[Al-Islam edisi 805, 28 Rajab 1437 H – 6 Mei 2016 M]
Pada 27 Rajab berlangsung peristiwa besar Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad saw. Beliau menerima titah kewajiban shalat sekaligus dikukuhkan sebagai pemimpin seluruh umat manusia saat beliau dititahkan menjadi imam para nabi dan rasul terdahulu di Baitul Maqdis.
Pada bulan Rajab pula Allah SWT mempertemukan untuk pertama kalinya Nabi saw. dengan kaum Anshar. Jabir bin ‘Abdillah ra. menuturkan: Rasulullah saw. menawarkan dakwah kepada khalayak. Baginda mengatakan, “Adakah seseorang yang bisa membawaku kepada kaumnya karena kaum Quraisy telah menghalangiku untuk menyampaikan firman Tuhanku?” Ia (Jabir) berkata: Seorang laki-laki dari Bani Hamdan lalu mendatangi beliau. Dia berkata, “Aku.” Baginda bertanya, “Apakah kaummu mempunyai kekuatan?” Dia menjawab, “Iya.” Lalu beliau bertanya kepada dia, dari mana asalnya?” Dia menjawab, “Dari Bani Hamdan.” Laki-laki dari Bani Hamdan itu khawatir kaumnya akan menyerang beliau. Lalu dia pun mendatangi Rasulullah saw. dan berkata, “Aku akan datangi kaumku. Aku akan beritahu mereka, lalu aku akan menemui engkau tahun depan.” Beliau menjawab, “Baik.” Dia pun pergi. Lalu, delegasi Anshar pun tiba pada bulan Rajab.” (HR al-Hakim, al-Mustadrak, IX/497).
Pertemuan dengan kaum Anshar itu menjadi pintu kegemilangan umat Islam. Dengan nushrah (pertolongan) mereka, Daulah Islam pertama pun tegak di Madinah. Sejak itu berbagai kegemilangan ditorehkan umat Islam, di antaranya pada bulan Rajab, yaitu: Sariyah (Detasemen) Abdullah bin Jahsyi yang menjadi pembuka Perang Badar; Perang Tabuk; Futuhat (Penaklukan) Damaskus, kemenangan alam Perang Yarmuk, Futuhat Hirah Irak, pembebasan Baitul Maqdis dari pendudukan pasukan Salib pada 28 Rajab 583 H/2 Oktober 1187 M yang dipimpin Shalahuddin al-Ayyubi, pengepungan Wina-Austria oleh Khalifah Muhammad IV pada 28 Rajab 1094 H/14 Juni 1683 M, dsb.
Rangkaian kegemilangan sementara terhenti akibat bencana besar, yaitu saat Khilafah Utsmani diruntuhkan oleh Kemal Attaturk bersama Inggris dan Prancis pada 28 Rajab 1342 H/3 Maret 1924 M.
Keruntuhan Khilafah mengakibatkan berbagai keburukan menimpa umat Islam yang sebelumnya tidak mereka alami. Keruntuhan Khilafah juga menjadi pintu lebar bagi terjadinya berbagai kemaksiatan dan kemungkaran. Para ulama menggambarkan penghancuran Khilafah Islamiyah itu sebagai ummul jarâ’im (induk kejahatan).
Karena itu ketiadaan Khilafah harus diakhiri. Caranya tentu dengan menegakkan kembali Khilafah yang akan menerapkan kembali syariah Islam secara kâffah. Hal itu merupakan keniscayaan untuk mengakhiri berbagai problem dan keburukan serta untuk mengembalikan kejayaan dan kemuliaan ke tangan umat Islam.
Penegakan Khilafah Islamiyah juga menjadi tuntutan dari kondisi faktual dunia. Ideologi dan sistem sosialisme-komunisme telah tumbang dan ditinggalkan oleh umat manusia karena telah terbukti rusak, bobrok dan buruk. Ideologi dan sistem kapitalisme yang mendominasi dunia saat ini juga tengah limbung didera berbagai krisis yang tak kunjung terselesaikan. Sistem dan hukum buatan manusia tak lagi bisa memberi solusi dan harapan bagi umat manusia. Satu-satunya harapan bagi penyelesaian problem dunia tidak ada lagi selain penerapan syariah Islam di dalam sistem Khilafah Islam.
Khilafah: Kewajiban Syariah
Penerapan syariah dan penegakan kembali Khilafah Islamiyah merupakan kewajiban syariah. Sangat jelas dan gamblang, kita wajib berhukum dengan risalah yang diturunkan oleh Allah SWT (QS al-Maidah [5]: 48, 49). Al-Quran juga mewajibkan berbagai hukuman seperti qishâsh atas pembunuh (QS al-Baqarah [2]: 178), hukum potong tangan atas pencuri (QS al-Maidah [5]: 38), hukum cambuk atas pezina bukan muhshan (QS an-Nur [24]: 2), hukum-hukum jihad dan politik luar negeri dan sebagainya.
Semua perintah, hukum dan kewajiban tersebut tidak mungkin terlaksana secara sempurna tanpa ada Khilafah Islam. Karena itu tegaknya Khilafah Islam adalah wajib karena merupakan kunci bagi pelaksanaan semua perintah, hukum dan kewajiban itu secara sempurna (kâffah).
Urgensi Khilafah atau Imamah ini juga banyak ditegaskan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Hujjatul Islam al-Imam Abu Hamid al-Ghazali, misalnya, dalam kitabnya, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd (hal. 76) menyatakan:,“Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar…Agama itu pondasi, sedangkan kekuasaan itu adalah penjaga. Sesuatu yang tanpa pondasi akan roboh dan sesuatu yang tanpa penjaga akan hilang.” Beliau lalu mengatakan, “Karena itu kewajiban mengangkat imam (khalifah) termasuk urgensi syar’i yang tidak ada jalan untuk meninggalkannya…”
Bukan hanya urgen (mendesak) secara syar’i, mengangkat imam/khalifah, yakni menegakkan Khilafah, adalah termasuk kewajiban paling penting. Imam Ibn Hajar al-Haitami al-Makki asy-Syafii, di dalam kitabnya Shawâ’iq al-Muhriqah (I/25) menyatakan, “Para Sahabat ra. telah berijmak bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah masa kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan pengangkatan khalifah itu sebagai kewajiban paling penting (ahamm al-wâjibât). Buktinya, mereka lebih menyibukkan diri dalam urusan mengangkat imam (khalifah) daripada memakamkan (jenazah suci) Rasulullah saw.”
Karena itu Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim (VI/291) menyatakan, “Para ulama sepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat khalifah. Kewajiban itu berdasarkan syariah, bukan akal.”
Imam Fakhruddin ar-Razi, penulis kitab Manâqib asy-Syâfi’i, saat menjelaskan QS al-Maidah [5] ayat 38, menegaskan, “Para mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam (khalifah) untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Allah SWT telah mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had (hukuman) atas pencuri dan pezina. Tentu harus ada seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorang pun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku kriminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku kriminal kecuali oleh imam (khalifah)…Karena itu kewajiban mengangkat imam (khalifah) adalah hal yang pasti.” (Mafâtih al-Ghayb fî at-Tafsîr, 6/57, 233).
Allah SWT berfirman:
﴿ وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً …﴾
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di muka bumi”. (TQS al-Baqarah [2]: 30).
Imam al-Qurthubi menyatakan ketika menafsirkan ayat di atas, “Ayat ini merupakan pokok dalam mengangkat seorang imam dan khalifah yang didengar dan ditaati, agar kalimat bersatu, dan keputusan-keputusan khalifah diterapkan. Tidak ada perbedaan pendapat tentang kewajiban itu di antara umat dan tidak pula di antara para imam, kecuali yang diriwayatkan dari al-Asham (yakni Abu Bakar al-Asham pemuka Muktazilah) yang tuli dari syariah; demikian juga setiap orang yang berkata dengan pendapatnya dan mengikuti pandangan dan mazhabnya.” (Imam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, I/264-265).
Kewajiban menegakkan Khilafah juga ditegaskan oleh Syaikh Manshur al-Bahuthi di dalam Kasysyaf al-Qinâ’ ‘an Matni al-Iqnâ’ (XXI/61), Imam Abu al-Hasan al-Mirdawi al-Hanbali dalam kitab Al-Inshâf (XVI/60, 459), Imam al-Hafidz Abu Zakaria an-Nawawi asy-Syafii dalam Rawdhah ath-Thâlibîn wa Umdah al-Muftin (III/433), dll
Alhasil, para ulama mu’tabar dari berbagai mazhab telah bersepakat atas kewajiban menegakkan Khilafah. Kewajiban menegakan Khilafah atau Imamah itu sesungguhnya telah disepakati oleh imam mazhab yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad, radhiyalLâhu ‘anhum, bahkan oleh seluruh mazhab. Imam ‘Alauddin al-Kasani al-Hanafi berkata, “Sesungguhnya mengangkat imam (khalifah) yang agung itu adalah fardhu. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul-haq.” (Bada’i ash-Shanai’ fî Tartîb asy-Syarâ’i’ , XIV/406).
Wahai Kaum Muslim:
Dengan semua paparan di atas sangat jelas dan gamblang bahwa menerapkan syariah secara kâffah dan menegakkan Khilafah Islam merupakan kewajiban syariah. Kewajiban ini mujma’ ‘alayh (telah disepakati) oleh para ulama ahlus sunnah wal jamaah. Hal itu juga menjadi tuntutan faktual kondisi umat Islam dan problem dunia.
Karena itu, sebagai wujud ketakwaan menunaikan kewajiban syariah, juga mengikuti qawl para ulama ahlus sunnah wal jamaah, sekaligus bentuk kecintaan terhadap umat dan negeri ini untuk menyelesaikan berbagai problem yang ada dan mewujudkan rahmatan lil ‘alamin, maka yang harus dilakukan adalah menyerukan dan memperjuangkan penerapan syariah secara kâffah dan penegakan Khilafah Islam dengan sungguh-sungguh, dengan segenap tenaga, potensi dan daya upaya agar segera terwujud secara nyata di tengah-tengah kita. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
PT PLN (Persero) menetapkan tarif listrik nonsubsidi bagi 12 golongan pelanggan pada Mei 2016 mengalami kenaikan Rp 7 hingga Rp 10 perkilowatt jam (kWh). Kepala Divisi Niaga PLN Benny Marbun di Jakarta, Minggu, mengatakan, kenaikan tarif listrik terutama disebabkan peningkatan harga minyak mentah Indonesia atau Indonesia crude price (ICP). “Selain itu, inflasi juga naik. Nilai tukar rupiah terhadap dolar juga AS mengalami penguatan sehingga menahan kenaikan tarif listriknya,” katanya. (Kompas.com, 2/5).
- Pada 1 Juni masih akan ada kenaikan tarif listrik lagi untuk tarif subsidi bagi 18 juta rumah tangga pelanggan 900 VA. Kenaikannya bisa dari Rp 616 per KwH (tarif subsidi saat ini) menjadi Rp 1.400 per kWh (tarif non subsidi).
- Semua itu akibat liberalisasi energi yang mengikuti doktrin ekonomi liberal dan sistem kapitalis yang anti subsidi.
- Dalam Islam, minyak dan sumber energi adalah harta milik umum, harus dikelola negara langsung demi sebesarnya kemaslahatan rakyat.