Pernyataan Kadiv Humas Polri Anton Charliyan yang menuduh kelompok yang membela Siyono sebagai pro teroris akhirnya berbalik menyerang kepolisian.
Sebagaimana diketahui dalam jumpa pers, Kadiv Humas Polri mengatkan “Ada golongan tertentu yang pro teroris. Dia (Siyono) teroris, pegang senjata, dan ada yang membela. Silakan Anda saja yang menilai.”
Padahal kalangan dituduh oleh Kadiv Humas di antaranya adalah PP Muhammadiyah dan ormas Islam lain. Selain itu ada Komnas HAM juga Kontras berusaha mencari bukti Siyono tewas akibat kekejaman Densus.
Pernyataan ini tidak bermakna lain kecuali menegaskan kalau operasi penumpasan terorisme selama ini memang ditujukan kepada umat Islam. Bila tidak, mengapa pihak kepolisian menjadi begitu phobi dengan keberadaan ormas Islam yang berusaha menjernihkan persoalan terorisme di tanah air, termasuk mencoba memperjuangkan keadilan bagi korban tewas di tangan Densus dengan semena-mena.
Ditimbang dari logika hukum, pernyataan ini juga kacau. Apakah kemudian pengacara yang membela seorang bandar narkoba berarti dia juga pendukung peredaran narkoba? Juga pengacara yang membela seorang koruptor berarti dia anti pemberantasan korupsi? Memusuhi KPK? Lalu hakim yang membebaskan tersangka korupsi dan bandar narkoba juga bisa dituding hakim pro korupsi dan peredaran narkoba?
Pernyataan itu tidak pernah keluar dari aparat penegak hukum karena memang tindakan mereka sah secara hukum positif. Lalu mengapa ketika ada kalangan muslim yang berusaha menjernihkan persoalan, mencari keadilan atas korban yang belum terbukti bersalah, dikatakan mendukung terorisme?
Pernyataan ini sekaligus mengesahkan bahwa Densus 88 adalah lembaga superbodi, untouchable dan tidak pernah salah. Hal ini diperkuat dengan perkataan Menkopolhukan Luhut Panjaitan yang meminta rakyat tidak berprasangka buruk pada Densus 88. Kembali ini pernyataan terbalik secara logika hukum; Mereka yang memegang senjata mesti jangan dipandang bersalah, sebaliknya korban yang tertangkap, mengalami penganiayaan bahkan lalu mati ‘sudah pasti bersalah’ meski tanpa proses peradilan.
Selain itu, pernyataan Kadiv Humas Polri juga mengandung potensi adu domba di tengah-tengah umat. Karena dengan begitu kepolisian menunjuk hidung kelompok Islam mana saja yang berusaha membantu korban Densus sebagai pro teroris, dan itu berarti negatif. Sedangkan yang berdiam diri, apalagi pro terhadap Densus dan BNPT adalah positif dan baik.
Umat melihat selama ini BNPT giat menggalang kerjasama dengan sejumlah tokoh Islam dan ormas Islam untuk mengkampanyekan perang melawan terorisme. Memang demikian modus operandi war on terror; membelah umat untuk kemudian menciptakan konflik horizontal.
Pola semacam ini sudah dilakukan oleh rezim anti-Islam di berbagai negara seperti Uzbekistan, beberapa negara Eropa dan Amerika Serikat. Pemerintah setempat merangkul tokoh Islam moderat dan liberal lalu menyerang kalangan sebaliknya. Mereka yang mengkritisi kebijakan pemerintah dalam program anti terorisme langsung dicap kelompok radikal dan mensponsori terorisme.
Memang kemudian Kadiv Humas mengatakan tidak menuduh Muhammadiyah sebagai teroris, tapi kalimat sudah terlontar dan siapapun bisa memahami ucapan tersebut. Ada nuansa Islamphobia di dalamnya sekalipun dilontarkan seorang muslim.
Sama sekali tak ada argumen logis untuk menolak adanya spirit Islamphobia dalam operasi anti-teror. Misalnya BNPT dan kepolisian tidak memasukkan aksi pemboman Mall Alam Sutera sebagai aksi terorisme, meski pelakunya meledakkan beberapa bom. Kuat dugaan karena pelakunya bukan muslim dan ‘tidak ada motif ideologis’. Tentu kita bertanya apakah aksi terorisme harus semata bermotif ideologis, dan itu adalah harus Islam?
Karena kepolisian juga tidak pernah memasukkan gerakan separatisme Papua (OPM) ke dalam kelompok teroris meski mereka sudah membunuh banyak warga sipil juga aparat keamanan. Termasuk menembak seorang kapolsek dari jarak dekat? Dengan enteng Ansyad Mbai sebagai ketua BNPT saat itu mengatakan hal itu sebagai ‘tindak kriminal biasa’.
Karenanya umat wajib bersatu menghadapi kezaliman luar biasa ini. Jangan biarkan imperialis asing menganiaya anak-anak umat menggunakan tangan-tangan umat sendiri. Para ulama dan ormas Islam wajib bersatu menghadapi fitnah besar ini. Sungguh sangat prihatin bila masih ada elemen umat yang tak bisa melihat sinar yang sudah begitu terang benderang ini. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [IJ – LS DPP HTI]