Proyek Reklamasi Sarat Persekongkolan Demi Kepentingan Kapitalis

Pada Kamis (31/3/2016) malam, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap anggota DPRD DKI Jakarta, M. Sanusi usai menerima uang dengan nilai total Rp 1,14 miliar. Uang suap itu diduga terkait dengan pembahasan Raperda Rencana Zonasi dan Wilayah Pesisir Pantai Utara dan revisi Perda nomor 8 tahun 1995 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Pantura Jakarta.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengungkapkan Sanusi menerima uang suap itu dari karyawan PT Agung Podomoro Land Tbk yakni Trinanda Prihantoro (TPT) dan melalui perantara Sanusi, Geri (GER) terkait pembahasan Raperda Rencana Zonasi Pesisir Jakarta dan Rencana Tata Ruang Strategis Pantura.

Berikutnya pemilik PT Agung Sedayu, Sugianto Kusuma alias Aguan dicekal ke luar negeri sesuai permintaan dari KPK kepada pihak imigrasi melalui surat yang dikirim pimpinan KPK pada 1 April 2016. KPK juga meminta pencekalan terhadap Staf Khusus (Stafsus) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), bernama Sunny Tanuwidjaja.

Selain di teluk Jakarta, proyek reklamasi besar juga dilakukan terhadap teluk Benoa Bali, digarap oleh PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI) yang merupakan bagian dari grup Artha Graha. Sementara di Makasar proyek reklamasi CitraLand City dilakukan di pantai Losari diinisiasi oleh Ciputra Group yaitu PT Ciputra Surya Tbk melalui KSO Ciputra Yasmin yang menjadi developer reklamasi CitraLand City itu.

Mega Proyek NCICD dan Reklamasi Teluk Jakarta

Proyek reklamasi 17 pulau di teluk Jakarta itu merupakan bagian dari mega proyek Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu Kota Negara (National Capital Integrated Coastal Development/NCICD) yang merupakan proyek Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pemerintah pusat. Pada saat peluncuran mega proyek ini pada 2014 lalu dikatakan, pembangunan NCICD dimulai tahun depan (yakni tahun 2015) terdiri atas reklamasi pantai utara Jakarta (tahap I), konstruksi tanggul terluar (tahap II), dan tembok laut raksasa atau giant sea wall (tahap III).

NCICD adalah penamaan terakhir untuk proyek reklamasi Pantai Utara Jakarta setelah sebelumnya bernama Giant Sea Wall dari yang sebelumnya Jakarta Coastal Development Strategies (JCDS) dan sebelumnya lagi dikenal sebagai Jakarta Coastal Defence Strategies (JCDS).

Dalam penjelasan mega proyek NCICD dikatakan bahwa salah satu tantangan terbesar untuk masa depan dari Ibukota Negara Indonesia adalah untuk melindungi 10 Juta penduduknya dan pesatnya pertumbuhan ekonomi terhadap tingginya risiko banjir karena begitu cepatnya penurunan muka tanah yang terjadi. Bagian paling utara dari Jakarta diperkirakan akan mengalami penurunan hingga 5 meter di bawah permukaan laut pada tahun 2050 dan 7 meter pada tahun 2080. Program Pembangunan Terpadu Ibukota Pesisir Nasional (PTPIN) menyediakan solusi terpadu untuk menghadapi tantangan ini. Perlindungan banjir, sanitasi, dan penyediaan air yang lebih baik, konektivitas yang lebih baik dan pengembangan masyarakat yang berkelanjutan ikut dimasukkan ke dalam pengembangan wilayah pesisir ibukota; sebagai pra-syarat pengembangan ekonomi berkelanjutan di ibukota negara Indonesia.

Antara tahun 2009 dan 2012, cetak biru untuk strategi itu dikembangkan didalam proyek Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS). Pendekatan utama dari proyek ini adalah membangun 3 baris lini pertahanan laut dalam waktu 20 hingga 30 tahun ke depan.

Pada tahun 2013, Proyek JCDS kemudian diikuti oleh Program Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN) atau National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), mengambil solusi lepas pantai sebagai titik mula. Nama program PTPIN mencerminkan dua pembangunan. Pertama, pengertian bahwa proyek ini adalah kepentingan nasional yang berarti bahwa proyek ini bukan hanya milik Jakarta tetapi juga wilayah disekitarnya sehingga tindakan penanganan di wilayah hulu dan daerah sekitar juga diikutsertakan dalam strategi. Kedua, wawasan bahwa proyek sebesar ini akan memiliki dampak yang cukup positif dan juga negatif terhadap wilayah pesisir, yang menciptakan kebutuhan untuk pengembangan terpadu daripada hanya pendekatan secara sipil teknis.

Dalam menyusun manterplan NCICD itu pemerintah pusat dan pemerintah DKI bekerjasama dengan Belanda. Masterplan NCICD itu telah diserahkan oleh Menteri Belanda Melanie Schultz van Haegen kepada Menteri Pekerjaan Umum Indonesia Djoko Kirmanto. Menurut Menteri PU kala itu (2014), total investasi utnuk NCICD diperkirakan USD 24,7 miliar atau sekitar Rp 300 triliun.

Rancangan gambar mega proyek NCICD terlihat dalam tiga gambar berikut. Tahap I merupakan proyek pengembangan kawasan pantai utara Jakarta seluas 5100 Ha lebih melalui pembangunan 17 pulau reklamasi yang akan terbagi dalam tiga kawasan:

  1. Pemukiman dengan intensitas sedang, kegiatan rekreasi dan komersial terbatas (bagian barat);
  2. Pusat perdagangan jasa skala internasional, pusat rekreasi/wisata dan pemukiman dengan intensitas tinggi (bagian tengah);
  3. Pusat distribusi barang, pelabuhan, industri, pergudangan, serta pemukiman dengan intensitas rendah sebagai penunjang (bagian timur).

Untuk membangun 17 pulau buatan itu, jutaan meter kubik pasir akan dikeruk untuk menimu laut membuat 17 pulau buatan. Pulau-pulau itu merupakan bagian dari rencana pengembangan kawasan mandiri terpadu, yang terdiri atas pusat niaga, permukiman, dan pariwisata di Jakarta. Konstruksi fisik pulau diperkirakan memakan waktu 1-2 tahun, sedangkan pengembangan menjadi kawasan yang lengkap dengan permukiman, gedung, jalan, dan infrastruktur lain selesai tahun 2030. “Secara keseluruhan, program NCICD itu nantinya meliputi reklamasi pantai, pengembangan kota baru Jakarta, giant sea wall, pengembangan pelabuhan, pengerukan sungai, dan pembuatan waduk,” kata Kepala Subdirektorat Perkotaan Ditjen Tata Ruang Kementerian Pekerjaan Umum (PU) Eko Budi Kurniawan di Jakarta, pada Juli 2014.

Dia mengatakan, pengembangan lahan di atas laut (reklamasi) bagi Provinsi DKI Jakarta sangat penting. Selain untuk pembangunan kota baru Jakarta yang kini sudah terbatas lahannya, reklamasi berfungsi menahan rob atau banjir besar yang datang dari laut. Aneka infrastruktur baru juga dapat dibangun, mulai dari pelabuhan dalam atau deep sea port, penampung air, bahkan bandara. Sedangkan wilayah Jakarta Selatan dijadikan kawasan konversi.

Reklamasi 17 Pulau Buatan di Teluk Jakarta

Reklamasi kawasan utara Jakarta sudah mulai dilakukan sejak dekade 80-an. Perkembangan reklamasi pesisir utara Jakarta itu sejak awal hingga sekarang melalui banyak liku-liku. Liku-liku reklamasi pesisir utara Jakarta itu sebagai berikut:

  • Tahun 80-an, PT Harapan Indah mereklamasi kawasan Pantai Pluit selebar 400 meter dan membangun kompleks mewah Pantai Mutiara.
  • Tahun 1981, PT Pembangunan Jaya mereklamasi kawasan Ancol sisi utara untuk kawasan industri dan rekreasi.
  • Tahun 1991, hutan bakau Kapuk direklamasi dan dibuat kompleks mewah Pantai Indah Kapuk.
  • Tahun 1995, reklamasi untuk Kawasan Berikat Marunda.
  • Keempat reklamasi itu menimbulkan perdebatan. Reklamasi Pantai Pluit dituduh mengganggu sistem PLTU Muara Karang sebab menyebabkan perubahan pola arus laut di areal reklamasi Pantai Mutiara yang berdampak terhadap mekanisme arus pendinginan PLTU. Tenggelamnya sejumlah pulau di perairan Kepulauan Seribu diduga akibat dari pengambilan pasir laut untuk menimbun areal reklamasi Ancol. Namun, dampak negatif tersebut tidak diindahkan dan reklamasi terus berlanjut. Wiyogo Atmodarminto, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, menyatakan reklamasi ke utara Jakarta dipilih karena perluasan ke arah selatan sudah tidak mungkin.
  • Maret 1995, rencana reklamasi 2.700 hektar di teluk Jakarta pertama kali dipaparkan di depan Presiden Soeharto. Selain untuk mengatasi kelangkaan lahan di Jakarta, proyek reklamasi juga untuk mengembangkan wilayah Jakarta Utara yang tertinggal dibandingkan empat wilayah lain.
  • Tahun 1995, disahkan Kepres No. 52/1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995. Namun, dua aturan ini “menabrak” Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Di dalam dokumen RUTR tersebut tidak disebutkan mengenai rencana reklamasi.
  • Tahun 1996, dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur DKI No. 1090 Th. 1996 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengendali Reklamasi Panturan Jakarta
  • Tahun 1997, dikeluarkan Keputusan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas No. Kep.920/KET/10/1997 tentang Pedoman Penataan Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta.
  • Tahun 1998 keluar Surat Keputusan Gubernur DKI No. 220 Th. 1998 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pelaksana Reklamasi Pantura Jakarta
  • Tahun 1999 disahkan Perda DKI No. 6 Th. 1999 tentang Rencan Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta.
  • Tahun 2000 dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 138 Th. 2000 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Reklamasi Pantau Utara Jakarta.
  • Tahun 2003, Kementerian Lingkungan Hidup menyatakan, proyek reklamasi tidak bisa dilakukan karena Pemprov DKI tidak mampu memenuhi kaidah penataan ruang dan ketersediaan teknologi pengendali dampak lingkungan. Dikeluarkan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara.
  • Tahun 2007, enam pengembang yang mendapat hak reklamasi menggugat Menteri Lingkungan Hidup ke PTUN. Mereka beralasan sudah melengkapi semua persyaratan untuk reklamasi, termasuk izin amdal regional dan berbagai izin lain. PTUN memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
  • KLH mengajukan banding, tapi PTUN tetap memenangkan gugatan keenam perusahaan tersebut.
  • Perpres No. 54 Th. 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jabodetabekpunjur.
  • KLH mengajukan kasasi ke MA. Pada 28 Juli 2009, MA memutuskan mengabulkan kasasi tersebut dan menyatakan, reklamasi menyalahi amdal.
  • Tahun 2011, MA mengeluarkan putusan baru (No 12/PK/TUN/2011) menyatakan, reklamasi di Pantai Jakarta legal. Namun, untuk melaksanakan reklamasi, Pemprov DKI Jakarta harus membuat kajian amdal baru untuk memperbarui amdal yang diajukan tahun 2003. Juga dengan pembuatan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) melibatkan pemda di sekitar teluk Jakarta.
  • Rencana reklamasi yang terhadang berbagai aturan menjadi mulus saat Presiden SBY menerbitkan Perpres No. 122 Th. 2012 mengenai reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Perpres itu menyetujui pengaplingan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Jakarta.
  • Pada Desember 2014, dikeluarkan Surat Keputusan Gubernur DKI No. 2238 Th. 2013 dan diberikan izin reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra anak perusahaan PT Agung Podomoro Land Tbk.
  • Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menilai, kebijakan tersebut melanggar karena kewenangan memberikan izin di area laut strategis berada di tangan KKP meski lokasinya ada di wilayah DKI Jakarta. Kementerian Koordinator Kemaritiman juga meminta pengembang dan Pemprov DKI Jakarta membuat kajian ilmiah rencana reklamasi Pulau G di Jakarta Utara. Kajian ilmiah itu perlu dijelaskan kepada publik agar publik tahu detail perencanaan dan bisa mengawasi proyek reklamasi.
  • Akhir September 2015, KKP mengkaji penghentian sementara (moratorium) reklamasi. Reklamasi diusulkan hanya untuk pelabuhan, bandara, dan listrik. Di luar itu tidak boleh ada reklamasi untuk hotel, apartemen, mal, dan sebagainya.
  • Tapi Pemprov DKI pada akhir Oktober 2015, malah mulai mempersiapkan tahap awal pengembangan pulau-pulau reklamasi. Pulau O, P, dan Q akan diintegrasikan dengan Pulau N untuk pembangunan Port of Jakarta.

rencana reklamasi pantai utara jakarta rencana reklamasi pantai utara jakarta2

Sampai saat ini pembuatan 17 pulau buatan dengan mereklamasi pesisir utara Jakarta itu telah dikapling-kapling. PT Kapuk Naga Indah anak perusahaan PT Agung Sedayu Gorup mendapat kapling pulau A, B, C, D dan E dengan total luas 1.331 ha. PT Jakarta Propertindo mendapat kapling pulau F dan O dengan total luas 570 ha. PT Pembangunan Jaya Ancol secara sendiri mendapat kapling pulau J dan K dengan total 348 ha. PT Muara Wisesa Samudra anak perusahaan PT Agung Podomoro Land Tbk mendapat kapling pulau G dengan luas 161 ha yang akan dikembangkan menjadi kawasan terpadu Pluit City. PT Taman Harapan Indah anak usaha PT Inti Land mendapat kapling pulau H dengan luas 63 ha. PT KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Marunda mendapat kapling pulau P dan Q dengan total 832 ha. Pulau N dikapling untuk PT Pelindo II dengan luas 411 ha. Sementara pulau L dikapling untuk PT Pembangunan Jaya Ancol bersama PT Manggala Krida Yudha dengan luas 481 ha. Pulau M dikapling untuk PT Manggala Krida Yudha dan PT Pelindo II dengan luas 587 ha. Total 17 pulau buatan itu nantinya lebih dari 5.100 ha. Daftar reklamasi 17 pulau buatan itu terlihat dalam tabel berikut:

 

Perusahaan Yang Terlibat Reklamasi di Teluk Jakarta
Pulau Pengembang Luas (Ha) Status
A PT Kapuk Naga Indah anak perusahaan Agung Sedayu Grup 79 Izin Prinsip
B PT Kapuk Naga Indah 380 Izin Prinsip
C PT Kapuk Naga Indah 276 Izin Pelaksanaan
D PT Kapuk Naga Indah 312 Izin Pelaksanaan
E PT Kapuk Naga Indah 284 Izin Pelaksanaan
F PT Jakarta Propertindo 190 Izin Pelaksanaan
G PT Muara Wisesa Samudra anak usaha Agung Podomoro Land (APL) Tbk 162 Izin Pelaksanaan
H PT Taman Harapan Indah anak usaha PT Inti Land Development 63 Izin Pelaksanaan
I PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk dan PT Jaladri Eka Pasti 405 Izin Pelaksanaan
J PT Pembangunan Jaya Ancol 316 Izin Prinsip
K PT Pembangunan Jaya Ancol 32 Izin Pelaksanaan
L PT Pembangunan Jaya Ancol dan PT Manggala Krida Yudha 481 Izin Prinsip
M PT Manggala Krida Yudha dan PT Pelindo II 587 Izin Prinsip
N PT Pelindo II 411 Izin Prinsip
O PT Jakarta Propertindo 344 Izin Prinsip
P PT KEK Marunda Jakarta 463 Izin Prinsip
Q PT KEK Marunda Jakarta 369 Izin Prinsip
 Total 5.154

 

 

Pro dan Kontra

Reklamasi pesisir utara Jakarta sejak pertama mucul sudah menimpulkan polemik. Ada pihak-pihak yang pro, terutama dari kalangan pengusaha. Ada banyak pihak yang kontra.

Mereka yang pro mendukung reklamasi diantara beralasan bahwa reklamasi itu:

  • Perlu untu menyelesaikan kelangkaan ruang dan lahan di Jakarta. Kawasan selatan Jakarta sudah tidak mungkin dikembangkan karena fungsinya sebagai daerah konservasi. Juga dengan wilayah timur dan barat yang sudah telanjur padat penduduk karena sejak 1985 pengembangan wilayah Jakarta sudah diarahkan ke timur dan barat.
  • Mendatangkan benefit ekonomi bagi Jakarta. Paling tidak akan menghasilkan pajak dan retribusi. Nanti diantaranya digunakan untuk subsidi silang memperbaiki kawasan kumuh.
  • Reklamasi berupa pulau akan memperlancar aliran banjir ke laut, berfungsi sebagai bendungan untuk menahan kenaikan permukaan air laut, dan sebagai sumber air bersih Jakarta Utara.
  • Reklamasi akan memecah gelombang dan mengurangi risiko abrasi.

 

Sementara itu, pendapat yang kontra reklamasi juga didukung oleh banyak argumentasi. Diantara argumentasi itu adalah:

  • Reklamasi akan berdampak negatif pada lingkungan. Sebut saja akan mengakibatkan ekosistem pesisir terancam punah.
  • Kehancuran terjadi akibat hilangnya berbagai jenis pohon bakau di Muara Angke, punahnya ribuan jenis ikan, kerang, kepiting, dan berbagai keanekaragaman hayati lain.
  • Reklamasi akan memperparah potensi banjir di Jakarta karena mengubah bentang alam (geomorfologi) dan aliran air (hidrologi) di kawasan Jakarta Utara. Perubahan itu antara lain berupa tingkat kelandaian, komposisi sedimen sungai, pola pasang surut, pola arus laut sepanjang pantai, dan merusak kawasan tata air.
  • Reklamasi juga berdampak pada masalah sosial, seperti pada kehidupan nelayan Jakarta Utara. Reklamasi pantura Jakarta diyakini menyebabkan 125.000 nelayan tergusur dari sumber kehidupannya dan menyebabkan nelayan yang sudah miskin menjadi semakin miskin.
  • Pada 2003, KLH menolak reklamasi Teluk Jakarta dengan pertimbangan: reklamasi mengancam keragaman hayati, asal tanah reklamasi tak jelas (kala itu, pemerintah Jakarta tak bisa menjelaskan asal tanah dari mana). Lalu, ada PLTU, bagaimana desain penanganan masalah air (tak ada jawaban darimana asal air tawar), dan reklamasi bisa perluas banjir Jakarta. Kala itu, rencana reklamasi sepanjang 30 km x 1 km.

Reklamasi diyakini akan mendatangkan banyak masalah, dan tidak akan bisa menyelesaikan masalah yang dihadapi kota seperti Jakarta. Para akademisi meyakini jika rumah-rumah atau bangunan lainnya yang dibangun di pinggir laut akan memiliki risiko besar pada 30 tahun mendatang. “Peningkatan level air laut secara signifikan berdampak pada pemilik properti di sepanjang pinggir laut,” kata Redaktur The Fifth Estate, Tina Perinotto, saat memberikan kuliah tentang kerentanan pantai pada kenaikan permukaan laut di Universitas Sydney, Australia.

Para peneliti di Dewan Iklim Dunia menyatakan kenaikan level air laut pada 2030 adalah sebesar 0,2 meter. Angka ini terus meningkat menjadi 0,5 meter, 0,8 meter, dan 1,1 meter pada abad 22 atau tahun 2100 serta tidak menutup kemungkinan kenaikan yang terjadi mencapai 1,5 meter.

Menurut pengamat perkotaan sekaligus pendiri Ruang Jakarta, Marco Kusumawijaya, pilihan reklamasi untuk mengatasi kelangkaan lahan dinilai sebagai representasi kemalasan pemerintah memperbaiki kota yang ada. Reklamasi juga dipandang sebagai kesalahan berpikir tentang perlunya ekspansi horisontal tata ruang wilayah.

Menurutnya, bukan reklamasi yang ditempuh untuk memperbaiki dan memperluas ruang hidup bagi Jakarta, Bali, dan Makassar. Yang diperlukan sebaliknya yakni meningkatkan kepadatan dan kualitas kawasan kota yang ada dengan infrastruktur yang lebih mencukupi dan baik. Harusnya berpikir jangka panjang demi ekologis, dan untuk itu justru harus intensifkan lahan (kawasan) kota yang ada, bukan ekspansi horisontal.

Pada prinsipnya, yang diperlukan adalah ruang, bukan tanah. Yakni ruang yang dilayani infrastruktur yang baik. Yang diperlukan adalah kota yang efisien, produktif dan berkualitas. Tapi hal itu tidak boleh diartikulasikan sebagai ekspansi horisontal. Mestinya hal itu bisa dilakukan dengan intensifikasi ruang.

Reklamasi juga cenderung menjual lahan dengan marjin keuntungan yang besar sekali, sehingga akan mendongkrak spekulasi harga lahan di dalam kota menjadi makin tidak terjangkau oleh kelas menengah yang sedang tumbuh.

Karena potensi kerusakan akibat reklamasi begitu besar, baik kerusakan alam, kemaritiman, dan sosial maka reklamasi untuk keperluan infrastruktur seperti pelabuhan laut dan bandara pun perlu dirasionalisasi agar sekecil mungkin, bukan sebesar mungkin. Jadi yang harus besar adalah kapasitas, bukan luas. Banyak pelabuhan dan bandara di dunia yang kompak tapi kapasitasnya tinggi, bukan karena luas, tapi karena tata ruang, manajemen dan teknologi yang baik.

Kepentingan Kapitalis dan Kelas Berkantong Tebal

Sejak 1995, proyek NCICD yang juga mencakup reklamasi 17 pulau di teluk Jakarta mengalami beberapa kali perubahan nama atau bisa disebut perubahan bungkus. Di bungkus terakhir, pengemasan ditambahkan bumbu bencana dan membangun imajinasi, juga kecemasan, tentang Jakarta yang akan tenggelam bila tidak membangun tanggul raksasa/dinding laut di lepas pantai Jakarta termasuk pentingnya reklamasi 17 pulau buatan.

Pendekatan proyek dengan membubuhkan aspek bahaya akan bencana, mengingatkan akan teori Disaster Capitalism atau Kapitalisme Bencana yang digagas oleh Naomi Klein. Menurut teori ini, pemahaman akan datangnya bencana atau krisis baik bencana alam, terorisme, krisis politik (kudeta), dll digaungkan sedemikan rupa sehingga membuat masyarakat panik, khawatir yang akhirnya “memberikan ruang” masuknya modal atau dalam hal ini proyek untuk “mengatasi” kecemasan tersebut.

Pertanyaannya, untuk kepentingan siapa sebenarnya proyek itu? Benarkah untuk kepentingan rakyat? Atau kepentingan rakyat hanya diperalat untuk kepentingan kapitalis?

Alasan untuk menyediakan lahan karena sudah tidak mungkin perluasan lahan di darat tidak sepenuhnya benar, atau lebih tepat alasan keterbatasan lahan itu diperalat. Menurut Ketua Umum Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP) Bernardus Djonoputro, reklamasi di Singapura, Dubai, dan New York memang untuk penyediaan lahan karena dipicu keterbatasan ruang di darat” (Kompas.com, 4/4/2016).  Tapi menurutnya, bagi Jakarta reklamasi lebih didorong karena anggapan ongkos pembangunan di laut lebih murah. Daripada menciptakan ruang pembangunan baru di daratan yang jauh lebih mahal akibat terlalu birokratis, harga tanah tak terkendali, serta banyak masalah sosial seperti kawasan kumuh dan penghuni liar.

Reklamasi membangun pulau buatan dianggap sebagai jalan keluar pengembangan baru di Jakarta. Reklamasi itu untuk mengatasi ketersediaan lahan kosong di darat sudah sangat terbatas. Lahan yang tersisa di daratan ini dipatok dengan harga selangit. Contohnya, lahan di kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Saat ini sudah menyentuh angka Rp 80 juta hingga Rp 120 juta per meter persegi. Lahan di Central Business District (CBD) Sudirman malah lebih tinggi yakni Rp 150 juta hingga Rp 200 juta per meter persegi.

Reklamasi lantas dijadikan opsi yang dinilai menarik dan menjadi pilihan para pengembang. Apalagi properti hasi reklamasi dianggap pilihan menarik karena properti di tepi pantai banyak peminatnya. Yang jelas, reklamasi untuk mengembangka kawasan hunian mewah, kawasan bisnis terpadu, kawasan rekreasi dan properti lainnya akan bisa mendatangkan keuntungan yang lebih besar dibanding pengembangan kawasan serupa di daratan, tetapi dengan tingkat kesulitan, tingkat kerumitan dan potensi masalah yang dianggap lebih kecil.

Namun pembangunan lahan di atas laut tidaklah murah. Untuk membangun satu meter kubik dibutuhkan dana sekitar Rp 4 juta. Executive Marketing Director PT Muara Wisesa Samudra, Matius Jusuf, memperkirakan, harga lahan rekayasa sekitar Rp 10 juta per meter kubik dengan kedalaman 7,5 meter.

Dengan ongkos produksi setinggi itu, dapat dipastikan harga properti yang ditawarkan pun sangat tinggi. Bisa menembus angka belasan hingga puluhan juta rupiah per meter persegi. Tapi seperti diakui oleh Vice President Director and Chief Operating Officer Jakarta PT Intiland Development Tbk, Suhendro Prabowo, potensi mendapat keuntungan berlipat dari menjual properti di lahan reklamasi, lebih besar ketimbang lahan daratan.

Dengan iming-iming fasilitas legkap termasuk central bussines distric, lokasi tepi pantai, ada fasilitas dermaga mini untuk tempat berlabuh speed boat di sebagiannya dan lainnya, harga jual properti di pulau buatan hasil reklamasi akan sangat tinggi. Harga rumah Jaya Ancol Seafront yang dikembangkan oleh PT Pembangunan Jaya Ancol Tbk berkolaborasi dengan PT Jaya Real Property Tbk pada rentang Rp 5 miliar untuk ukuran 8 x 18 meter dan Rp 6,4 miliar untuk ukuran 9 x 25 meter. Sementara Pluit City yang dikembangkan PT Muara Wisesa Samudra anak usaha PT Agung Podomoro Land Tbk, dijual sekitar Rp 1 miliar untuk unit apartemen, Rp 3 miliar hingga Rp 4 miliar untuk rumah, dan ruko Rp 4 miliar ke atas. Karena itu, Matius Jusuf mengatakan, hanya orang-orang kaya dan berkocek teballah yang bisa membeli properti di atas lahan reklamasi itu.

Dari itu, terlihat jelas bahwa yang paling diuntungkan dari proyek reklamasi itu adalah para pengembangnya. Sebab bisa mendapatkan keuntungan sangat tinggi dibanding jika mengembangkan di daratan terutama di kawasan pusat bisnis. Berbagai fasilitas hasil reklamasi juga lebih banyak dinikmati oleh kalangan berkocek tebal, bukan oleh kelas menengah yang sedang tumbuh sekalipun, apalagi rakyat kebanyakan.

Namun di sisi lain, ketika manfaat untuk rakyat kebanyaka masih dipertanyakan, yang pasti sebagian dari rakyat khususnya para nelayan telah terkena dampak negatif dari reklamasi. Begitu pula masyarakat di kawasan dekat pantai seperti yang dialami oleh masyarakat yang dekat dengan pantai utara Jakarta.

Sarat Persekongkolan

Reklamasi itu sepenuhnya tergantung perizinan, tidak mengandung kerepotan berurusan dengan kemajemukan kepemilikan lahan, tidak menghadapi kerumitan mafia broker penyeda lahan, tidak berhadapan dengan masalah sosial yang kompleks dan sebagainya dibanding pengembangan kawasan serupa di daratan. Karena itu faktor kuncinya adalah perizinan dan aspek legal peraturan perundangan. Dengan potensi keuntungan sedemikian besar, maka perizinan dan aspek legal perundangan itu harus keluar dengan cara apapun dan biaya berapapun, toh tetap akan bisa dikover dengan harga properti yang sangat tinggi nantinya.

Di sisi lain, para pembuat kebijakan dan legislator, dalam sistem politik biaya tinggi seperti yang ada, mereka perlu biaya politik yang besar. “Produk” yang dimiliki pajabat dan legislator tidak lain adalah kebijakan dan peraturan. Dalam hal itu, kepentingan kapitalis bisa langsung bersambut dengan kepentingan politisi dan pejabat. Karenanya, dalam proyek-proyek besar dengan keuntungan menggiurkan seperti mega proyek reklamasi ini, peluang terjadinya perdagangan kebijakan dan peraturan menjadi besar. Disitulah, terjadinya suap, korupsi, kolusi dan persekongkolan bisa dicium aromanya sejak awal. Dari situ bisa tergambar bahwa proyek reklamasi mengandung potensi korupsi, kolusi dan nepotisme yang besar.

Tertangkapnya M. Sanusi, ditersangkakannya Presiden Direktur Agung Podomoro Land Tbk Ariesman Widjaja karena suap serta pencekalan Aguan dan Suny Tanuwidjaya, hanyalah mengkonfirmasi aroma tak sedap yang sudah menyeruak sejak awal itu. Sangat mungkin, itu barulah simpul kecil dalam suap dan kolusi terkait reklamasi 17 pulau buatan itu. Sanusi sudah menyebut 17 orang dari anggota dewan yang ikut menikmati.   Sementara keterlibatan pejabat dari eksekutif juga tidak bisa dihilangkan. Apalagi Suny Tanuwidjaya yang merupakan staf khusus Gubernur DKI Ahok, disebut-sebut sebagai operator lapangan sekaligus penghubung antara perusahaan dengan eksekutif.

Karena itu tidak berlebihan apa yang disebutkan oleh Diektur Walhi Jakarta Zaenal Muttaqien. Ia menyebutkan bahwa tertangkapnya anggota DPRD DKI Jakarta dan bos pengusaha Agung Podomoro Land (APLN) mengindikasikan proyek reklamasi sarat korupsi (Kompas.com, 1/4/2016).

KPK menyebut korupsi reklamasi itu sebagai grand corruption. Hal itu karena menyangkut kebijakan publik. Menurut Wakil Ketua KPK Laode M Syarief, kasus ini menjadi contoh yang tepat menggambarkan grand corruption itu terjadi. Ia mengatakan, “Bisa dibayangkan bagaimana kalau semua kebijakan publik dibikin bukan berdasarkan kepentingan rakyat banyak, tetapi hanya untuk mengakomodasi kepentingan orang tertentu atau korparasi tertentu.”

Dari segi regulasi pun, proyek reklamasi di Pantura menyalahi peraturan, antara lain undang-undang soal lingkungan hidup dan pengelolaan wilayah pesisir. Namun, pembangunan kawasan tersebut seolah dipaksakan meski mendapat penolakan. Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan, pihak swasta maupun legislasi yang terlibat dalam perkara ini jelas-jelas mengabaikan kepentingan yang lebih besar. “Dalam kasus ini terlihat bagaimana pengusaha memengaruhi Pemda dan pembuat UU tanpa menghiraukan kepentingan rakyat yang lebih besar, terutama yang berkaitan dengan lingkungan. Dari data yang kami dapat, kelihatannya amdalnya belum diselesaikan dengan baik,” ujarnya (Kompas.com, 1/4/2016).

Kenyataan ini menunjukkan kalau dalam sistem demokrasi-liberal, penguasa dan pengusaha bisa melakukan pat gulipat. Pengusaha dengan modal besar bisa merayu pejabat untuk mengeluarkan berbagai izin proyek yang sebenarnya ilegal dan merugikan masyarakat.

Apalagi menjelang pilkada gubernur DKI yang bernilai strategis pastinya dibutuhkan dukungan dan dana besar. Untuk itu para kandidat bisa saja memanfaatkan kedekatan hubungan dengan para pengusaha dan cukong politik untuk memenangkan pertarungan nanti, dengan cara melakukan deal-deal politik.

Begitulah dalam demokrasi, semua bisa diatur. Dalam sistem politik demokrasi yang sarat biaya terjadilah praktik perdagangan kebijakan dan peraturan yang tidak mungkin terjadi kecuali melibatkan pengusaha dan penguasa, pejabat dan politisi. Ini secara telanjang menunjukkan bobroknya demokrasi. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. [YA – LS DPP HTI]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*