Oleh: Umar Syarifudin (Lajnah Siyasiyah DPD Hizbut Tahrir Indonesia Kota Kediri)
Ketika Indonesia dipaksa ‘asing’ menyerah pada tuntutan besar untuk melepas provinsinya, Timor Timur, Negara-negara besar dan bank-bank dunia bergerak cepat untuk menawarkan ‘jeratan’ bantuan. Pemerintah Timor-Leste sekarang tengah menempuh berbagai cara untuk memperolah utang dari beberapa sumber: Portugal, Cina, dan Institusi Keuangan Internasional seperti Bank Dunia dan IMF adalah sumber-sumber yang termasuk di dalamnya.
Hal yang jelas adalah bahwa pinjaman ini akan digunakan untuk merealisasi ambisi para pemimpin Timor-Leste, seperti membangun jalan tol, pelabuhan, gedung mewah, dan sarana infrastruktur lain. Mengingat bahwa keputusan ini adalah keputusan yang sangat krusial bagi masa depan Negara ini.
Lebih dari satu dekade setelah memisahkan diri dari Indonesia, Timor Timur belum juga terbebas dari belitan kemiskinan. Situs al jazeera mencatat bahwa seluruh bantuan yang masuk wilayah tersebut telah gagal memakmurkan masyarakat Timor Timur. Pemisahan Timor Timur dari wilayah Indonesia merupakan salah satu inisiatif Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang paling mahal.
Kegagalan rezim sekuler Indonesia yang dipimpin oleh Suharto membuka pintu untuk para misionaris Kristen di Timor Timur dan dengan demikian jumlah orang Kristen meningkat di sana. Sedangkan selama periode penjajahan Portugis, jumlah mereka tidak lebih dari 211.000 orang, tetapi sejak bergabung dengan Indonesia pada tahun 1996, jumlah mereka membengkak menjadi 796.000 orang dan jumlah gereja meningkat delapan kali lipat dibandingkan dengan jumlah selama pemerintahan kolonial Portugis.
Selain proses Kristenisasi, negara-negara Eropa dan Australia sangat ingin adanya pemisahan Timor Timur dari Indonesia dengan mendorong dan mendukung gerakan-gerakan separatis di sana. Australia secara terbuka dan berani mendukung gerakan separatis dalam segala hal, seperti: finansial, militer dan politik.
Referendum Timor Leste yang bertujuan untuk memisahkan provinsi itu dari wilayah Indonesia telah menjadi kesimpulan atas sebuah proyek kolonial kembali seperti pada abad ke-19 lalu. Perang saudara dan kekerasan telah menyiratkan perjuangan itu dan akibatnya banyak fakta mendasar yang telah hilang, sehingga memudahkan jalan untuk meng-internasionalkan pemisahan sebuah negara muslim.
Makin Memburuk
Sebagai suatu tanah Islam, Timor Timur, terputus dari negeri asalnya, Indonesia, dan sekali lagi berada di bawah otoritas kekufuran melalui konspirasi negara-negara Barat yang dipimpin oleh Amerika, dan dengan PBB, IMF dan Bank Dunia, dan juga dengan keterlibatan dan intervensi dari penguasa Indonesia.
Timor Leste menjadi negara ketiga di dunia dengan tingkat kekurangan gizi anak tertinggi. Negara ini juga memiliki salah satu tingkat tertinggi pertumbuhan penduduk, seperti sub-Sahara Afrika dan Afghanistan, sehingga akan menjadi penduduk muda untuk waktu lama.
Pengangguran meningkat mulai terjadi tahun 2006 ketika dipicu oleh pergolakan dalam militer Timor Leste. Negara itu mengalami krisis besar, tentara dan polisi mengambil alih jalan-jalan di Dili, memaksa 150.000 orang mengungsi. Akibat krisis tersebut, PBB memperingatkan bahwa masalah mendasar yang telah memberikan kontribusi terhadap penyebaran kekerasan di kalangan warga sipil, salah satunya adalah pengangguran massal.
Di atas kertas, pengangguran itu tidak berdampak buruk bagi perekonomian Timor Leste. PDB negara itu bertumbuh sebesar delapan persen tahun lalu, menurut Bank Pembangunan Asia, dan ini akan terus berlanjut hingga tahun 2015.
Sebanyak 85% guru sekolah gagal tes kompetensi dasar. Hal ini menyebabkan pemerintah mengeluhkan pengeluaran yang harus difokuskan pada modal manusia, dengan meningkatkan pendidikan dan perawatan kesehatan, memperbaiki irigasi pertanian dan mempertimbangkan bahwa sebagian besar orang Timor Leste, yaitu 1 juta orang adalah petani subsistem.
Menurut salah satu peneliti dari Dili, La’o Hamutuk, sebesar 5,2 miliar dolar AS bantuan hutang yang masuk ke Timor Timur berasal dari komunitas internasional. Sedangkan sisanya, sekitar 3 miliar dolar AS merupakan bantuan untuk membiayai tentara perdamaian, utamanya berasal dari Australia dan Selandia Baru.
Dili adalah kota yang mulai bergeliat, dihiasi toko-toko, kafe internet, restoran, gedung, toko kelontong, belum lagi kehadiran kendaraan PBB dan petugas polisi internasional. Seorang pengusaha Australia-Timor sedang membangun pusat perbelanjaan raksasa di tanah seluas 15 hektar dekat bandara.
Tapi tidak semua orang senang. Politisi oposisi, organisasi bantuan, bahkan presiden, Jos Ramos-Horta, menyatakan waspada akan tingkat pengeluaran pemerintah dan tidak adanya pengawasan untuk kontrak penawaran dan kinerja. Mereka juga mencatat bahwa 85% dari penduduknya hidup di daerah pedesaan, dan angka kemiskinan tertinggi di 40%.
Dampak hutang Luar Negeri
Sejarah utang luar negeri mengindikasikan dengan jelas bahwa negara-negara kreditor memberi pinjaman dengan tujuan untuk memperluas pasar buat produk mereka, menguasai sumber daya alam, dan memperoleh buruh dengan upah murah. Maka ‘rencana strategis’ negara-negara kapitalis berjalan mulus ditandai meningkatnya permintaan terhadap bahan-bahan mentah dan perluasan pasar, seperti yang dialami China sekarang ini.
dalam kasus sekarang, meskipun Pemerintah Timor-Leste belum memberikan informasi secara detail mengenai berbagai kondisi dari utang tersebut, tetapi indikasi ini terlihat jelas dengan 40% dari uang yang dipinjamkan dari Portugal akan digunakan untuk membeli bahan-bahan dari Portugal. Itu belum terhitung dengan jumlah tenaga kerja atau yang notabene “ahli” yang akan didatangkan dari Portugal. Meskipun 40% diklaim akan digunakan untuk membelanjakan bahan-bahan di Timor-Leste, tetapi yang jelas bahwa hampir tidak ada alokasi untuk ekonomi nasional, karena Timor-Leste sekarang ‘tidak memproduksi sesuatu’.
Hendaknya kasus Meksiko juga memberikan sebuah contoh yang penting bagi Timor-Leste untuk melangkah. Meksiko adalah salah satu negara yang kaya akan minyak, lebih banyak dari Timor-Leste beberapa kali lipat. Namun seperti yang sudah sering diperingatkan oleh banyak kalangan, “kondisi harga minyak yang labil seringkali menyulitkan pemerintah negara-negara pengekspor minyak untuk membuat rancangan pembangunan yang pasti dan tepat”. Hal ini terbukti dalam kasus Meksiko, telah terbujuk oleh ‘iming-iming utang’ memulai pinjaman dengan estimasi bahwa harga minyak di pasar internasional akan tetap tinggi. Namun ketika harga minyak justru anjlok di saat mereka harus mengembalikan utang. Akhirnya, Meksiko terjerumus ke dalam utang, dan menyatakan menyerah untuk membayar utangnya.
Sampai sekarang belum jelas mengenai bagaimana Pemerintah Timor Leste akan membayar utang tersebut. Namun dilihat dari kacamata negara-negara yang akan memberikan utang, baik itu China maupun Portugal, mata mereka sedang tertuju kepada minyak. Hal yang praktis yang mendorong mereka untuk berutang adalah untuk merealisasikan mimpi-mimpinya, seperti pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, pusat listrik, pelabuhan, lapangan udara, dll.
Alih-alih memihak rakyat, justru yang terjadi mengamankan sejumlah kepentingan para kapitalis raksasa yang mencengkeram Timor Leste. Pengalaman beberapa negara mengindikasikan bahwa kebanyakan dari infrastruktur di atas lebih banyak menguntungkan para perusahaan karena menfasilitasi mereka untuk memperluas pasarnya hingga ke pelosok, dan bukan sebaliknya, kemakmuran seperti yang diharapkan orang Timor-Leste. Dengan kata lain, dengan jalan yang bagus, akan mempermudah mereka untuk menjual produk-produk mereka ke desa-desa; bukan membantu para petani untuk memasarkan hasil panen ke kota. Para petani Timor-Leste tidak mampu bersaing dengan para perusahaan-perusahaan yang masuk dari luar dengan dana yang besar. Akhirnya, para petani lokal akan semakin tersisih dengan kebijakan pemerintah yang membuka ‘liberalisasi ekonomi’.
Dinamika Politik
Makin menguat ekskalasi gerakan rakyat Timor Leste yang menuntut penetapan batas perairan di Laut Timor, dan mendesak negeri Kanguru itu untuk segera mengakhiri penjajahannya di Laut Timor. Dilansir the Sydney Morning Herald, Selasa 22/3, terjadi demo berlangsung terdengar yel-yel antipenjajahan dan antikolonialisme Australia. Massa memenuhi jalan Fatuhada sampai Comoro, aksi massa ini adalah yang ketiga kalinya meminta Australia untuk duduk berunding membicarakan garis batas laut.
Ribuan rakyat Timor Leste terdiri dari perwakilan Veteran Perang, aktivis, mahasiswa dan elemen rakyat maubere hingga perwakilan aktivis Australia dan aktivis Indonesia, menggeruduk Kantor Kedutaan Besar Australia di Dili, Timor Leste, Selasa (22/3) pagi. Dalam aksinya ribuan massa tersebut melakukan longmarch menuju kedutaan sambil membentangkan bendera Timor Leste.
Para pengunjuk rasa menuntut Pemerintah Australia agar mengatur garis perbatasan laut Timor Leste dan Australia secara adil. Mereka meminta garis perbatasan laut tidak diakui sepihak oleh Australia. Mereka pun menuntut Australia melakukan perundingan dengan Pemerintah Timor Leste. Tak hanya itu, para pengunjukrasa juga meminta kepada pemerintah Australia untuk tidak melakukan pengambilan batas wilayah Timor Leste secara sepihak.
Pengamat masalah Laut Timor Ferdi Tanoni menyatakan bahwa apa yang diperjuangan rakyat Timor Leste, sama dengan apa yang diperjuangkan rakyat Timor Barat di Nusa Tenggara Timur selama ini, sebab hampir 90% kekayaan alam di Laut Timor, seperti minyak dan gas bumi, dikuasai sepenuhnya oleh Australia,” kata Tanoni kepada pers di Kupang, (24/2/16.
Diberitakan mantan agen imigrasi Kedutaan Besar Australia tersebut mendesak Canberra untuk segera mengakhir penjajahannya di atas Laut Timor, karena harta dan kekayaan alam yang terkandung di Laut Timor, seperti minyak dan gas bumi merupakan haknya rakyat di Pulau Timor. Penulis buku “Skandal Laut Timor, Sebuah Barter Politik Ekonomi Canberra-Jakarta” itu juga mendesak Canberra untuk mengembalikan hak-hak rakyat Timor Barat, NTT atas gugusan Pulau Pasir yang telah diklaim Australia sebagai bagian dari cagar alam negeri Kanguru.
Gugusan Pulau Pasir yang kaya akan minyak bumi dan biota laut itu, merupakan tempat peristirahatan para nelayan tradisional Indonesia setelah mencari ikan dan biota laut lainnya di wilayah perairan tersebut sejak berabad-abad lamanya, jauh sebelum Kapten Samuel Ashmore dari Inggris berlayar mencapai gugusan kepulauan tersebut pada 1811. (www.voiceofjava.com, 15/03/16)
Tanoni juga mendesak Pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk membatalkan seluruh perjanjian batas perairan antara RI-Australia di Laut Timor dan Laut Arafuru yang dibuat sejak tahun 1974-1997 serta seluruh perjanjian kerja sama Perikanan RI-Australia yang sangat merugikan rakyat Indonesia di Timor Barat.
Karena itu, kata dia, penetapan batas wilayah perairan ketiga negara (RI-Timor Leste-Australia) di Laut Timor berdasarkan prinsip-prinsip internasional (media line) merupakan pilihan yang tepat agar harta kekayaan yang terkandung di Laut Timor, tidak hanya dinikmati oleh Australia.
Sikap dan Solusi
Adapun posisi Umat Islam pada isu ini bahwa Timor Timur sebagai bagian dari Indonesia yang terputus dari Indonesia disebabkan intrik internasional dan konspirasi dengan partisipasi banyak kekuatan kafir. Sejumlah besar kaum Muslim, lebih dari 128.000 orang telah diusir ke Timor Barat, dan tindakan tersebut dianggap sebagai bagian dari konspirasi ini. Pemisahan diri itu sendiri adalah tidak sah dan dengan demikian tidak diakui oleh Syariah. Syariah mewajibkan kaum muslimin untuk kembali kembali ke negeri asalnya, yaitu ke Indonesia.
Ditelantarkannya dan ditinggalkannya kaum muslimin di sana oleh para penguasa secara rezim Indonesia dan ketertundukkan mereka kepada kekuatan asing, penekanan dan pemerasan mereka dengan memaksa mereka menjadi menerima Timor Timur yang terpisah semuanya tertolak oleh Syariah dan tidak diakui secara sah karena mereka melanggar perintah hokum Syariah, dan karena rezim Indonesia yang mengakui pemisahan ini sekuler, tidak mematuhi wahyu Allah, dan tidak pula mewakili umat Islam. Selanjutnya, karena rezim ini telah meninggalkan Timor Leste dan mengakuinya sebagai pemisahan menjadi sah, umat Islam wajib mengganti rezim ini dan membawanya ke dalam sistem yang murni yang benar-benar mewakili mereka, melalui kepatuhan kepada Syariah.
Sebuah rezim yang mengacu pada Syariah dalam segala hal, akan membatalkan pengakuan atas pemisahan diri Timor Timur dan tidak memberikan jalan kepada provinsi lain untuk melakukan hal yang sama dengan tidak mempedulikan tekanan, dan jika ada penentangan atas pemisahan semacam itu, hal itu tidak diakui dan tetapi bekerja untuk membebaskannya walaupun memakan waktu lama dan apa pun pengorbanan yang dibutuhkan.
Visi Islam wajib menjadi metode untuk memecahkan seluruh masalah-masalah yang ada di Indonesia khususnya mengintegrasikan kembali Timor Leste ke pangkuan umat Islam, dengan mewajibkan semua propinsi di Indonesia untuk bergabung ke dalam sistem pemerintahan Islam dimana Khalifah (Kepala Negara) akan menerapkan hukum Syariah yang berasal dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya atas semua orang di Negara itu tanpa diskriminasi antara satu provinsi dan lainnya. dimana semua orang yang memiliki kewarganegaraan negara, akan memiliki hak yang sama terlepas dari keturunan mereka atau agama mereka.
Sistem politik Islam adalah sistem kesatuan dan bukan sistem federal, tidak akan ada daerah otonomi atau hukum yang berbeda dalam satu provinsi dengan seluruh provinsi lain. Hukum-hukum syariat yang diterapkan di Ibukota negara juga akan dilaksanakan di seluruh provinsi lainnya tanpa perubahan apapun. Tidak ada diskriminasi atau pembagian antar propinsi, dan pemerintahan tidak dibagi diantara provinsi karena dan ini didasarkan atas dasar yang kokoh dan kuat dari Akidah Islam yang memberikan keadilan untuk semua orang tanpa diskriminasi.[]