Pemuda Muslim di Asia Tenggara: Pergulatan Identitas di Era Kapitalisme Digital
Dengan lebih dari 60% populasi di bawah 40 tahun, kawasan ASEAN adalah pasar yang sangat menarik bagi investasi asing, seperti kata Menteri Perdagangan Internasional dan Industri Malaysia – Datuk Seri Mustapa Mohamed dalam forum the First ASEAN Malaysia Young Entrepreneurs Forum Januari 2015 yang lalu. Ia menandaskan ASEAN adalah youthful market karena negara-negaranya memiliki penduduk usia muda yang berlimpah.
Ucapan Menteri Malaysia itu bukanlah pepesan kosong, negeri-negeri Muslim Asia Tenggara menyimpan potensi luar biasa akan jumlah kaum mudanya. Di Malaysia kaum mudanya mencapai 43 persen dari total penduduknya atau sebesar 13 juta jiwa. Sementara di Indonesia – negeri Muslim terbesar – untuk data tahun 2010 saja sudah mencapai 158 juta jiwa atau 66,5 persen dari total penduduknya, bahkan Indonesia diprediksi mendapatkan puncak bonus demografi ini pada 2020—2030 yakni komposisi penduduk usia produktif yang besar hingga mencapai 70 persen.
Dengan populasi ASEAN di kisaran 628 juta dan sekitar 40 persen dari populasi merupakan generasi muda yang akrab digital, potensi luar biasa ini tentu saja dibaca sebagai pasar yang sangat menggiurkan oleh para pelaku ekonomi kapitalis. Apalagi generasi muda sekarang digelari sebagai generasi milenial karena mereka lahir tumbuh dalam lingkungan serba digital – yang menjadikan mereka sebagai pasar yang sangat besar bagi perdagangan online terutama setelah diberlakukannya Masyarakat Ekonomi ASEAN sejak Desember 2015 lalu.
Digitalisasi Pasar Bebas
Melalui Masyarakat Ekonomi ASEAN, Kapitalisme Timur (China dan Jepang) bersama Kapitalisme Barat (Amerika dan Eropa) berlomba-lomba menguasai ekonomi ASEAN dan menargetkan kaum mudanya sebagai pasar. Mereka jeli memanfaatkan segala sarana dan menangkap peluang pasar, salah satunya adalah melakukan digitalisasi melalui teknologi informasi yang saat ini kian dikenal dengan istilah ekonomi digital – cara baru untuk menembus pasar secara online dengan melewati batas-batas negara.
Dengan statistik pengguna internet di Asia Tenggara sebesar 252 juta dan pengguna sosial media 232 juta[1]meniscayakan transaksi perdagangan bebas secara masif tidak hanya terjadi secara langsung tetapi juga secara online melalui media sosial. Fungsi media sosial yang sebelumnya hanya menjadi arena komunikasi virtual saat ini juga menjadi arena jual beli berbagai kebutuhan baik barang maupun jasa, tidak heran jika transaksi e-commerce melalui aplikasi hari ini kian menjadi primadona. Pertanyaannya adalah siapakah konsumen utamanya? Tidak lain adalah kaum muda karena mereka adalah kelompok yang paling melek teknologi dan paling punya akses terhadap cepatnya arus informasi di internet.
Beberapa pertemuan tingkat tinggi sebelum dan sesudah peluncuran MEA menjadi indikasi kuat dari kontestasi kekuatan Kapitalisme Barat dan Timur dalam melakukan digitalisasi pasar bebas ASEAN, contoh yang paling menonjol adalah pertemuan ASEAN-US Summit Februari 2016 di California dimana para pemimpin negeri Muslim ASEAN dipertemukan Obama dengan tiga CEO raksasa ekonomi digital di AS, yakni CEO Microsoft Satya Nadella, CEO IBM Ginni Rometty, dan CEO CISCO Chuck Robbins yang mempromosikan arti penting kemitraan ekonomi digital dengan negeri-negeri Muslim.[2] Sementara di sisi lain Kapitalisme Timur khususnya China juga secara agresif menyapu bersih proyek infrastruktur di Asia Tenggara khususnya Indonesia dimana di sela-sela Konferensi Asia Afrika tahun lalu China menyepakati akan berinvestasi dalam membangun 24 pelabuhan, 15 bandar udara, pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer (km), pembangunan jalan kereta api sepanjang 8.700 km, serta pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 megawatt (MW).
Walhasil, melalui digitalisasi pasar bebas, lebih dari 160 juta kaum Muda Muslim di Asia Tenggara terus dikepung oleh kekuatan Kapitalisme Barat dan Timur. Dua kekuatan Kapitalis itu seolah sedang bersaing, namun yang terjadi sebenarnya mereka saling melengkapi dalam hegemoni pasar bebas agar kawasan ASEAN semakin memiliki konektivitas baik secara online maupun infrastruktur fisiknya sehingga mereka akan semakin mampu memenangkan hati, pikiran dan keberpihakan dari para pemuda Muslim di kawasan ini.
Sekulerisasi Digital Kaum Muda
”Setiap 60 detik, terdapat sekitar 700000 pencarian di Google, 695000 status baru di Facebook, 98000 status twitter, 1500 tulisan blog, 600 lebih video diunggah ke Youtube, dan statistik mencengangkan lainnya” – Go-Globe.com
Informasi mengalir dengan sangat deras di masa serba internet seperti sekarang. Begitu banyak yang dapat kita lihat, baca, dan dengar di internet. Statistik ketersediaan informasi sangat mencengangkan, setiap harinya kita banyak menerima aliran informasi yang sayangnya sebagian besar belum tentu bermanfaat dan relevan dengan kebutuhan kita. Arus ini seperti gaung kebisingan dalam intensitas tinggi yang akan menyapu bersih hati dan pikiran kaum muda Muslim, sehingga dapat melumpuhkan “saraf berfikir dan bertindak” menyibukkan mereka dengan hanya sekedar like, share, atau komentar singkat tak berisi dalam menanggapi suatu isu. Padahal potensi generasi muda jauh lebih besar dari itu.
Yang lebih mengerikan lagi, banjir informasi akibat agenda setting Barat ini telah menyingkirkan kedudukan tsaqofah Islam sebagai ‘informasi mulia dan penting” bagi generasi mudalalu menggantinya dengan nilai sekuler dan tsaqofah barat, di saat yang sama arus tsunami informasi ini juga telahmensejajarkan kedudukan ilmu yang bermanfaat dengan gosip murahan, iklan produk dan informasi gaya hidup yang tidak berharga lainnya.
Inilah arus sekulerisasi digital yang berlindung dibawah payung ekonomi digital dan semakin mendapat tempat saat MEA berlaku di Asia Tenggara. Arus ini bahkan difasilitasi oleh penguasa Muslim sendiri dengan berkomitmen dalam penyebaran nilai-nilai Barat melalui media digital. Seperti nampak dalam kunjungan Presiden Indonesia – Jokowi ke Silicon Valley Februari 2016 lalu, Jokowi memuji peran penting Twitter dalam demokrasi digital. Kepada CEO Twitter Jokowi mengatakan “Saya sambut baik peran Twitter sebagai salah satu platform media penting dunia yang menyebarkan berbagai nilai positif bagi masyarakat seperti nilai demokrasi dan good governance”. Sementara di kantor Facebook, Jokowi mengajak CEO Facebook, Mark Zuckerberg, untuk mendukung program Empowering Leaders of Peace through Digital Platform yang digagas Jokowi.[3]
Arus yang lebih ekstrim bahayanya adalah promosi nilai-nilai kebebasan seperti LGBT oleh para raksasa digital yang jelas berdampak destruktif pada generasi muda Muslim karena akan membawa generasi umat manusia pada ambang kepunahan, menyebarkan wabah penyakit dan mengakibatkan depopulasi manusia. Promosi gaya hidup merusak seperti ini terus dibackingi kekuatan arus informasi dan ekonomi digital seperti Facebook, Google, Instagram, Apple, Microsoft, dan deretan korporasi kapitalis lainnya.
Penyebaran nilai-nilai sekuler secara digital ini semakin massif sejak MEA diberlakukan, dan kekhawatiran ini juga dirasakan oleh Zulkifli Hasan – ketua MPR di Indonesia – yang diungkapnya ke media Februari 2016 lalu bahwa berlakunya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan membawa dampak yang sangat luas bagi bangsa Indonesia. Bukan hanya dalam bidang ekonomi saja, tetapi juga sektor politik, sosial dan budaya. “Karena itu, bangsa Indonesia harus sangat hati-hati terhadap kemungkinan masuknya nilai-nilai dari luar, yang akan turut menyerbu Indonesia, bersamaan bebasnya faktor-faktor ekonomi yang masuk ke Indonesia,” ujarnya.
Kekhawatiran ini wajar karena saat iniarus sekulerisasi digital telah bersimbiosis dengan rezim perdagangan bebas dimana keduanya sama-sama menggilai pertumbuhan ekonomi yang akan memperlakukan generasi muda Muslim tidak lebih seperti mesin ekonomi penghasil uang, melumpuhkan saraf berfikir dan idealisme mereka dan membuat mereka menjauh dari agama mereka. Simbiosis ini juga berpadu dengan program deradikalisasi intensif yang fokus pada anak-anak dan kaum muda Muslim ditambah sekularisasi kurikulum pendidikan dan sekolah, regulasi madrasah serta budaya liberal yang mengagung-agungkan budaya Barat sekaligus mengikis nilai-nilai Islam. Krisis identitas dan krisis iman akhirnya ditumbuhkembangkan diantara banyak anak muda Muslim, menjadikan mereka terpikat dengan gaya hidup dan sistem liberal Barat sehingga membentuk pikiran, kecenderungan, aspirasi, dan kesetiaan mereka di atasnya.
Pemuda Muslim dan Literasi Ideologi
Tantangan sekulerisasi digital yang mengakibatkan krisis identitas dan krisis iman pada jutaan pemuda Muslim di dunia Islam termasuk Asia Tenggara harus dijawab dari hal yang paling mendasar, yakni bagaimana membangun identitas yang kuat dalam diri pemuda Muslim. Kita ketahui Barat selalu ingin merebut keberpihakan pemuda Muslim, jikapun mereka gagal setidaknya mereka telah melumpuhkan idealisme kaum Muda hingga membuang waktu dan masa muda mereka dengan banyak hal yang merusak.
Perlu dilakukan upaya “dakwah digital” yang intensif, pada kalangan kaum muda untuk membangun identitas pada kaum muda agar kembali mengarahkan perhatian terbesarnya hanya kepada Islam dan umat Islam. Dakwah di abad informasi ini memerlukan kekuatan sudut pandang dan literasi informasi. Literasi informasi yang dilandasi oleh ideologi Islam akan membekali kaum muda dalam mencerna banyak informasi dan menilai banyak peristiwa dengan lensa Aqidah Islam. Arahkan pemuda Muslim agar fokus pada konsumsi informasi yang penting dan agung yakni tsaqofah Islam, berikutnya adalah ilmu yang bermanfaat, serta fakta problematika umat Islam. Dakwah digital ini juga harus bertarget membina pola pikir dan pola sikap generasi muda Muslim dengan Islam sehingga terbentuklah kepribadian Muslim yang kuat dan khas.
Politik media dalam Islam akan sejalan dengan dakwah Islam, kemajuan teknologi akan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya tujuan dakwah. Inilah ciri khas ideologi Islam yang tidak akan membiarkan kekuatan ekonomi korporasi memanfaatkan teknologi demi semata mengeksploitasi pasar namun mengabaikan terwujudnya masyarakat yang sehat serta generasi muda yang berkepribadian kuat dan berintegritas. Politik media dalam Islam akan mengadopsi strategi informasi yang spesifik untuk memaparkan Islam dengan pemaparan yang kuat dan membekas akan mampu menggerakkan akal manusia agar mengarahkan pandangannya pada Islam serta mempelajari dan memikirkan muatan-muatan Islam. Strategi ini akan membangun kesadaran politik yang kuat pada pemuda Muslim sehingga mampu memahami percaturan politik yang sebenarnya yang menimpa dirinya, lingkungannya dan umat Islam dengan kekuatan identitas Islam.
Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir oleh
Fika Komara
Anggota Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir
[1]berdasarkan riset We Are Social Singapura bulan November 2015https://www.techinasia.com/talk/digital-southeast-asia-q4-2015
[2]Tech giants tell ASEAN leaders to embrace AI technologyhttp://www.nst.com.my/news/2016/02/127813/tech-giants-tell-asean-leaders-embrace-ai-technology
[3]Indonesia Serius Kembangkan Ekonomi Digitalhttp://ksp.go.id/indonesia-serius-kembangkan-ekonomi-digital/