Transportasi ala Kapitalis VS Tranportasi ala Islam
HTI Press, Jakarta. Persoalan transportasi di Jakarta memang tak pernah usai. Setelah Jakarta lumpuh akibat demostrasi sekitar 12.000 pengemudi taksi (22/03/16), pemerintah memutuskan segera memberlakukan masa transisi bagi angkutan berbasis aplikasi. Unjuk rasa itu adalah kelanjutan aksi seminggu sebelumya (14/3/16), saat angkutan kota hingga taksi mengepung Istana Negara untuk menolak angkutan berbasis aplikasi. Maka, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) menyelenggarakan Diskusi Politik Perempuan ke 20 dengan tema “Kisruh Moda Transportasi: Buah Pahit Penerapan Kapitalisme”, di kantor Dewan Pimpinan Pusat MHTI, Tebet Jakarta Selatan dan disiarkan secara live streaming di alamat www.hibut-tahrir.or.id, Sabtu (2/4/2016).
Ibu Mayesni Kusniar, M.Si (Lajnah Mashlahiyah MHTI) selaku pemateri pertama menjelaskan bahwa permasalahan transportasi publik merupakan hal yang sering terjadi. Seperti tingginya angka kecelakaan, infrastruktur yang buruk, sopir yang ugal-ugalan di jalan dan yang belakangan terjadi adalah demonstrasi besar-besaran pengemudi taksi memprotes keberadaan transportasi daring.
Solusi yang diberikan pemerintah pun hanya sebatas regulasi, bahwa transportasi daring harus sesui UU No. 22/2009 diantaranya harus berbadan hukum, menyetorkan pajak, memiliki pool, argo dan KIR. Hal ini tentunya akan menimbulkan masalah baru yakni tingginya biaya sewa transportasi yang akan dirasakan oleh masyarakat.
Belum lagi terjadinya liberalisasi sektor IT dan transportasi yang dikelola oleh swasta dan asing. Hal ini dibuktikan dengan adanya 70% investasi IT di Indonesia masih dikuasi Asing. Banyak proyek yang di kuasai China seperti bandara, pelabuhan, listrik, termasuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
“Alih-alih menyediakan layanan transportasi, pemerintah pun malah ikut-ikutan menjadi pelaku bisnis moda transportasi dengan tujuan profit oriented,” bebernya di hadapan peserta dari berbagai kalangan muslimah tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, Dr. Rini Syafri (Lajnah Mashlahiyah DPP MHTI) dimateri kedua memaparkan bagaimana Islam dalam institusi Khilafah mewujudkan transportasi publik yang menyejahterakan. Dengan tegas Dr.Rini menyampaikan, “Tansportasi publik merupakan urat nadi kehidupan, kebutuhan dasar dan bukan jasa komersial, itulah prinsip-prinsip shohih tata kelola transportasi publik khilafah,” katanya.
Ia pun melihat, saat ini masyarakat telah terbiasa hak-haknya dirampas karena kesalahan peran pemerintah menjadikan dirinya hanya sebagai regulator. Padahal negara berwenang penuh dan bertanggung jawab langsung terhadap transportasi publik yang aman (safety, secure), nyaman (bersih, tidak pengap, tidak berdesakan, tepat waktu, ) dan murah (murah dengan mengedepankan aspek pelayanan daripada keuntungan).
Oleh karena itu, lanjutnya, dibutuhkan suatu pengelolaan anggaran yang bersifat mutlak. Ada atau tidak adanya kas negara yang diperuntukan untuk pembiayaan transportasi publik dan infrastruktur, negara tetap wajib menyediakan anggaran tersebut.
Terakhir, Dr. Rini Syafri mengatakan bahwa penerapan prinsip-prinsip sohih tersebut merupakan bagian integral dalam sistem kehidupan Islam atau sistem politik Islam yakni Khilafah Islam. Satu dengan lainya tidak dapat dipisahkan.
“Kita tidak dapat hanya mengambil sedikit peraturannya saja tanpa menerapkan sistem hidup lainnya terlebih lagi sistem pemerintahan dan ekonomi. Oleh karena itu, Khilafah Islam meniscayakan terwujudnya kesejahteraan dan kemuliaan masyarakat termasuk di dalamnya tersedianya layanan transportasi publik yang aman, nyaman dan murah,” tutupnya.[]