Oleh: Abu Jaisy al Askary
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) Yohana Yembise geram dengan praktik eksploitasi anak yang marak terjadi. Sebab praktik itu benar-benar merenggut hak anak. Menurutnya eksploitasi terhadap anak betul-betul sudah melanggar hak-hak anak. Sesuai dengan konvensi hak anak yang sudah diratifikasi Presiden Jokowi, setiap anak berhak untuk sekolah, bermain, berkreatifitas dan lainnya.
“Jadi anak-anak itu mempunyai hak yang harus kita jaga dan negara sangat menaruh perhatian penuh pada anak” ujarnya.
Ia menyebut anak-anak penting dan merupakan bagian dari aset pembangunan, aset negara yang harus dijaga. Di Indonesia, jumlah anak ada sekitar 87 juta jiwa yang harus dijaga oleh negara. (Detik.com, 27/03/16).
Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengapresiasi kinerja Kepolisian Resort Metro Jakarta Selatan yang berhasil menangkap dua orang yang diduga terlibat dalam kasus perdagangan dan eksploitasi anak.
“Kami dari Komnas Perlindungan Anak memberikan apresiasi, karena kami menyadari bahwa sudah jadi rahasia umum ada anak-anak yang dibawa orang tua (ke jalan) untuk memancing simpati dan mendapatkan uang,” (tempo.co, 24/03/16).
Tidak berselang lama, Polres Jakarta Selatan menetapkan dua tersangka baru, yakni IR seorang laki-laki dan MR perempuan dalam kasus dugaan eksploitasi belasan anak dibawah umur yang kerap dijadikan pengemis ataupun pengamen di kawasan Blok M, Jakarta Selatan.
“Kemarin kita sudah sampaikan dan perkembangan hari ini tersangka jadi empat orang, yakni IR, MR, ER, SM,” ujar Kapolres Jakarta Selatan, Kombes Wahyu Hadiningrat di Mapolres Jakarta Selatan, Jumat (sindo.com, 25/3/2016).
Sementara Bayi berusia 6 bulan yang menjadi korban eksploitasi di Jakarta Selatan telah dibawa ke Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA) Bambu Apus, Jakarta Timur. Pengaruh obat penenang masih ada pada bayi tersebut. Menteri Yohana Susana Yembise menyebut pihaknya bersama kepolisian masih menelusuri sindikat lain terkait eksploitasi anak. Sebab salah satu anak korban eksploitasi di Blok M, Jaksel, menyebut ada saudaranya yang diduga juga jadi korban para sindikat.
“Saat ini Polres Jaksel mengembangkan apakah ada sindikat, karena salah satu korban bernama W berkata bahwa dia merupakan 4 bersaudara, dan saudaranya terpisah-pisah tempat,” ujar Yohana dalam jumpa pers di Rumah Perlindungan Sosial Anak (RPSA), Bambu Apus, Jakarta Timur, Minggu (27/3/2016).
Eksploitasi dan Kekerasan terhadap anak: problem berulang
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahun. Hasil pemantauan KPAI dari 2011 sampai 2014, terjadi peningkatan yang sifnifikan. Tahun 2011 terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, 2014 ada 5066 kasus.
Menurut Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti terdapat 5 kasus tertinggi dengan jumlah kasus per bidang dari 2011 hingga april 2015. Pertama, anak berhadapan dengan hukum hingga april 2015 tercatat 6006 kasus. Selanjutnya, kasus pengasuhan 3160 kasus, pendidikan 1764 kasus, kesehatan dan napza 1366 kasus serta pornografi dan cybercrime 1032 kasus.
Selain itu, sambungnya, anak bisa menjadi korban ataupun pelaku kekerasan dengan lokus kekerasan pada anak ada 3, yaitu di lingkungan keluarga, di lingkungan sekolah dan di lingkungan masyarakat.
Hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91 persen anak menjadi korban kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6 persen di lingkungan sekolah dan 17.9 persen di lingkungan masyarakat.
“78.3 persen anak menjadi pelaku kekerasan dan sebagian besar karena mereka pernah menjadi korban kekerasan sebelumnya atau pernah melihat kekerasan dilakukan kepada anak lain dan menirunya,” paparnya. (kpai.go.id, 14/06/15).
Anak-anak yang tinggal dijalanan dan tidak memperoleh perlindungan negara jumlahnya juga tidak kalah banyaknya. Menurut Arist Merdeka Sirait, kasus anak jalanan banyak dilatarbelakangi kemiskinan sebagai faktor utama penyebab anak jalanan semakin banyak. Tidak hanya kota besar, desa-desa juga sama. Sampai tahun 2014 menurutnya ada sekitar 420.000 anak jalanan se-Indonesia. Ungkap ketua KPAI sebelum akhirnya ia digantikan Seto Mulyadi (25/3/2014).
Arist juga pernah mengungkapkan 4 (empat) penyebab utama kekerasan terhadap anak. Pertama, ada anak yang berpotensi menjadi korban. Kedua, anak atau orang dewasa yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan. Ketiga, adanya peluang kekerasan tanpa pengawasan atau perlindungan dan Keempat karena adanya pencetus dari korban dan pelaku. (Tribun Jateng, 14/02/15).
Banyaknya kasus kekerasan dan eksploitasi terhadap anak bukanlah hal baru. Sayangnya dalam melaksanakan tugas sekaligus tanggung jawabnya untuk melindungi anak, Pemerintah terkesan abai dan hanya bertindak setelah ada masalah. Negara yang menerapkan sistem pemerintahan sekuler kapitalis memperburuk keadaan.
Program-program perlindungan terhadap anak tidak didesain secara komprehensif dengan satuan program yang terintegrasi yang memastikan kenyamanan dan perlindungan terhadap anak.
Kebijakan telekomunikasi dan informasi, misalnya tidak memberikan perlindungan terhadap akses informasi yang dapat memicu terjadinya kekerasan terhadap anak. Tayangan media informasi dan arus komunikasi begitu liberal dan terkesan membiarkan seluruh arus informasi dan tayangan media beredar secara bebas, tanpa ada pedoman umum untuk menyaringnya sesuai dengan tatanan dan nilai-nilai.
Pranata sosial sebagai sarana penjaga, pelindung sekaligus ruang tumbuh kembang anak malahan memberikan pengaruh dan dampak negatif kepada anak. Lingkungan keluarga sebagai basis sekaligus benteng terakhir penjaga dan pelindung anak, telah rusak oleh berbagai penyebab. Tidak ada lagi kehangatan dalam keluarga, rumah tidak dipandang lagi sebagai tempat bernaung dan tempat berlindung. Interaksi yang terjadi terasa kering, tanpa nilai bahkan cenderung sekedar tempat tidur saja layaknya kos-kosan.
Pranata pendidikan di sekolah telah didesain dengan kurikulum yang kering dari unsur agama. Pemisahan ilmu dengan agama terlihat jelas dari jumlah alokasi dan porsi jam belajar. Jam belajar untuk mata ajar ilmu pengetahuan dan teknologi mendominasi, sementara nilai-nilai agama hanya dijadikan pelengkap saja.
Akan halnya negara, terlihat jelas telah menerapkan kapitalisme neoliberalisme dalam mengatur urusan publik, termasuk dalam hal memberikan perlindungan dan penjagaan pada tumbuh kembang dan pendidikan anak. Negara telah abai menerapkan perlindungan kepada warga negaranya khususnya kepada anak. Anak dibiarkan bertarung berhadapan dengan kehidupan sekuler yang liberal. Pergaulan bebas, narkoba, krisis akhlak, dekadensi moral, kenakalan remaja, tawuran, yang berujung pada eksploitasi maupun kekerasan pada anak menjadi sesuatu yang lazim.
Meski berbagai program digulirkan,dibentuk berbagai perangkat dan lembaga untuk melindungi anak, mengeluarkan undang-undang, peraturan, serta berbagai kebijakan teknis untuk melindungi anak, faktanya keseluruhan kebijakan dan regulasi yang dikeluarkan tidak menyelesaikan persoalan anak. Perlindungan dan penjagaan masa tumbuh kembang, termasuk pemberian jaminan pendidikan kepada anak masih terabaikan.
Khilafah, benteng sekaligus pelindung bagi anak dan umat secara keseluruhan
Sesungguhnya seluruh problematika yang mendera umat, termasuk Problematika kekerasan dan eksploitasi terhadap anak tidak mungkin tuntas jika diselesaikan dengan pendekatan kapitalis Sekuleris. Umat Islam telah dikaruniai seperangkat sistem dan aturan yang berasal dari Dzat yang maha adil, penguasa alam semesta, yang mampu menyelesaikan seluruh Problematika kehidupan.
Dalam Islam, seorang Imam (pemimpin) adalah junnah (pelindung) bagi rakyatnya. Kepemimpinan dalam Islam (Khilafah) menjadi pengurus dan penjaga setiap urusan rakyat serta bertanggung jawab penuh untuk merealisir seluruh kemaslahatannya.
Hukum-hukum Islam baik berupa hudud, Qisos, ta’jier dan mukholafah memastikan seluruh rakyat mematuhi hukum Allah SWT dan memberikan penjagaan yang sempurna terhadap agama, darah, harta, Nasab, akal dan kesucian.
Pengelolaan negara melalui kebijakan mukholafah memastikan setiap kemaslahatan umat diupayakan dapat terealisir dengan baik. Negara hadir tidak hanya untuk menyelesaikan persoalan umat, bahkan negara secara telaten membimbing umat untuk taat dan menghindari maksiat.
Menjaga dan melindungi anak, baik dari kekerasan dan eksploitasi hanya bisa dilakukan jika negara menerapkan Islam secara kaffah. Kapitalisme-neoliberalisme terbukti telah gagal memberikan perlindungan kepada anak-anak di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Umat membutuhkan solusi total untuk mengatasi seluruh problem yang mendera. Perlu perubahan sistem kehidupan agar anak-anak mendapatkan kehidupan layak, ruang tumbuh kembang, penjagaan serta sarana pendidikan yang memungkinkan anak dapat mewujudkan impiannya. Impian itu tak mungkin terwujud dalam kehidupan sekarang, impian tersebut hanya akan wujud jika syariat Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah. [].