Islam Solusi Anak Jalanan, Gelandangan dan Pengemis

Perdagangan manusia, penipuan dan kemiskinan. Adalah tiga hal yang mengemuka dalam dunia pengemis di tanah air. Temuan kasus perdagangan anak untuk dimanfaatkan dalam kegiatan mengemis mengejutkan banyak pihak. Ternyata kegiatan mengemis yang kini banyak ditemukan pada hampir semua kota-kota besar di tanah air, bukan saja sekedar terkoordinir tapi juga telah melibatkan aktifitas kriminal perdagangan anak.

Hal yang mengejutkan bahwa pelaku bukan saja melakukan trafficking, tapi juga melakukan tindakan kekerasan dengan mencekoki obat bius kepada anak-anak yang masih berusia balita bahkan ada bayi yang baru berusia beberapa bulan.

Penipuan adalah bagian yang juga melekat dalam dunia pengemis. Berbagai operasi yang kerap dilakukan dinas sosial sejumlah pemda juga mendapatkan fakta bahwa dunia pengemis lekat dengan manipulasi. Pura-pura cacat, pura-pura sakit, akting memelas, pakaian kumuh adalah bagian dari atribut dan aksi yang sering dilakukan mereka yang terlibat di sana.

Lebih prihatin lagi, jumlah anjal dan gepeng yang bertebaran di sepanjang Nusantara angkanya bukan menurun malah justru meningkat. Sejumlah pemerintah daerah yang kerap melakukan pendataan dan operasi penertiban mendapati warga yang terjun menjadi pengemis dan anjal terus bertambah meski berkali-kali ditertibkan. Meski menurut temuan mayoritas bukan warga asli, tapi pendatang.

Di berbagai kota misalnya, kita dengan gampang bisa melihat kalau jumlah anjal dan gepeng terus meningkat. Mereka beroperasi di angkot-angkot, di persimpangan jalan, di pasar, lampu merah, dari rumah ke rumah, dll. Mungkin dalam sehari bisa lebih dari dua pengemis yang mendatangi rumah warga belum termasuk pengamen.

Fenomena ini menunjukkan program penertiban anjal dan gepeng tidak membuahkan hasil. Karena selama ini pemerintah pusat dan daerah masih berfokus pada kuratif atau penanganan, bukan preventif atau pencegahan. Akar persoalan anjal dan gepeng justru tidak terpecahkan.

Hal itu wajar karena memang penanganan persoalan ini – termasuk pengentasan kemiskinan – dibangun dengan paradigma kapitalisme-liberalisme. Negara minim dalam fungsi ri’ayah atau mengurus umat.

Ini berbeda dengan Islam yang mewajibkan fungsi ri’ayah dari negara kepada rakyat hingga bagian yang kecil sekalipun. Islam menyelesaikan persoalan ini dari level individu, keluarga, sosial hingga negara.

Ada beberapa solusi Islami yang bisa menuntaskan persoalan anjal, gepeng juga kemiskinan.

  1. Menanamkan pada setiap muslim jiwa memelihara kehormatan (iffah) dan kemandirian

يَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ يَدِ السُّفْلَى

“Tangan di atas lebih baik dari tangan di bawah” (HR. Bukhari).

 

Hadits di atas adalah ajaran yang mulia. Nabi SAW. Membentuk pribadi setiap muslim untuk memiliki karakter memberi ketimbang menerima. Bahkan dalam keadaan sulit sekalipun, Islam mencegah setiap muslim untuk menengadahkan tangan untuk meminta-minta bila ia masih sanggup menahan segala kebutuhannya. Allah Ta’ala berfirman:

﴿لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُم بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا وَمَا تُنفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ﴾

(Berinfaqlah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengatahui. (TQS. Al-Baqarah [2]: 273)

 

Islam juga menanamkan mental kemandirian/wirausaha untuk menyingkirkan kerusakan mental berupa memelas, mengemis dan menyandarkan diri pada bantuan orang lain.

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيْعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوْهُ.

“Sungguh, seseorang dari kalian mengambil talinya lalu membawa seikat kayu bakar di atas punggungnya, kemudian ia menjualnya sehingga dengannya Allah menjaga wajahnya (kehormatannya), itu lebih baik baginya daripada ia meminta-minta kepada orang lain, mereka memberinya atau tidak memberinya.” (HR. Bukhari).

 

  1. Meminta setiap keluarga untuk saling menjamin kehidupan anggota keluarganya

Kemiskinan bisa terjadi karena kelalaian keluarga dalam menjamin kebutuhan pokok anggota keluarga. Dalam hal ini para ayah/suami diwajibkan untuk memberikan nafkah secara ma’ruf kepada setiap anggota keluarga, istri dan anak-anak. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.”(TQS. Al-Baqarah: 233).

Seorang lelaki yang telah aqil baligh juga diwajibkan untuk menanggung kebutuhan anggota keluarganya, termasuk kedua orang tuanya manakala mereka tidak mampu mencari nafkah. Nabi SAW. Bersabda:

يَدُ الْمُعْطِيْ الْعُلْيَا وَ اِبْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ أُمِّكَ وَ أَبَاكَ وَ أُخْتِكَ وَ أَخَاكَ وَ أَدْنَاكَ وَ أَدْنَاكَ

“Tangan yang memberi lebih utama dan mulailah yang menjadi tanggunganmu; ibumu, ayahmu, saudara perempuanmu, saudara lelakimu, dan yang terdekat, yang terdekat.” (HR. Hakim).

 

Islam mengatur bahwa pada harta seorang anak juga terdapat harta orang tua yang harus ia penuhi kebutuhan hidupnya. Ketika ada seorang lelaki yang mengadu kepada Nabi SAW. Bahwa ayahnya meminta hartanya, Beliau menegur lelaki itu dengan mengatakan:

أَنْتَ وَمَالُكَ لأَبِيكَ

“Engkau dan hartamu adalah milik ayahmu.” (HR. Ibnu Majah).

 

  1. Mengembangkan sikap ta’awun antar individu muslim kepada sesama umat manusia

Islam juga mendorong kepada sesama muslim agar tidak egois dalam kehidupan, hanya mementingkan kebutuhan pokok sendiri. Setiap muslim diingatkan untuk saling tolong menolong dalam memenuhi kebutuhan hidup saudaranya. Bahkan Rasulullah saw. mengancam siapa saja yang menelantarkan hidup saudaranya.

مَا آمَنَ بِيْ مَنْ بَاتَ شَبْعَانٌ وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمُ بِهِ

“Tidak beriman kepadaku orang yang tidur kekenyangan sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya padahal ia mengetahuinya.” (HR Thabrani dan al-Bazzar, hadits hasan).

 

  1. Negara berkewajiban menjamin kebutuhan pokok warganya baik muslim maupun ahl dzimmah

Dalam berbagai hadits kita bisa menjumpai peristiwa dimana kaum muslimin yang mengalami kesulitan ekonomi kerap mendatangi Rasulullah SAW. Untuk meminta bantuan, kemudian Beliau memberikan bantuan atau mencarikan jalan keluar. Ada di antara mereka yang diberikan bantuan tunai, ada juga yang diberikan modal usaha oleh Nabi SAW.

Misalnya Baginda Nabi SAW. pernah memerintahkan kepada seorang lelaki untuk mencari kayu dengan kampak yang didapatkannya dari uang hasil lelang hartanya ke tengah-tengah para sahabat. Sampai akhirnya kondisi ekonomi lelaki itu dan keluarganya membaik. Dengan cara demikian Rasulullah SAW. memberikan jalan keluar atas kesulitan yang dihadapi oleh anggota masyarakat.

Apa yang dilakukan Beliau bukanlah bantuan yang bersifat personal, melainkan kebijakan seorang kepala negara dalam rangka memberi solusi terhadap persoalan ekonomi warganya. Rasulullah SAW. Bersabda:

أَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، فَمَنْ تُوُفِّىَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فَتَرَكَ دَيْنًا فَعَلَىَّ قَضَاؤُهُ، وَمَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِوَرَثَتِهِ

“Aku lebih utama bagi orang beriman dibandingkan diri mereka sendiri, maka siapa yang meninggal di antara orang-orang beriman kemudian meninggalkan hutang maka akulah yang melunasinya, dan siapa yang meninggalkan harta hendaklah ia wariskan.” (HR. Bukhari).

 

  1. Mengharamkan aktivitas mengemis apalagi disertai penipuan

Mengemis adalah tindakan yang terlarang dalam Islam. Nabi SAW. Mengingatkan kaum muslimin akan buruknya perbuatan tersebut. Beliau bersabda:

مَنْ سَأَلَ مِنْ غَيْرِ فَقْرٍ فَكَأَنَّمَا يَأْكُلُ الْجَمْرَ

“Barang siapa meminta-minta kepada orang lain tanpa adanya kebutuhan, maka seolah-olah ia memakan bara api” (HR. Ahmad).

Islam melarang dengan keras aktifitas meminta-minta, apalagi dibarengi penipuan kepada orang lain agar dikasihani lalu diberi bantuan. Negara akan menindak tegas orang-orang yang melakukan perbuatan mengemis, memberi mereka sanksi ta’zir sesuai dengan keputusan hakim. Bisa jadi para pengemis itu sekedar diberikan peringatan lalu dikembalikan ke kampung halamannya, atau bisa jadi mereka dikenakan sanksi kurungan badan atau bentuk hukuman lain untuk memberikan efek jera sekaligus pencegahan kepada yang lain.

Hanya saja, aktivitas mengemis yang dilakukan secara bergerombol apalagi dengan terkoordinir tidak akan terjadi jika negara telah melakukan ri’ayah, mengurus umat dan memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan sebaik-baiknya. Apalagi jika fungsi keluarga sebagai penjamin kebutuhan hidup yang paling awal berjalan dengan baik.

Mengemis hanya diizinkan manakala terjadi kondisi darurat yang seperti bencana alam, paceklik yang melanda negeri, kebangkrutan yang menimpa seseorang. Nabi SAW. Bersabda:

« يَا قَبِيصَةُ إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَحِلُّ إِلاَّ لأَحَدِ ثَلاَثَةٍ رَجُلٍ تَحَمَّلَ حَمَالَةً فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَهَا ثُمَّ يُمْسِكُ وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ جَائِحَةٌ اجْتَاحَتْ مَالَهُ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – وَرَجُلٍ أَصَابَتْهُ فَاقَةٌ حَتَّى يَقُومَ ثَلاَثَةٌ مِنْ ذَوِى الْحِجَا مِنْ قَوْمِهِ لَقَدْ أَصَابَتْ فُلاَنًا فَاقَةٌ فَحَلَّتْ لَهُ الْمَسْأَلَةُ حَتَّى يُصِيبَ قِوَامًا مِنْ عَيْشٍ – أَوْ قَالَ سِدَادًا مِنْ عَيْشٍ – فَمَا سِوَاهُنَّ مِنَ الْمَسْأَلَةِ يَا قَبِيصَةُ سُحْتًا يَأْكُلُهَا صَاحِبُهَا سُحْتًا »

“Wahai Qabiishah! Sesungguhnya meminta-minta itu tidak halal, kecuali bagi salah satu dari tiga orang: (1) seseorang yang menanggung hutang orang lain, ia boleh meminta-minta sampai ia melunasinya, kemudian berhenti, (2) seseorang yang ditimpa musibah yang menghabiskan hartanya, ia boleh meminta-minta sampai ia mendapatkan sandaran hidup, dan (3) seseorang yang ditimpa kesengsaraan hidup sehingga ada tiga orang yang berakal dari kaumnya mengatakan, ‘Si fulan telah ditimpa kesengsaraan hidup,’ ia boleh meminta-minta sampai mendapatkan sandaran hidup. Meminta-minta selain untuk ketiga hal itu, wahai Qabishah! adalah haram, dan orang yang memakannya adalah memakan yang haram.(HR Muslim, Abu Dawud, an-Nasai)

 

Rasulullah SAW. juga bersabda:

إِنَّ الْمَسْأَلَةَ لاَ تَصْلُحُ إِلاَّ لِثَلاَثَةٍ لِذِى فَقْرٍ مُدْقِعٍ أَوْ لِذِى غُرْمٍ مُفْظِعٍ أَوْ لِذِى دَمٍ مُوجِعٍ

“Dan meminta-minta dibenarkan kecuali pada tiga golongan. Pertama, orang yang benar-¬benar miskin. Kedua, orang yang terlilit utang. Ketiga, orang yang dibebani tebusan besar.” (HR Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah).

 

Kemudian Baginda Rasulullah SAW. mengingatkan kaum muslimin bahwa meminta-minta yang paling layak adalah meminta kepada penguasa, karena merekalah pihak yang telah diberikan kewajiban oleh Allah SWT. Untuk mengurus rakyat dengan sebaik-baiknya.

 

الْمَسْأَلَةُ كَدٌّ يَكُدُّ بِهَا الرَّجُلُ وَجْهَهُ إِلَّا أَنْ يَسْأَلَ الرَّجُلُ سُلْطَانًا أَوْ فِي أَمْرٍ لَا بُدَّ مِنْهُ

“Minta-minta itu merupakan cakaran, yang seseorang mencakar wajahnya dengannya, kecuali jika seseorang meminta kepada penguasa, atau atas suatu hal atau perkara yang sangat perlu” (HR. Nasa’iy).

Maraknya pengemis baik yang sporadis ataupun terkoordinir, yang nyata karena kemiskinan atau karena unsur penipuan terjadi hanya dalam sistem kapitalisme. Di mana negara memberlakukan prinsip “survival of the fittest”, rakyat dibiarkan bertarung sendiri memenuhi kebutuhan hidup mereka. Sedangkan negara hanya sebagai regulator yang minim campur tangan menolong hajat hidup rakyatnya sendiri. Sedangkan rakyatnya pun dibebani berbagai pungutan pajak yang memberatkan. Inilah rezim jibayah, penghisap darah rakyat, sekaligus mulkan jabariyyan, penguasa kejam yang menindas membiarkan rakyatnya sengsara.

Hasilnya angka kemiskinan bertambah, anak-anak terlantar yang menjadi anak jalanan juga bertambah, jumlah pengemis terus meningkat, dan memunculkan pula mental rusak menjadi pengemis, bahkan lebih parah lagi merekayasa, mengkoordinir hingga melakukan perdagangan manusia untuk memuluskan peran sebagai pengemis. Wal iyyadzu billah! [Iwan Januar – LS DPP HTI]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*