Lima tahun Revolusi Suriah—yang diilhami revolusi di Tunisia dan Mesir yang dikenal dengan Arab Spring—berlalu. Dalam laporan yang ditulis the Guardian, mengutip Pusat Penelitian Kebijakan Suriah, seperti yang dilansir Reuters, Kamis (11/2/2016), dalam lima tahun Konflik Suriah 400 warga Suriah telah terbunuh akibat perang, 70 ribu lainnya terbunuh akibat ketiadaan sarana kebutuhan dasar seperti air bersih dan kesehatan. Yang terluka diperkirakan mencapai 11 persen populasi, sekitar 1,9 juta orang. Harapan hidup pun menurun dari 70 pada tahun 2010 menjadi 55,4 pada tahun 2015. Kerugian ekonomi secara keseluruhan akibat konflik diperkirakan mencapai USD 255 miliar. Begitu bunyi laporan The Guardian. Belum lagi jumlah pengungsi Suriah yang diperkirakan mencapai 4 juta orang.
Melihat Revolusi Suriah ini, kembali kita tegaskan, awal dari konflik berkepanjangan ini adalah keinginan damai rakyat Suriah yang ingin agar rezim Assad turun, kemudian berubah menjadi perlawanan bersenjata, setelah rezim Assad bertindak brutal dan buas membantai pihak-pihak yang dianggap mengancam eksistensi Rezim Assad.
Revolusi Suriah ini kemudian menjadi berbeda dengan negara-negara Timur Tengah yang mengalami pengaruh Arab Spring. Bedanya, mereka menuntut penerapan syariah Islam di Suriah. Keinginan untuk menjadikan Suriah sebagai pusat Kekhilafahan pun menguat. Tidak hanya itu, kelompok-kelompok perlawanan dengan keras menolak solusi Amerika, yaitu demokrasi sekular. Mereka paham, sebagaimana di Tunisia dan Mesir, tawaran demokrasi Amerika tidak membawa perubahan apa-apa secara mendasar.
Faktor inilah yang membuat revolusi ini berkepanjangan. Kebijakan Barat yang dimotori Amerika memperpanjang dan memperparah konflik ini. Kebijakan umum Amerika adalah tetap mempertahankan Basyar Assad hingga didapatkan pengganti dia yang bisa tetap dikontrol oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Mereka juga menolak tegas aspirasi rakyat Suriah untuk menerapkan syariah Islam secara total. Bagi Barat, aspirasi itu merupakan ancaman serius bagi eksistensi penjajahan mereka, apalagi dalam bentuk Khilafah Islam.
Untuk itu Barat yang dimotori Amerika Serikat menggunakan berbagai cara; mulai dari membentuk oposisi pro Barat yang diharapkan bisa memuluskan agenda Amerika Serikat hingga memanfaatkan keberadaan ISIS yang tidak layak disebut Khilafah. Oposisi Barat ternyata gagal karena mereka tidak mendapatkan tempat di hati rakyat Suriah. Adapun keberadaan ISIS digunakan sebagai legitimasi untuk memerangi siapapun yang tidak sejalan dengan Amerika dengan alasan perang melawan teroris ISIS.
Sekutu Amerika pun dimanfaatkan untuk menjalankan agenda politiknya, baik regional maupun internasional. Negara Paman Sam ini pun menjalankan politik dua kaki. Pertama, memposisikan diri seolah-olah bertentangan dengan rezim Basyar dan seolah menginginkan agar Bashar jatuh secepatnya. Untuk posisi ini Amerika memanfaatkan negara-negara sekutu regionalnya seperti Turki, Saudi, dan negara-negara Teluk. Tujuannya, kalaupun perlawanan berhasil, tetap dalam kontrol Amerika Serikat, melalui pihak perlawanan yang didukung sekutu regionalnya.
Kedua, di balik layar justru Amerika berusaha tetap mempertahankan Bashar Assad karena khawatir Suriah akan berubah menjadi Negara Islam. Amerika berupaya mempertahankan Bashar hingga mendapatkan penggantinya. Untuk itu Amerika memanfaatkan Iran dan milisi bersenjata Libanon yang pro Iran. Amerika membiarkan Iran membantu habis-habisan rezim Basyar.
Namun, setelah melihat hal ini belum membawa perubahan yang signifikan, Amerika melakukan koordinasi dengan Rusia untuk mempertahankan Basyar yang sudah diujung tanduk. Sekali lagi isu perang melawan ISIS, melawan teroris, digunakan. Putin pun memberikan komando untuk membombardir kelompok apapun yang mengancam Basyar, bukan hanya ISIS.
Amerika, meskipun seolah menunjukkan rasa tidak nyaman dengan tindakan Rusia, sesungguhnya telah berkoordinasi dengan negara musuh umat Islam itu. Di samping untuk memperkuat kembali posisi Bashar, serangan-serangan mematikan Rusia juga diharapkan akan membuat putus-asa rakyat Suriah.
Melalui strategi bumi hangus dan isolasi wilayah-wilayah yang dianggap tidak sejalan dengan agenda Amerika, mereka berharap dukungan rakyat terhadap pasukan perlawanan anti Barat akan berkurang. Di sisi lain, kelompok-kelompok perlawanan pun akan mau diseret ke meja perundingan untuk menyetujui agenda-agenda Amerika untuk Suriah. Setelah tugas-tugasnya untuk sementara dianggap selesai, Rusia dan Iran berikut milisi Libanonnya pun mulai mundur dari Suriah, meskipun tidak sepenuhnya. Semua ini dalam kordinasi dengan Amerika untuk memuluskan agenda politik negara imperialis itu.
Hingga saat ini, belum ada yang bisa memastikan apakah agenda politik Amerika akan berhasil di Suriah. Namun, Hizbut Tahrir sejak awal mengingatkan, bahwa masalah Suriah tidak akan bisa selesai secara menyeluruh kalau hanya disandarkan pada pergantian rezim tanpa disertai perubahan sistem. Karena itu Hizbut Tahrir terus menyadarkan umat Islam Suriah, bahwa hanya dengan tegaknya Khilafah, persoalan Suriah bisa diselesaikan.
Hizbut Tahrir terus mengingatkan agar kelompok-kelompok yang harus dengan tegas menolak setiap campur tangan negara-negara imperialis seperti Amerika Serikat dan sekutunya, termasuk menolak agenda dan solusi politik mereka. Menerima solusi Amerika merupakan bunuh diri politik. Seperti yang terjadi di Mesir dan Tunisia, tawaran-tawaran Amerika tidak menyelesaikan masalah, kecuali memperpanjang penderitaan. Justru demokrasi sekular dengan penguasa yang didukung oleh Baratlah yang menjadi pangkal persoalan krisis di negeri-negeri Islam, termasuk Suriah.
Terakhir, kalimat yang disampaikan Amir Hizbut Tahrir terkait Suriah penting untuk kita renungi:
Meskipun sungguh menyakitkan melihat negeri Islam dikendalikan oleh kaum kafir imperialis dan antek-antek mereka, hari-hari akan bergilir dan tidak lama lagi dengan izin Allah cahaya Khilafah akan menyinari negeri Islam, bahkan menyebar ke segala penjuru bumi dan musuh-musuh Islam akan lari tunggang-langgang ke jantung negeri mereka… Itu pun jika masih tersisa untuk mereka jantung negeri itu. Allah SWT berfirman (yang artinya): Sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) berita al-Quran setelah beberapa waktu lagi (TQS Shad [38]: 88).
Allahu Akbar! [Farid Wadjdi]