Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, kematian Siyono patut diduga sebagai akibat terorisme organ negara. “Patut diduga bahwa kematian Siyono itu adalah akibat kekerasan oleh organ negara (state terrorism),” ujar Komisioner Komnas HAM Maneger Nasution dalam pesan tertulis kepada mediaumat.com, Rabu (23/3).
Menurutnya, penyelidikan Komnas HAM dalam kasus kematian Siyono ini tentu bukan untuk membela teroris. Komnas HAM, dan tentu semua pencinta kemanusian, bersepakat bahwa tindakan kekerasan dan terorisme dengan motif apa pun dan oleh siapa pun adalah musuh kemanusiaan.
“Komnas HAM, dalam konteks ini, tentu hanya membela hak-hak seseorang warga negara yang baru dianggap terduga teroris. Penangkapan tanpa prosedur atas seorang warga negara sebagaimana diduga dialami Siyono sama sekali tidak boleh dibiarkan. Selain menyelidiki prosedur penangkapan, Komnas HAM juga mengumpulkan sejumlah bukti yang berkaitan dengan peristiwa penangkapan hingga pasca-kematian Siyono,” bebernya.
Awalnya pihak kepolisian menyebut bahwa penyebab tewasnya Siyono (39) usai ditangkap Densus 88 karena kelelahan, usai berkelahi dengan Densus 88 saat dalam pengembangan kasus. Namun kemudian kepolisian meralat sendiri alasan itu dengan mengatakan bahwa Siyono meninggal akibat “kelalaian” Densus 88.
Komnas HAM menduga ada pelanggaran prosedur dalam penangkapan yang berujung pada kematian Siyono. Diduga tidak ada surat perintah penangkapan. Yang ada hanya surat penyerahan jenazah berkop surat Kepolisian RI. Meski Siyono dilabeli sebagai terduga teroris, penangkapannya pada Selasa dua pekan lalu itu tentu tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Penangkapan yang berujung kematian Siyono itu menyisakan banyak pertanyaan.
“Siapa yang menangkap Siyono? Benarkah anggota Densus88 Antiteror? Dibawa kemana dia? Apa saja yang dia alami selama dalam kekuasaan yang diduga Densus88? Dan seterusnya. Ini semua belum terang benderang. Dengan demikian ada kejanggalan kematian Siyono,” tulis Maneger.(mediaumat.com, 23/3/2016)