KPK sudah menetapkan Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja sebagai tersangka.
Keduanya ditetapkan sebagai tersangka terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Zonasi dan Pulau-Pulau Kecil dan Raperda tentang Rencana Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Tertangkapnya kedua orang ini jadi membuka borok perizinan program reklamasi di kawasan Pluit, Jakarta Utara. Sebelumnya sejumlah pihak telah mempertanyakan dan memprotes proyek reklamasi pantai, termasuk Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Menteri Kelautan dan Perikanan bersama sejumlah kalangan mengingatkan bahwa reklamasi kawasan Pluit selain merusak ekologi, merusak biota laut, merugikan nelayan, juga melanggar undang-undang.
Pemberian izin reklamasi Pluit oleh Ahok melalui Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014, ternyata melanggar sejumlah aturan, di antaranya Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Pengolahan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Hal ini dikarenakan kawasan pesisir Jakarta merupakan kawasan strategis nasional (KSN) yang kewenangannya dimiliki oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Sikap Pemprov DKI yang tidak berkoordinasi dengan KKP juga menunjukkan mereka telah menabrak Peraturan Presiden (Perpres) No. 122 Tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Kemudian bila terbukti reklamasi itu merusak biota laut, maka Pemprov DKI telah melanggar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ahok sendiri berkilah kalau ia hanya meneruskan perizinan yang telah dikeluarkan oleh gubernur DKI Jakarta sebelumnya, Fauzi Bowo. “Anda tidak bisa batalkan orang nyambung izin, kan?” tanya Ahok.
Di sini Ahok berlagak pilon, karena faktanya, perizinan proyek reklamasi di masa kepemimpinan Foke dan Ahok berbeda. Foke mengeluarkan perizinan dalam bentuk Surat Keputusan, sehingga usia berlakunya terbatas dan sekali pakai saja.
Kemudian pada tahun 2008 keluar Peraturan Presiden No. 54, dimana pada Pasal 72 poin (c) menyebutkan bahwa Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta, sepanjang yang terkait dengan penataan ruang tidak berlaku. Dengan demikian izin reklamasi tidak dapat dilakukan lagi sebagaimana yang dulu dilakukan dengan dasar Keppres No. 52 Tahun 1995 seperti pada masa Foke.
Dengan ditetapkannya Ketua Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi dan Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja sebagai tersangka, semakin memberatkan posisi Ahok. Dugaan bahwa telah terjadi kongkalikong atau persekongkolan antara legislatif dan eksekutif dengan perusahaan pengembang semakin kuat.
Kenyataan ini menunjukkan kalau dalam sistem demokrasi-liberal, penguasa dan pengusaha bisa melakukan pat gulipat. Pengusaha dengan modal besar bisa merayu pejabat untuk mengeluarkan berbagai izin proyek yang sebenarnya ilegal dan merugikan masyarakat.
Apalagi menjelang pilkada gubernur DKI yang bernilai strategis pastinya dibutuhkan dukungan dan dana besar. Untuk itu para kandidat bisa saja memanfaatkan kedekatan hubungan dengan para pengusaha dan cukong politik untuk memenangkan pertarungan nanti, dengan cara melakukan deal-deal politik. Dalam demokrasi, semua bisa diatur. Ini secara telanjang menunjukkan bobroknya demokrasi. Pantaskah sistem yang sedemikian bobrok masih dipertahankan? [ IJ – LS DPP HTI ]