Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad1 untuk mengatur interaksi manusia dengan Tuhannya, dirinya dan sesamanya.2 Karena itu Islam adalah agama yang sempurna dan mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia. Kita pun diperintahkan oleh Allah SWT agar memeluk Islam secara kâffah, tidak setengah-setengah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagi kalian (QS al-Baqarah [2]: 208).
Sebagai agama yang diturunkan oleh Allah SWT, Zat Yang Maha Sempurna, Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta. Allah SWT menegaskan dalam Kitab Suci-Nya:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ
Kami tidak mengutus kamu [Muhammad], kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107).
Ayat ini, menurut Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, rahimahu-Llâh menjelaskan, bahwa tujuan Rasulullah saw. diutus adalah agar risalahnya menjadi rahmat bagi manusia. Rasul saw. menjadi “rahmat bagi manusia” bermakna bahwa risalahnya diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan [jalb al-mashâlih] bagi mereka dan mencegah kemafsadatan [dar’u al-mafâsid] dari mereka.3
Memang tampak ayat ini menjelaskan bahwa menjadi “rahmat” [rahmat[an]] adalah tujuan [ghâyah]. Namun, tujuan syariah Islam untuk mewujudkan kemaslahatan [jalb al-mashâlih] bagi manusia dan mencegah kemafsadatan [dar’u al-mafâsid] dari diri mereka, dalam konteks ayat ini, tidak terletak pada satu-persatu hukum, melainkan syariah Islam sebagai satu kesatuan. Karena itu, perwujudan kemaslahatan [jalb al-mashâlih] dan pencegahan kemafsadatan [dar’u al-mafâsid], dalam konteks ini, tidak bisa disebut sebagai ‘illat [alasan hukum] pensyariatan hukum syariah.
Dengan kata lain, perwujudan kemaslahatan [jalb al-mashâlih] dan pencegahan kemafsadatan [dar’u al-mafâsid] merupakan hasil dari penerapan syariah Islam secara kâffah, bukan ‘illat [alasan hukum] pensyariatan hukum syariah. Hasil [natîjah] jelas berbeda dengan alasan [sabab] pensyariatan hukum. Sebab, hasil merupakan konsekuensi dari penerapan syariah. Adapun alasan pensyariatan hukum ada sebelum hukum tersebut disyariatkan dan menyertainya setelah hukum itu ada, bukan hasil yang menjadi konsekuensi dari penerapannya.4
Pemeliharaan agama [hifzh ad-dîn], jiwa [hifzh an-nafs], akal [hifzh al-‘aql], harta [hifzh al-mâl], keturunan [hifzh an-nasl], kehormatan [hifzh al-karâmah], keamanan [hifzh al-amn] dan negara [hifzh ad-dawlah] yang notabene merupakan kemaslahatan bagi individu dan publik, misalnya, bisa disebut sebagai hasil penerapan syariah. Semua itu juga tidak bisa diwujudkan sendiri-sendiri, tetapi harus diwujudkan dalam sistem syariah secara kaffah. Sebagai contoh, agar harta terjaga, hukum potong tangan tidak bisa diterapkan sendiri, sementara problem kemiskinan dan ketimpangan ekonomi tidak diselesaikan dengan sistem ekonomi syariah. Padahal sistem ekonomi syariah dan hukum potong tangan tidak bisa dijalankan kecuali di dalam Negara Khilafah.
Karena itu kerahmatan Islam bagi alam semesta [Islâm rahmat[an] li al-‘âlamîn] merupakan konsekuensi logis dari penerapan Islam secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Kerahmatan Islam tidak akan terwujud jika Islam hanya diambil sebagai simbol, slogan, asesoris dan pelengkap “penderita” yang lain. Kerahmatan Islam tidak akan ada jika Islam hanya diambil ajaran spiritual dan ritualnya saja, sementara ajaran politiknya ditinggalkan. Pada saat yang sama, paham politiknya diambil dari Kapitalisme maupun Sosialisme, yang notabene bertentangan dengan Islam.
Inilah Islâm rahmat[an] li al-‘âlamîn yang sesungguhnya. Inilah Islam sebagaimana yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi-Nya, Muhammad saw. Inilah Islam yang benar-benar pernah diterapkan selama 14 abad di seluruh dunia; yang pernah memimpin umat manusia, dari Barat hingga Timur, Utara hingga Selatan. Di bawah naungannya, dunia pun aman, damai dan sentosa, dipenuhi keadilan. Muslim, Kristen, Yahudi dan penganut agama lain pun bisa hidup berdampingan dengan aman dan damai selama berabad-abad lamanya.
Begitulah Islâm rahmat[an] li al-‘âlamîn, yang telah terbukti membawa kerahmatan bagi seluruh alam. Inilah Islam yang dirindukan oleh umat manusia untuk kembali memimpin dunia; membebaskan umat manusia dari perbudakan dan penjajahan oleh sesama manusia; serta menebarkan kebaikan, keadilan dan kemakmuran di seluruh penjuru dunia. Itulah Islam yang hidup sebagai peradaban di tengah umat manusia, diterapkan, dipertahankan dan diemban oleh umat manusia di bawah naungan Khilafah Rasyidah. []
Catatan kaki:
1 Prof. Dr. Muhammad Rawwas Qal’ah Jie, Mu’jam Lughat al-Fuqaha’: ‘Arabi-Injelisi-Inransi, Dar an-Nafa’is, Beirut, cet. I, 1426 H/1996 M, hlm. 48.
2 Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Nizhâm al-Islâm, Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, cet. VI, 1422 H/2001 M, hal. 70.
3 Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah al-Juz’u at-Tsâlits, Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, cet. III, 1426 H/2005 M, hlm. 381.
4 Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islamiyyah al-Juz’u at-Tsâlits, Dar al-Ummah, Beirut, edisi Muktamadah, cet. III, 1426 H/2005 M, hlm. 381.