Oleh: Ainun Dawaun Nufus – Praktisi Politik (Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Kediri)
Pasca Reformasi, parpol di negeri ini justru makin terperangkap dalam krisis yang bersumber dari dirinya sendiri: miskin ideologi dan kaderisasi, didominasi elit pengurusnya, rentan dibajak avonturisme politik, serta berpijak di atas pondasi relasi parpol-konstituen yang rapuh. Tanpa bermaksud mengkambing-hitamkan parpol, harus diakui bahwa deretan problem internal itu berandil besar atas terjadinya disfungsi representasi yang selalu menjangkiti demokrasi.
Kalaupun ada proses kaderisasi, sifatnya hanyalah kaderisasi semu, misalnya bagaimana menjadikan partai itu menjadi tempat yang nyaman bagi semua anggota untuk mencapai cita-cita. Kaderisasi bukan pada nilai-nilai apa yang diperjuangkan ke depan dan tidak boleh lekang oleh zaman. Yang terjadi, partai mengkader anggotanya menjelang masa Pemilu tiba dengan hal-hal artifisial. Kaderisasi melahirkan sosok-sosok yang fanatik pada kelompok dibandingkan pada nilai.
Perlu dicetak tebal, kader ibarat kaki dari gagasan, program kerja, platform, maupun ideologi parpol. Sayang, parpol umumnya tidak serius mendidik kader-kadernya. Bukannya memperbaiki sistem rekruitmen dan kaderisasi, parpol malah menyuburkan praktik kroniisme, nepotisme, dan politik uang. Dulu jelang Pemilu 2014, samar-samar terdengar praktik jual beli nomor urut dalam pencalegan oleh parpol.
Fenomena sulitnya mencari calon anggota legislatif untuk mewakili suatu partai adalah aneh dan janggal. Bagaimana tidak, partai itu biasanya merupakan suatu kumpulan orang yang memiliki visi dan misi perjuangan. Ia bukanlah papan nama yang hanya dipampang menjelang perhelatan akan dimulai. Seharusnya memang mereka telah siap dengan sumberdaya manusia dan seluruh sarana yang dibutuhkan. Ketika itu semua tidak bisa dipenuhi, dapat dipastikan, memang partai-partai yang ada sebenarnya hanyalah partai papan nama. Tidak ada proses kaderisasi di dalamnya. Partai hanya menjadi kendaraan bagi orang-orang yang punya peran kunci di dalamnya. Mereka membawa siapa saja yang mau ikut serta tanpa ada embel-embel apapun yang harus disatukan.
Selain problem kaderisasi, kehidupan parpol-parpol sekuler di Indonesia tidak lepas dari kultur oligarki. Fenomena “dinastitokrasi”, pengelolaan parpol yang didominasi trah elit dan keluarga pengurus parpol, hanya salah satu wujudnya. Wujud yang lainnya adalah corak relasi dan komunikasi internal yang cenderung instruktif antara pengurus partai dengan fraksi, atau fraksi dengan anggota dewan. Krisis ideologi adalah persoalan lainnya yang hingga kini masih membelit partai-partai politik. Walaupun mengakui pentingnya ideologi, namun aktualisasi ideologi ke dalam aksi dan agenda kebijakan nyaris tidak tampak.
Sejak parpol-parpol pragmatis dibentuk, ideologi sesungguhnya tidak pernah menjadi landasan penting. Parpol didirikan sebatas sebagai proyek pemilu, bukan sebagai respon terhadap keterpurukkan bangsa. Ideologisasi tidak terjadi di tubuh partai, kecuali di sebagaian kecil partai. Kader-kader partai tidak memiliki ideologi yang jelas. Dasar perjuangan hanya didasarkan pada pragmatisme dan tidak bersandar pada sebuah paradigma berpikir yang telah menjadi platform. Belum lagi sebagian besar partai baru lahir dengan mendadak karena desakan kepentingan dan iming-iming kedudukan. Praktis, platform mereka akhirnya sekenanya.
Tidak dapat diingkari, memang saat ini tidak ada ideolog-ideolog partai. Para ideolog partai telah hilang bersamaan dengan meninggalnya mereka. Bahkan beberapa partai yang dulu terkenal punya ideologi yang jelas kini telah berubah menjadi partai yang abu-abu. Yang lahir adalah orang yang menggunakan baju partai untuk memperjuangkan kepentingannya kendati hal itu tidak sejalan lagi dengan niat awal ideolog partai tersebut mendirikan partai.
Ideologi parpol yang leyap juga disebabkan kuatnya motif ekonomi orang-orang di dalam parpol. Pengurus parpol itu memahami partai politik sebagai alat ekonomi. Hal ini sangat kental sekali. Akibatnya parpol secara substansi menjadi gerombolan.
Masalah lain yang penting adalah keterputusan komunikasi politik antara parpol dengan konstituen terutama setelah pemilu usai. Ada struktur tapi miskin fungsi, kiranya tepat menggambarkan potret organisasi parpol. Selain menjelang perhelatan pemilu, kantor partai baik Pimpinan Anak Cabang, Dewan Pimpinan Cabang, umumnya sepi senyap.
Selain kantor sepi, lembaga-lembaga parpol yang ada tidak mengakar dari atas hingga ke bawah. Tidak ada struktur di dalam partai yang memiliki pemahaman garis politik kebijakan parpol sekaligus informasi yang komprehensif tentang kondisi riil di masyarakat. Akibatnya, partai tidak tahu persoalan di masyarakat. Antar level lembaga parpol mengalami keterputusan isu maupun komunikasi. Ringkasnya, komunikasi kebijakan terputus antara rantai DPP, DPC sampai PAC.
Motif ekonomi tersebut salah satunya tampak dari mudahnya elit parpol berpindah dari satu partai ke partai lainnya. Masa menjelang pemilu ibarat musim transfer pemain sepakbola dari satu klub ke klub yang lain. Tentu saja, masih ada perpindahan elit parpol di satu-dua kasus didasarkan pertimbangan ‘idealisme’. Namun tak sedikit yang benar-benar disebabkan motif mencari jabatan.
Walhasil, dalam posisi seperti ini, bisa diduga, mereka nanti akan menjadi politisi yang mengejar pamrih. Bagi mereka tidak ada perjuangan yang hakiki melainkan hanya sekadar main-main untuk membesarkan hati rakyat atau berpura-pura peduli dengan nasib rakyat. Politisi seperti ini otaknya kosong oleh nilai-nilai, tetapi penuh dengan impian kekayaan dan status. Ini adalah suatu yang wajar karena mereka masuk ke dunia politik dengan modal yang tidak sedikit. Berdasarkan hitungan dagang, mereka harus mampu mengembalikan investasi yang telah ditanamkan dengan hasil yang lebih besar. Lagipula, fakta menunjukkan, amat sedikit politisi yang rela menjadi wakil rakyat karena semata-mata perjuangan. Kebanyakan mereka mengejar gaji yang lumayan wah untuk ukuran masyarakat serta kedudukan di tengah masyarakat karena wakil rakyat setara posisinya dengan penguasa.
Munculnya politisi karbitan dan kacangan tidak lepas pula dari kondisi partai politik yang mengalami krisis kepercayaan diri. Partai-partai politik mulai ditinggalkan oleh konsituennya, sementara para pemilih baru pun enggan menjatuhkan pilihannya pada partai-partai tersebut. Masyarakat mulai tak percaya dengan jargon-jargon yang disodorkan. Fenomena golput di beberapa daerah menunjukkan indikasi ke arah tersebut.
Dampak lebih jauh, politisi-politisi pesanan akan semakin gampang bergentayangan di jagad politik Indonesia. Mereka tidak hanya yang memang hobi bertualang politik dan menerima order, tetapi juga antek-antek asing yang mengabdi bagi kepentingan luar negeri. Tidak ada lagi filter yang bisa menyaring keberadaan mereka. Walhasil, negeri ini bukannya tambah pulih dari berbagai persoalan, sebaliknya akan tambah carut-marut dengan persoalan baru.
Fenomena krisis politisi ini tidak lain sebenarnya hanyalah hasil dari sebuah sistem yang rusak. Bagaimana tidak, para ahli Barat sendiri menyatakan bahwa demokrasi adalah mahal dan hanya bisa berjalan baik di negara dengan pendapatan perkapita tinggi. Di negeri miskin seperti Indonesia, demokrasi justru akan menjadi parasit yang menggerogoti harta kekayaan negara yang seharusnya menjadi bagian rakyat.
Demokrasi dipoles sedemikian rupa sehingga menarik dan menghilangkan karakter hakiki dari demokrasi itu sendiri. Tak pernah ditampakkan betapa jahatnya orang-orang yang mengatasnamakan demokrasi dengan seenaknya mempermainkan berbagai peraturan demi tujuan-tujuan sesaat. Bahkan suara rakyat yang tak menginginkan suatu keputusan—misalnya menginginkan SDA dikelola untuk kemakmuran rakyat—bisa dikalahkan oleh suara 560 orang yang mengatasnamakan wakil rakyat membuat UU yang pro swasta. Bukankah ini suatu tirani? Secara sistematis rakyat dibodohi, dininabobokkan dan diberi angan-angan palsu.[]