[Al-Islam edisi 801, 30 Jumaduts Tsani 1437 H – 8 April 2016 M]
Senin, 28 Maret 2016, PM Israel Benyamin Netanyahu menerima kunjungan delegasi wartawan Indonesia. Mereka adalah Heri Trianto (Bisnis Indonesia), Abdul Rokhim (Jawa Pos), Yustinus Tomi Aryanto (Tempo), James Luhulima (Kompas) dan Margareta (MetroTV). Kunjungan itu atas undangan dan inisiatif dari Kementerian Luar Negeri Israel.
Propaganda Israel
The Times of Israel memberitakan, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dalam pertemuan itu menyerukan pembentukan hubungan diplomatik Israel dan Indonesia (BBC.com/Indonesia, 29/3).
Surat kabar Israel, Haaretz, di situsnya Rabu (16/03) memberitakan, Menlu Retno Marsudi dilarang ke Ramallah, Tepi Barat. Wakil Menlu Israel, Tzipi Hotovely, mengatakan di Parlemen Israel, Knesset, pihaknya mengeluarkan larangan terbang melintas kepada Menlu Indonesia karena Indonesia melanggar “kesepakatan” yang dibuat dalam pertemuan Kepala Divisi Asia Kemenlu Israel, Mark Sofer, dengan pejabat Indonesia dalam sebuah kunjungan ke Indonesia yang tidak dia sebutkan waktunya. Ia mengklaim telah ada “kesepakatan”, Menlu RI akan bertemu dengan pejabat Israel saat bertandang ke Ramallah.
Menlu RI Retno Marsudi membantah. “Kementerian Luar Negeri tidak pernah, garis bawahi, tidak pernah ada pertemuan rahasia itu,” kata Retno di Kantor Kemenko Polhukam, Kamis (17/03). Retno mengatakan, apa yang diberitakan media Israel bahwa dirinya melanggar perjanjian rahasia dengan Israel adalah tidak benar.
Diplomasi “Media”, Budaya dan Pariwisata Israel
Israel selama ini menggunakan “diplomasi media”, budaya dan pariwisata. Israel banyak mengundang wartawan dan tokoh-tokoh Indonesia ke Israel dengan kedok jurnalisme, budaya dan promosi pariwisata. Menurut data Kemenlu, kunjungan jurnalis Indonesia atas undangan pihak Israel ke negara tersebut telah dilakukan sejak 1994 dalam rangka promosi pariwisata dan bisnis. Menurut Heri Trianto, Redaktur Pelaksana Harian Bisnis Indonesia, sebagaimana dikutip oleh BBC Indonesia (30/3), dalam enam tahun terakhir, ada sekitar delapan atau sembilan rombongan wartawan atau politikus yang memenuhi undangan dari pemerintah Israel.
Sebelumnya J-Wire, Digital Jewish news daily for Australia and New Zealand pada 19 November 2015 (http://www.jwire.com.au/57959-2/) memberitakan kunjungan lima wartawan Indonesia bersama dua wartawan Thailand ke Israel. Kunjungan itu disponsori oleh The Australia/Israel & Jewish Affairs Council (AIJAC), sebuah organisasi masyarakat komunitas Yahudi di Australia. Di antara delegasi itu adalah Erwin Dariyanto, Managing Editor Detik.com, dan Muhammad Rusmadi (Rusma), Executive Editor Rakyat Merdeka.
Direktur Eksekutif AIJAC Colin Rubenstein mengatakan, pentingnya kunjungan kelompok yang unik itu tidak bisa diremehkan. Pentingnya kunjungan itu tampak dengan penerimaan atas delegasi ini oleh Ketua Parlemen Israel Yuli Edelstein yang berlangsung lama dan intensif; juga dengan adanya pertemuan dengan politisi senior dan mantan Menlu Tzippi Livni.
Dengan alasan sama, kunjungan delegasi lima wartawan senior paling akhir juga tidak bisa dianggap remeh. Pasalnya, delegasi itu diterima langsung oleh Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Israel dengan cerdik memanfaatkan wartawan dari negara Muslim terbesar sebagai alat diplomasi. Pertemuan itu memang tak bisa lantas membuka hubungan diplomatik Indonesia-Israel. Namun bagi Israel, kehadiran wartawan Indonesia di Israel merupakan sebuah kemenangan diplomasi.
Standar Ganda dan Tidak Empati
Kunjungan semacam itu termasuk yang paling akhir menunjukkan kosongnya empati terhadap rakyat Palestina, khususnya di Jalur Gaza. Sungguh sangat mengenaskan orang dengan bangga bertemu dan berfoto dengan PM Israel yang kebijakannya menyebabkan penderitaan besar rakyat Palestina. Selama pemerintahan Netanyahu, Israel membunuh puluhan ribuan anak-anak, wanita dan orang tua; menghancurkan ribuan keluarga; meluluhlantakkan ribuan rumah; menghancurkan desa-desa dan kota; meluluhlantakkan Jalur Gaza; menghancurkan ratusan masjid bahkan juga sekolah, rumah sakit dan rumah jompo.
Pertemuan tersebut menunjukkan tidak adanya empati. Alasan kerja jurnalistik hanyalah dalih. Jelas ada misi di balik kunjungan itu, khususnya dari Israel. Yang jelas, kunjungan itu dimanfaatkan demi kepentingan politik penjajah Palestina itu.
Kunjungan dan pertemuan itu menegaskan ke sekian kalinya, sebagian pers Indonesia cenderung makin liberal, pragmatis dan berstandar ganda. Satu sisi getol bicara pelanggaran HAM, mengutuk terorisme, menyerukan adanya hukuman yang setimpal bagi pelaku teroris. Di sisi lain, dengan ringannya mereka bertemu dengan orang yang justru melakukan semua yang mereka kutuk. Bicara soal HAM, Israellah yang paling banyak melanggar HAM. Jika mereka menyerukan agar pelaku teroris harus dihukum keras karena telah melanggar HAM maka Benjamin Netanyahu adalah pelanggar HAM paling banyak yang tentu paling layak dihukum keras. Namun, seruan untuk itu tidak pernah keluar barang satu katapun dari mereka.
Pertemuan itu juga jelas menjadi bagian dari propaganda Israel. Israel tahu Indonesia adalah negeri Muslim terbesar, yang tentu suaranya sangat berpengaruh. Hingga kini Indonesia masih mendukung kemerdekaan Palestina. Hingga kini Indonesia tidak mau membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Melalui para jurnalis, Israel berharap ada perubahan opini. Makin banyak jurnalis dan tokoh vokal berkunjung ke Israel makin baik dan menguntungkan Israel.
Mewaspadai Hubungan Indonesia-Israel
Pemerintah Indonesia selama ini mengklaim tidak ada dan tidak punya hubungan apapun dengan Israel. Namun, hubungan dagang Indonesia-Israel nyatanya ada dan jumlahnya besar. Muhammad Zulfikar Rakhmat dan Media Wahyudi Askar dalam tulisannya, “Indonesia’s two faces on Israel-Palestine” di www.middleeasteye.net (23 Maret 2015) menyebutkan, diam-diam Indonesia menikmati hubungan baik dengan negara Yahudi itu. Dilaporkan bahwa volume perdagangan antara kedua negara telah mencapai $ 400-500 juta. Menurut Kementerian Perdagangan Indonesia, dalam lima tahun terakhir, total perdagangan antara Jakarta dan Tel Aviv telah meningkat sebesar 18,01%.
Perdagangan kedua negara memang tidak dilakukan di depan publik, melainkan diam-diam dengan melibatkan pihak ketiga dan negara lain. Misalnya, dilaporkan bahwa kerjasama perdagangan dilakukan dengan bantuan Kedutaan Besar Israel di Singapura dengan proses penawaran perdagangan yang melibatkan pihak ketiga.
Data di situs Kemendag (www.kemendag.go.id) menunjukkan, hingga akhir 2015 total perdagangan Indonesia-Israel mencapai US$ 194,43 juta atau sekitar Rp 2,5 triliun, terdiri dari ekspor US$ 116,7 juta dan impor US$ 77,73 juta. Nilai ekspor Indonesia ke Israel pada akhir 2015 menurun 15,96% dari 2014 yang mencapai US$ 138,87 juta. Sabaliknya, nilai impor Indonesia dari Israel pada akhir 2015 mencapai US$ 77,30 juta, melonjak 456,5% dari tahun sebelumnya US$ 13,89 juta.
Hubungan dagang Indonesia-Israel ini harus diwaspadai. Pasalnya, hubungan dagang antarnegara adalah hubungan yang paling tradisional dalam interaksi antarnegara. Hubungan dagang ini bisa saja ditingkatkan formalitasnya dengan membuka perwakilan dagang atau konsulat. Dalam hukum diplomatik internasional, keberadaan konsulat atau konsuler lebih dulu ada dibandingkan dengan keberadaan perwakilan diplomatik atau kedutaan.
Wahai Kaum Muslim:
Menjalin hubungan dengan orang kafir apalagi dengan Yahudi Israel yang jelas-jelas memerangi Islam dan kaum Muslim merupakan dosa besar. Itu adalah perilaku orang munafik yang diancam dengan siksa neraka.
﴿ بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (١٣٨) الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِن دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِندَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعً ﴾
Kabarilah kaum munafik itu, bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) orang-orang yang mengambil kaum kafir menjadi teman/penolong dengan meninggalkan kaum Mukmin. Apakah mereka mencari kemuliaan di sisi orang kafir itu? Sesungguhnya semua kemuliaan hanya milik Allah (TQS an-Nisa’ [4]: 138-139).
Allah SWT pun dengan tegas melarang kaum Muslim menjadikan Yahudi sebagai teman:
﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ … ﴾
Wahai kaum beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman kalian; sebagian mereka adalah teman bagi sebagian yang lain. Siapa saja di antara kalian mengambil mereka menjadi teman, sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka (TQS al–Maidah [5]: 51).
Selain itu, menjadikan orang kafir menjadi teman/penolong hanya akan mendatangkan siksaan pedih dari Allah SWT (QS an-Nisa [4]: 144). Karena semua itu, kunjungan semacam di atas harus dikecam dan ditolak. Hubungan dagang rahasia Indonesia-Israel juga harus harus dihentikan. Hubungan itu juga tidak boleh sampai meningkat menjadi hubungan resmi. Untuk itu umat Islam tak boleh berhenti dan lelah melakukan amar makruf nahi mungkar, mendakwahkan Islam dan memperjuangkan penerapan syariah Islam secara menyeluruh yang akan mewujudkan rahmat Islam untuk seluruh manusia. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Pertumbuhan dan prospek perekonomian Indonesia masih banyak bergantung pada faktor eksternal. Kepala Ekonom Mandiri Sekuritas Leo Putra Rinaldy menyatakan, “Risiko terbesar Indonesia adalah Cina. Satu persen pertumbuhan ekonomi Cina akan berdampak pada 0,11 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia,” kata Leo pada acara Macroeconomic Outlook Bank Mandiri, Selasa, 5/4/2016. (Kompas.com, 5/4).
- Peningkatan utang besar-besaran ke Cina makin meningkatkan risiko ekonomi Indonesia akibat ekonomi Cina. Sayang, Pemerintah justru makin menumpuk utang dari Cina.
- Ini menjadi bukti kegagalan sistem ekonomi yang diterapkan saat ini dalam membangun kemandirian ekonomi.
- Hanya Islam yang bisa mewujudkan sistem ekonomi yang tidak bergantung pada faktor luar dan bisa mewujudkan distribusi kekayaan secara merata dan berkeadilan. Karena itu segera terapkan sistem ekonomi Islam dalam Khilafah Rasyidah, niscaya rahmat Islam dalam hal ekonomi akan benar-benar terwujud.