Namanya adalah Said bin al-Musayyib bin Hazn bin Abi Wahab bin Amru bin Aid bin Imran bin Makhzum al-Qurasy al-Mahzumi al-Madani. Ia dilahirkan dua tahun sejak Umar bin al-Khaththab ra. memangku jabatan khalifah.
Said bin al-Musayyib adalah tokoh terkemuka para tâbi’în. Ia hidup sezaman dengan para sahabat Rasulullah saw. seperti: Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah, Sayyidah Aisyah dan Ummu Salamah ra. Ia adalah perawi yang paling banyak meriwayatkan hadis dari Abu Hurairah ra., yang kemudian menikahkan ia dengan putrinya.
Said bin al-Musayyib berguru kepada sejumlah Sahabat di antaranya Ubai bin Kaab, Anas bin Malik, Barra’ bin ‘Azib, Bashrah bin Aktsam al-Anshari, Bilal budaknya Abu Bakar ash-Shiddiq, Jabir bin Abdillah, Jubair bin Muth’im, Hasan bin Tsabit, Zaid bin Tsabit, Saad bin Ubadah, Saat bin Abi Waqqas, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Amru bin ‘Ash, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Umar bin al-Khaththab, Muawiyyah bin Abi Shafyan, Abu Bakar ash-Shidiq, Abu Darda’, Abu Dzar al-Gifari, Abu Said al-Khudri, Abu Musa al-Asy’ari, Abi Hurairah, dll. Ia juga berguru kepada istri-istri Nabi saw. seperti Aisyah, Ummu Salamah, dan lain-lain.
Said bin al-Musayyib dikenal sebagai orang yang tegas dan tak mau tunduk dengan kemauan para penguasa. Namun, ia tetaplah seorang yang lembut dan mengedepankan rasa persaudaraan dalam pergaulan terutama dengan orang-orang shalih dan bertakwa. Ia selalu mengucapkan suatu kalimat yang menjadi slogannya setiap hari, ”Tiada yang bisa menjadikan seorang hamba mulia selain taat kepada Allah SWT dan tiada yang bisa membuat seorang hamba hina kecuali maksiatnya kepada Allah SWT.” (Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, 2/163).
Banyak sanjungan dan pujian terlontar kepada beliau karena keluasan ilmunya, kemuliaan akhlaknya dan kesungguhannya dalam beribadah. Qatadah, misalnya, berkomentar, “Aku tidak pernah melihat orang sepandai Said bin al-Musayyib.”
Hasan al-Bashri, jika menemui kesulitan, sering menulis surat kepada Said untuk meminta jawabannya.
Amr bin Dinar berkata, “Saat Zaid bin Tsabit meninggal dunia, Ibnu Abbas berkata, ‘Beginilah hilangnya ilmu pengetahuan.’ Mendengar itu, Said berkata, ‘Begitu juga jika Ibn Abbas meninggal.’ Ibnu Abbas kembali berkomentar, ‘Begitu juga jika Said bin al-Musayyib meninggal.’” (Tahdzîb al-Kamâl, 11/75).
Ibnu Hibban juga berkata, “Said Bin al-Musayyib termasuk pemuka para tâbi’în karena kefakihan, kewaraan, ibadah dan kemuliaannya. Ia adalah ulama fikih paling terkenal di negeri Hijaz dan yang paling bisa diterima pendapatnya oleh khalayak umum.” (Ibn Hibban, Ats-Tsiqât, 4/274).
Said bin al-Musayyib meriwayatkan banyak hadis secara mursal dari Rasulullah saw., di antaranya hadis terkenal dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Ada tiga perkara, yang jika ketiganya ada dalam diri seseorang maka dia layak disebut sebagai orang munafik meskipun ia melaksanakan shaum, shalat dan mengklaim dirinya Muslim: jika berkata, berdusta; jika berjanji, ingkar; jika diberi amanah, berkhianat.” (HR Ahmad).
Karena ke-tsiqqah-annya, hadis-hadis mursal dari Said bin al-Musayyib dinilai hasan oleh Imam Syafii. Bahkan Imam Ahmad dan yang lainnya berkomentar, “Mursalât (kumpulan hadis mursal) yang diriwayatkan Said bin al-Musayyib adalah sahih semuanya.” (Adz-Dzahabi, Tadzkirah al-Huffâzh, 1/44).
Said bin al-Musayyib juga dikenal sangat tekun beribadah. Selama 40 puluh tahun ia tidak pernah meninggalkan salat berjamaah di masjid dan selalu berada di shaf paling depan. Karena itu, selama itu pula ia tidak pernah melihat tengkuk para jamaah saat shalat berjamaah (karena berada di shaf pertama). Para jamaah juga tidak pernah melihat ia keluar dari masjid (karena ia pulang dari masjid paling akhir).”
Said bin al-Musayyib pun pernah berkata, “Aku tidak pernah ketinggalan takbir pertama bersama imam dalam shalat berjamaah selama lima tahun (shalat di awal waktu).” (Abu Nua’im, Al-Hilyah, 2/162).
Ia bahkan pernah berkata, “Sejak 30 tahun yang lalu, setiap kali muazin mengumandangkan azan, aku pasti sudah berada di masjid.”
Yang tak kalah luar biasa, Said bin al-Musayyib biasa menjaga wudhunya. Terkait itu, Abdul Muin bin Idris, dari ayahnya, berkata, “Selama 50 tahun Said bin Musayyib melaksanakan shalat subuh dengan wudhu shalat isya.” (Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, 2/162).
Demikianlah kesungguhannya dalam ibadah. Hal itu barangkali karena ia meyakini satu hal yang pernah ia ucapkan sendiri, “Siapa saja yang memelihara shalat lima waktu secara berjamaah di masjid, ia seperti telah memenuhi daratan dan lautan dengan ibadah.” (Abu Nu’aim, Al-Hilyah, 2/162).
Meski demikian, pandangan Said bin al-Musayyib tentang ibadah tidaklah sebatas ibadah ritual. Terkait itu, Bakr bin Khunais berkata: Aku pernah berkata kepada Said bin al-Musayyib, “Aku melihat orang-orang biasa melakukan banyak shalat dan ibadah ritual lainnya. Lalu mengapa engkau tidak ikut bersama mereka?” Ia menjawab, “Sesungguhnya itu bukanlah ibadah yang sebenarnya. Ibadah yang sebenarnya adalah mentafukri perintah Allah SWT, bersikap wara (hati-hati) terhadap perkara-perkara haram serta menunaikan semua kewajiban dari Allah SWT.” (Abu Nu’aim, Al-Hilyah, 2/162).
Said bin al-Musayyib termasuk orang kaya yang dikaruniai Allah SWT harta yang banyak, juga dikaruniai ilmu yang amat luas dan nasab yang mulia. Meski kaya, ia adalah seorang yang wara’, zuhud dan bertakwa. Karena itu ia tidak tertarik untuk menikahkan putrinya meski dengan putra penguasa besar saat itu, Khalifah Abdul Malik bin Marwan, karena akhlaknya yang dianggap buruk. Saat Khalifah meminang putrinya untuk putra Khalifah, al-Walid, Said bin al-Musayyib pun menolak pinangan itu.
Beberapa waktu kemudian, Said bin al-Musayyib justru menikahkan putrinya dengan seorang miskin, yakni Ibnu Abi Wada’ah, salah seorang murid kesayangannya, yang baru saja ditinggal wafat oleh istrinya. Karena miskin, Ibn Abi Wada’ah hanya mampu memberi mahar dua atau tiga dirham (sekitar Rp 150 ribu) untuk putri Said bin al-Musayyib yang dia sunting menjadi istrinya itu (HR Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah, 2/167; adz-Dzahabi dalam As-Siyar, 4/233).
Said bin Al-Musayyib wafat di Madinah tahun 94 Hijriah pada masa pemerintahan Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik dalam usia 75 tahun.
Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]