Belum lama ini Presiden Joko Widodo telah menandatangani Perpres nomor 19 Tahun 2016 yang berisi kenaikan tarif iuran BPJS yang diberlakukan per 1 April 2016. Pada pasal 16, iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta penduduk yang didaftarkan oleh pemerintah daerah naik dari Rp 19 ribu menjadi Rp 23 ribu per orang per bulan. Pasal 16 F, merinci iuran Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta Bukan Pekerja pun naik. Untuk kelas III menjadi Rp 30.000, kelas II menjadi Rp 51.000 dan kelas I menjadi Rp 80.000.
Kenaikan iuran ini (baca: premi) dinaikkan setelah sebelumnya beredar kabar BPJS akan kolaps. Menurut Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Budi Hidayat, sepanjang tahun 2016 diperkirakan BPJS Kesehatan akan mengalami defisit senilai Rp10 triliun. Jumlah ini lebih besar dua kali lipat dibanding tahun lalu yang mencapai Rp 5 triliun. Hal ini disebabkan besarnya klaim kesehatan yang dilakukan oleh masyarakat pada berbagai kelas. (Okezone.com, 07/03/16).
BPJS Kesehatan, melalui keterangannya, meminta masyarakat berpikir jernih dalam menyikapi kenaikan tarif ini. Disebutkan semangat kenaikan tarif ini demi Ketersediaan, Kelancaran, dan Keberlanjutan (3K) program jaminan kesehatan.
“Semuanya dilakukan dalam upaya penyempurnaan pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dalam upaya mewujudkan kesejahteraan bangsa di sektor (bidang) kesehatan,” tulis keterangan tersebut. (Detik,16/03/16)
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memberikan tanggapan terhadap kenaikan tarif BPJS. Menurut IDI, dengan diterbitkannya Perpres Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2013 tentang jaminan kesehatan, harus diikuti dengan perbaikan tata kelola Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang lebih baik.
“Perubahan yang terjadi juga harus ada perbaikan dengan tata kelola pelaksanaan JKN, kecukupan anggaran JKN akan mendorong peningkatan pelayanan kesehatan, sistem kesehatan yang optimal, preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif,” ujar Ketua Umum PB IDI, Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis.
Sekretaris Jenderal Ikatan Dokter Indonesia Dr Moh Adib Khumaidi juga memberikan tanggapan. Ia menyebut tidak hanya kenaikan iuran premi tapi juga perbaikan kualitas layanan kesehatan juga harus ditingkatkan. Jumlah dokter harus sesuai dengan rasio, baik fasilitas dan prasarana kesehatan juga harus ditingkatkan.
Rencana kenaikan tarif BPJS menuai kritik buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Para buruh menyatakan penolakannya terhadap kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan iuran bagi peserta BPJS Kesehatan pekerja penerima upah (PPU) mengalami kenaikan menjadi 2 persen untuk pekerja dan 3 persen untuk pengusaha.
“Buruh menolak keras kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dibayar buruh menjadi 2 persen. Sedangkan pengusaha menjadi 3 persen,” ujar dia di Jakarta. (liputan6.com, 11/3/2016)
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, meskipun kenaikan iuran BPJS Kesehatan ini dilakukan demi menutup defisit operasional yang mencapai lebih dari Rp 7 triliun sejak 2014, seharusnya pemerintah tidak melakukannya.
“Terlepas dari soal defisit, kebijakan menaikkan tarif iuran BPJS untuk peserta mandiri adalah kebijakan yang kontraproduktif dan tidak mempunyai empati. Di saat sedang lesunya pertumbuhan ekonomi dan menurunnya daya beli masyarakat,” ujarnya.
Tulus menjelaskan sebelum menaikkan iuran, BPJS seharusnya melakukan evaluasi terhadap kinerjanya. Pasalnya, sampai detik ini BPJS Kesehatan belum mempunyai standar pelayanan minimal yang jelas (14/03/16).
Ketua Harian DPP Partai Gerindra Moekhlas Sidik menyatakan Partai Gerindra menolak kenaikan tarif iuran BPJS. Sikap partainya itu didasari alasan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan akan semakin membebani masyarakat. Selain itu, masih banyak keluhan soal pelayanan kesehatan yang diperoleh masyarakat peserta BPJS Kesehatan.
“Gerindra menolak keras kenaikan iuran BPJS Kesehatan di tengah pemberian fasilitas pelayanan yang masih buruk kepada masyarakat saat ini,” tegas Moekhlas Sidik di Jakarta, Jumat. (jpnn.com, 18/3/16)
Adapun DPR melalui Komisi IX DPR RI yang menangani masalah kesehatan meminta agar Presiden Jokowi menunda kenaikan iuran tersebut. Ketua Komisi IX Dede Yusuf mengatakan, pihaknya telah membuat Panitia Kerja terkait BPJS Kesehatan yang telah berjalan selama dua bulan. Rencananya, hasil kerja tersebut akan dilaporkan ke pemerintah sebagai bahan pertimbangan (19/03/16).
Menyikapi besarnya arus penolakan kenaikan BPJS kesehatan, Pemerintah terkesan panik. Saat dimintai. tanggapannya, Presiden Joko Widodo mengaku akan memanggil Direksi dan manajemen BPJS untuk melihat urgensi kenaikan iuran BPJS tersebut.
“Saya akan panggil direksi dan manajemennya,” kata Presiden saat meninjau pelaksanaan BPJS Kesehatan di RSUD Sumedang, (rmol.com, 17/3)
BPJS Kesehatan adalah Asuransi Publik, bukan jaminan sosial kesehatan
Sistem pelayanan kesehatan BPJS kesehatan pada hakekatnya menerapkan prinsip asuransi. BPJS memberikan layanan pertanggungan kepada tertanggung, yakni masyarakat, dengan meminta kompensasi pembayaran premi melalui iuran BPJS. Klaim pertanggungan yang diberikan kepada masyarakat layaknya klaim asuransi swasta lainnya. Klaim hanya diberikan kepada masyarakat yang telah terdaftar sebagai peserta BPJS kesehatan, artinya asuransi masyarakat yang telah terdaftar sebagai peserta BPJS kesehatan adalah pihak tertanggung.
Problem klasik yang dialami asuransi kesehatan berupa besarnya klaim ketimbang penerimaan premi pembayaran juga dialami BPJS kesehatan. Maka di semua perusahaan asuransi akan menerapkan manajemen resiko berupa upaya untuk mengurangi jumlah dan besaran pertanggungan kepada tertanggung, berupa pengetatan syarat klaim dalam polis, pelaksanaan klaim yang ketat dengan mengikuti prosedur tertentu, dan serangkaian tindakan lainnya yang dapat mengurangi atau setidaknya-tidaknya dapat mengefektifkan dan mengefisienkan besaran klaim.
Sementara dalam upaya menggenjot penerimaan, perusahaan asuransi akan mengupayakan serangkaian langkah dan tindakan untuk menaikan pembayaran premi termasuk meningkatnya jumlah dan nominal pembayaran. Bisa dengan menawarkan produk layanan dengan kompensasi tambahan, pemasaran produk asuransi kepada masyarakat yang belum bergabung, layanan pembayaran premi yang diperluas dan dipermudah sarana dan prasarananya, atau cara-cara lain.
Dalam dunia asuransi ada adagium umum, “senyum perusahaan asuransi saat menagih premi menjadi ketus saat melayani klaim”. Ini dikarenakan perusahaan asuransi adalah perusahaan jasa yang core bisnisnya bertujuan memeroleh untung. Jika jumlah layanan klaim lebih tinggi ketimbang nilai penerimaan premi, perusahaan asuransi akan merugi bahkan bisa tutup. Sebaliknya, jika penerimaan premi lebih tinggi (besar) ketimbang jumlah layanan klaim maka perusahaan asuransi akan memperoleh keuntungan.
Strategi umum pengembangan perusahaan asuransi adalah bagaimana melakukan pengetatan klaim hingga mendekati angka 0 (nol), sekaligus memaksimalkan penerimaan premi hingga menuju angka tak terhingga.
Kita tahu bahwa asuransi swasta sifatnya opsional, masyarakat bisa memilih dan membandingkan kualitas layanan asuransi, sehingga bisa menetapkan keikutsertaan program asuransi berdasarkan manfaat maksimal yang diperoleh. Akan tetapi, berbeda halnya dengan BPJS kesehatan. BPJS kesehatan adalah asuransi publik yang keikutsertaannya dipaksa berdasarkan kekuatan undang-undang. Sehingga, seburuk atau banyaknya masalah layanan BPJS kesehatan dalam melayani tertanggung (peserta BPJS) peserta BPJS tidak bisa memilih keluar dari kepesertaan BPJS.
Hal ini memicu beberapa perusahaan asuransi swasta untuk menawarkan layanan Coordination of Benefit (CoB) kepada peserta asuransinya. Sistem CoB berupaya mengkoordinasikan layanan BPJS dengan benefit asuransi. Mengingat tidak semua layanan kesehatan disediakan BPJS kesehatan, sementara tertanggung membutuhkannya. Ini juga dijadikan jalan keluar bagi asuransi swasta untuk dapat bertahan di tengah gempuran persaingan sejak diberlakukannya BPJS. Bagi beberapa peserta asuransi swasta, terpaksa membiayai layanan kesehatan secara ganda. Membayar iuran BPJS dan terdaftar pada asuransi swasta sesuai dengan layanan dan benefit yang dikehendaki.
Solusi Islam
Asuransi adalah perusahaan bisnis yang bertentangan dengan konsep Islam. Manfaat untuk memberikan pertanggungan berupa kompensasi pembiayaan dan pembayaran, pada kondisi tertentu yang dialami tertanggung bukanlah objek syirkah (bisnis) yang diperbolehkan dalam Islam.
Sementara negara, tidak boleh memberikan layanan kesehatan dengan membebankan pembiayaannya kepada masyarakat, baik dengan sistem asuransi atau pengenaan pajak. Penarikan dana masyarakat baik dalam bentuk iuran, pajak atau apapun namanya, dengan dalih dana tersebut akan dikelola untuk memberikan layanan kesehatan bagi masyarakat tidak bisa dibenarkan. Negara harus mengambil peran sebagai pelayan bukan pebisnis. Maka keseluruhan layanan publik, berupa pendidikan, keamanan termasuk layanan kesehatan harus diberikan oleh negara kepada rakyat secara cuma-cuma, tanpa memandang kelas. Semua rakyat, baik kaya atau miskin memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dari negara.
Layanan kesehatan masyarakat adalah layanan yang sifatnya darurat. Keberadaannya mendesak untuk disediakan negara untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Negara harus menanggung keseluruhan biaya kesehatan—tanpa membebankannya—kepada masyarakat. Negara bisa mengambil pos-pos penerimaan negara dari milkiyatul umat seperti harta penerimaan negara dari tambang, minyak dan gas, pendapatan hasil hutan, yang jumlahnya melimpah.
Mengingat pentingnya layanan kesehatan maka negara harus mengupayakan dan menjamin ketersediaannya. Jika ada anggaran di pos perbendaharaan negara maka negara segera membelanjakannya. Jika anggaran di perbendaharaan negara kosong, negara harus mencari solusi alternatif baik berupa pinjaman maupun menetapkan dharibah (pajak khusus) yang dibebankan hanya kepada warga negara yang kaya.
Dengan demikian, layanan kesehatan dapat diberikan negara secara maksimal tanpa membebani rakyat. Konsep layanan ini hanya dapat diwujudkan jika negara menerapkan syariah secara total dalam mengatur kehidupan rakyat. Tanpa penerapan syariah Islam secara total, niscaya problem layanan kesehatan dan problem-problem lain yang menimpa negeri ini tidak akan pernah tuntas.
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (Qs. Al-A’raf: 96)
Wallahu a’lam bish Showab. [] Abu Jaisy al Askari