Perang Suriah merupakan tempat komersial yang sempurna bagi para produsen senjata Rusia.
Moskow bisa mendapatkan uang lebih banyak setelah dunia melihat senjata buatan Rusia, baik lama maupun baru, yang teruji di medan tempur oleh angkatan udara Rusia dan militer Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Perang Suriah telah membantu Moskow meningkatkan statusnya sebagai produsen dan eksportir senjata besar, yang merupakan kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat.
Ini merupakan kabar baik bagi Presiden Vladimir Putin di tengah krisis ekonomi yang parah yang disebabkan oleh rendahnya harga minyak, jatuhnya mata uang rubel, dan sanksi-sanksi Barat yang diberlakukan atas tindakan Rusia di Ukraina.
Operasi militer itu memberikan kesempatan untuk menguji dalam pertempuran “Semua sistem militer generasi terakhir yang tidak bisa diuji oleh Rusia dalam kondisi militer – yakni persenjataan presisi tinggi, rudal, helikopter, pesawat dan rudal jelajah”, kata Ruslan Pukhov, Direktur Center for Analysis of Strategies and Technologies, yang bermarkas di Moskow.
Harian Kommersant mengatakan pada pekan lalu, dengan mengutip orang dalam di Kremlin dan para analis militer, bahwa “efek marketing” dari konflik Suriah akan meningkatkan penjualan senjata Rusia hingga $ 7 milyar. Aljazair telah membeli selusin pembom tempur Sukhoi Su-32, suatu versi ekspor dari Su-34 yang terbukti mematikan di Suriah.
Pakistan, Vietnam, Indonesia dan sejumlah negara Amerika Latin juga ingin membeli lebih banyak pesawat pembom dan helikopter, tetapi mereka juga ingin yang lebih dari sekedar pesawat, yang merupakan tulang punggung ekspor senjata Rusia sejak Uni Soviet runtuh tahun 1991.
Pada tahun 2015, ekspor senjata Rusia mencapai rekor dengan nilai $ 14.5 miliar karena “keandalan dan efektivitas yang tinggi” dari persenjataan tersebut, Presiden Putin mengatakan pada akhir Maret.
Angka tersebut lebih tinggi dari yang diharapkan, dan pesanan asing bagi senjata Rusia melebihi $ 56 miliar, kata Putin menambahkan, saat menyampaikan pidato pada pertemuan para pejabat pertahanan.
Pada tanggal 7 Oktober 2015, pada hari ulang tahun ke-63 Putin, empat kapal perang Rusia meluncurkan rudal jelajah jarak jauh yang menyerang 11 target di Suriah – suatu jarak yang lebih dari 1.500 kilometer.
Pada bulan Desember, sebuah kapal selam Rusia yang berada di Laut Mediterania meluncurkan rudal jelajah yang sama terhadap sasaran-sasaran di provinsi Raqqa, Suriah.
Tentu saja, penyebaran senjata-senjata ini – serta koordinasi intervensi militer Moskow yang mencolok- adalah mustahil tanpa adanya serangkaian reformasi militer yang menyapu Rusia.
Reformasi militer itu dipimpin oleh Menteri Pertahanan “sipil” yang pertama, Anatoly Serdyukov, yang pernah memiliki sebuah bengkel mebel dan merupakan anak menantu dari mantan perdana menteri Rusia. (riza/aljazeera, 6/4/2016)