yang dicurigai).
“Terhadap mereka, aparat keamanan boleh memata-matai, termasuk melakukan penyadapan, sebelum dan setelah mereka ditumpas. Individunya bisa dikenai ta’zir hingga hukuman mati, bergantung keputusan pengadilan dan organisasinya dibubarkan,” tegasnya.
Negara dalam Islam – lanjutnya- tidak boleh berubah menjadi negara militer, negara polisi atau koboi. Karena ini telah menyebabkan dharar, bukan saja bagi individu, tetapi juga negara itu sendiri. Pendek kata, ketika negara melakukan teror kepada rakyat, maka tindakan ini harus dikoreksi, diluruskan sehingga kembali sebagaimana mestinya. Partai politik, majelis umat, hingga rakyat bisa langsung melakukan upaya tersebut. Jika koreksi tersebut tidak berhasil, dan negara tetap melakukan “kezaliman”, maka tugas untuk menghilangkan kezaliman tersebut jatuh ke tangan Mahkamah Mazalim. Para penguasa yang terlibat dalam aksi teror tersebut harus diberhentikan.
“Berbeda dengan aparat penindak terorisme di negeri ini yang jelas melakukan kesalahan dalam menangkap pelaku teror, hal ini mendatangkan teror bagi rakyat dan tidak ada lembaga yang menindak kesalahan tersebut” jelas Kiyai Hafidz.
“Walaupun tindakan sewenang-wenang aparat penindak terorisme bisa lolos dari mahkamah di dunia, akan tetapi mereka tidak bisa lolos dari mahkamah di akhirat kelak, begitulah yang akan mereka dapatkan, karena nyawa seorang mukmin lebih berharga daripada ka’bah,” tegasnya. [LTsaqofiya/AJ]