Besaran iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri atau membayar sendiri dinaikkan oleh Pemerintah melalui Perpres No. 19/2016. Dalam pasal 16F diatur bahwa iuran setiap orang perbulan untuk pelayanan perawatan kelas III menjadi Rp 30.000, naik dari sebelumnya Rp 25.500; kelas II menjadi Rp 51.000, naik dari sebelumnya Rp 42.500 perorang perbulan; dan kelas I menjadi Rp 80.000, naik dari sebelumnya Rp 59.500. Semua kenaikan iuran itu berlaku mulai 1 April 2016.
Dalam Pasal 17 juga diatur, jika terlambat membayar iuran jaminan kesehatan lebih dari satu bulan sejak tanggal 10, penjaminan peserta diberhentikan sementara. Ini berlaku sejak 1 Juli 2016. Penjaminan akan diaktifkan kembali jika peserta membayar. Kemudian, dalam waktu 45 hari sejak status kepesertaan aktif kembali, peserta wajib membayar denda kepada BPJS Kesehatan untuk setiap pelayanan kesehatan rawat inap yang diperoleh. Denda itu adalah 2,5 persen dari biaya pelayanan kesehatan untuk setiap bulan tertunggak. Jumlah bulan tertunggak maksimal 12 bulan, dan nilai denda paling tinggi Rp 30 juta.
Iuran sebagian Pekerja Penerima Upah, yaitu yang gaji atau upahnya di atas 4.72 juta perbulan, juga naik. Pasalnya, Perpres No. 19/2016 mengubah batas atas gaji yang dijadikan dasar penghitungan iuran dari 2XPTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) atau 4,72 juta menjadi 8 juta. Kenaikan itu akan ditanggung oleh pekerja dan pemberi kerja.
Untuk Menutupi Defisit?
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk peserta mandiri itu dilakukan untuk menutupi defisit pengelolaan BPJS Kesehatan yang totalnya mencapai lebih dari 6 triliun. Namun, Kepala Humas BPJS Kesehatan Irfan Humaidi menolak disebut adanya defisit. Kata dia, yang terjadi adalah adanya mismatch atau ketidaksesuaian, yakni ketidaksesuaian jumlah iuran yang dibayarkan peserta dengan pengeluaran BPJS Kesehatan, yakni untuk klaim. Untuk itu, salah satu solusinya adalah dengan penyesuaian iuran (Kompas.com, 16/3).
BPJS Kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) menyatakan ada 4,2 juta peserta BPJS Kesehatan yang tidak membayar iuran. Jumlah itu sekitar 40% dari total peserta mandiri (Kompas.com, 17/3).
Rakyat Makin Tercekik!
Komisi IX DPR meminta empat poin pertanggungjawaban BPJS Kesehatan terlebih dulu sebelum menaikkan iuran, yaitu menyangkut pelayanan kesehatan yang belum memuaskan, kinerja BPJS terkait peningkatan kepesertaan mandiri, audit investigasi terkait transparansi laporan keuangan/penggunaan anggaran dan laporan pendistribusian kartu Penerima Bantuan Iuran (PBI) (Mediakonsumen.com, 19/3).
Perkumpulan Prakarsa menilai, argumen BPJS Kesehatan bahwa kenaikan iuran harus dilakukan sebagai akibat dari defisit berjalan sebesar Rp 4 triliun sebenarnya tidak adil. Pasalnya, menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Ah Maftuchan, BPJS Kesehatan menutup mata atas adanya ketidakefisienan dan kebocoran yang terjadi dalam pelayanan BPJS Kesehatan. Maftuchan juga menyatakan, kenaikan tarif BPJS Kesehatan akan membuat beban ekonomi masyarakat lebih besar. “Akses masyarakat terhadap jaminan kesehatan akan makin sulit dan peserta mandiri terancam menjadi kelompok “Sadikin” (Sakit Sedikit Jatuh Miskin),” kata Maftuchan (Bisnis.com, 22/3/2016).
Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia, dr. Marius Widjajarta, juga mengungkapkan, “BPJS bilang pelayanan yang selama ini bagus akan lebih bagus lagi kalau ada penambahan iuran. Masyarakat merasa dibodohi kalau tahu menajamen yang amburadul dari BPJS Kesehatan.” Ia menambahkan, “Dari investigasi kami ke BPJS, posisi keuangan yang muncul sekarang ini akibat kesalahan manajemen,” tegas Marius (RMOL, 19/3).
Akibat Pemerintah Lepas Tanggung Jawab
BPJS Kesehatan mengandung ruh pengalihan tanggung jawab dari pundak negara ke pundak rakyat. Jaminan kesehatan yang merupakan hak rakyat dan menjadi tanggungjawab negara diubah menjadi kewajiban rakyat. Rakyat diwajibkan untuk saling membiayai pelayanan kesehatan di antara mereka melalui sistem asuransi sosial. Jadilah hak rakyat disulap menjadi kewajiban rakyat. Dengan sulap yang sama, kewajiban negara untuk menjamin hak rakyat atas pelayanan kesehatan dihilangkan.
Klaim BPJS Kesehatan sebagai lembaga penjamin kesehatan juga menyesatkan. Pasalnya, BPJS identik dengan asuransi sosial. Pada prinsipnya, asuransi sosial adalah suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial-ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya (Pasal 1 ayat 3 UU SJSN).
Akibatnya, pelayanan kesehatan untuk rakyat disandarkan pada premi yang dibayar oleh rakyat. Jika rakyat tidak bayar, mereka tidak berhak atas pelayanan kesehatan. Karena diwajibkan, jika telat atau tidak bayar, rakyat (peserta asuransi sosial kesehatan) dikenai sanksi baik denda atau sanksi administratif. Pelayanan kesehatan rakyat juga bergantung pada jumlah premi yang dibayar rakyat. Jika tidak cukup maka iuran harus dinaikkan. Itulah ide dasar operasional BPJS dan sebab mendasar kenaikan iuran BPJS.
Kezaliman Berlipat Ganda
BPJS Kesehatan dengan sistem asuransi sosial yang mengubah pelayanan kesehatan dari hak rakyat dan kewajiban negara menjadi kewajiban rakyat, terlepas dari pundak negara, jelas itu merupakan kezaliman. Iuran yang diwajibkan terhadap rakyat jelas merupakan kezaliman. Kenaikan iuran BPJS Kesehatan artinya menambah kezaliman terhadap rakyat.
Di sisi lain, kekayaan alam yang sejatinya adalah milik bersama seluruh rakyat, justru diserahkan kepada swasta dan kebanyakan asing. Rakyat dan negara pun kehilangan sumber dana yang semestinya bisa digunakan membiayai jaminan kesehatan untuk rakyat tanpa memungut dari rakyat. Akibatnya, rakyat kehilangan kekayaannya dan masih dipaksa membayar iuran untuk pelayanan kesehatan mereka. Dilihat dari sisi ini, maka kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang diberlakukan jelas merupakan kezaliman di atas kezaliman.
Jaminan Kesehatan Harus Gratis
Dalam Islam, kebutuhan akan pelayanan kesehatan adalah termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi kewajiban negara. Rumah sakit, klinik dan fasilitas kesehatan lainnya merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh rakyat dalam terapi pengobatan dan berobat. Jadi pengobatan itu sendiri merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik. Negara wajib menyediakan semua itu untuk rakyat. Negara wajib mengurus urusan dan kemaslahatan rakyat, termasuk pelayanan kesehatan. Rasul saw bersabda:
«الإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ»
Pemimpin (kepala negara) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggungjawab atas rakyatnya (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar).
Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi saw. (sebagai kepala negara) pernah mendatangkan dokter untuk mengobati Ubay. Beliau juga pernah menjadikan seorang dokter yang merupakan hadiah dari Muqauqis Raja Mesir—sebagai dokter umum bagi masyarakat.
Imam al-Bukhari dan Muslim pun meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa serombongan orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. selaku kepala negara kemudian meminta mereka untuk tinggal di penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Di sana mereka diizinkan untuk minum air susu unta sampai sembuh.
Semua itu merupakan dalil bahwa pelayanan kesehatan dan pengobatan adalah termasuk kebutuhan dasar rakyat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Pelayanan kesehatan gratis itu diberikan dan menjadi hak setiap individu rakyat sesuai dengan kebutuhan layanan kesehatannya tanpa memperhatikan tingkat ekonominya.
Pemberian jaminan kesehatan seperti itu tentu membutuhkan dana besar. Biaya untuk itu bisa dipenuhi dari sumber-sumber pemasukan negara yang telah ditentukan oleh syariah. Di antaranya dari hasil pengelolaan harta kekayaan umum, di antaranya hutan, berbagai macam tambang, minyak dan gas. Dalam Islam, semua itu merupakan harta milik umum, yakni milik seluruh rakyat.
Wahai Kaum Muslim:
Segala bentuk kezaliman harus dihilangkan. Menghilangkan kezaliman di atas tentu hanya dengan mengubah jaminan kesehatan yang palsu itu menjadi jaminan kesehatan yang benar dan hakiki. Hal itu hanya bisa diwujudkan dengan menerapkan syariah dan hukum Islam secara menyeluruh. Itu hanya bisa terwujud melalui sistem Khilafah Rasyidah. Dengan itu rahmat Islam, khususnya kemaslahatan berupa jaminan kesehatan bisa diwujudkan. Dengan itu pula, kemadaratan dalam bentuk pembebanan iuran terhadap rakyat dan penguasaan kekayaan alam milik rakyat oleh swasta dan asing bisa dicegah. Semua itu bisa menjadi nyata dan dirasakan oleh semua Muslim dan non-Muslim. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Ketua Bidang Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Busyro Muqoddas, meminta Presiden Jokowi segera membentuk tim independen untuk mengevaluasi kinerja Densus 88 dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), termasuk memeriksa dana operasionalnya (Kompas.com, 29/3).
Sebelumnya, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai ada yang tidak wajar dalam kasus kematian Siyono. Pasalnya, kondisi fisik jenazah Siyono penuh dengan luka dan lebam yang diduga akibat tindakan penyiksaan dan penganiayaan (Kompas.com, 28/3).
- Secara keseluruhan, program pemberantasan terorisme harus dibekukan dan diaudit total.
- Sejak awal, pemberantasan terorisme kental sekali membidik Islam.
- Itu menjadi indikasi, pemberantasan terorisme hanya mengekor model, gaya dan pendekatan Barat, khususnya Amerika.
- Jadilah pemberantasan terorisme menjadi program memusuhi Islam dan kaum Muslim.