Oleh: Ainun Dawaun Nufus – Pemerhati Sosial dan Politik (MHTI Kota Kediri)
Patut kita apresiasi dan dukung bersama upaya dari Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Surabaya meminta panitia khusus rancangan peraturan daerah (Raperda) minuman beralkohol DPRD setempat, melarang total peredaran minuman keras di Kota Pahlawan tersebut. Pembahasan raperda ini menjadi momentum bagi NU karena NU mendukung raperda ini bukan sebagai pengendalian lagi, melainkan pelarangan secara total. Sikap PCNU Surabaya tidak mentolerir ruang untuk memperbolehkan minuman memabukkan tersebut beredar di Kota Pahlawan.
Kepada NU Online H A Muhibbin Zuhri, Ketua PCNU Surabaya mengatakan, “pada prinsipnya NU menginginkan Surabaya bebas dari minuman keras, apapun jenis minuman itu. Kalau sudah memabukkan, jelas kami tolak”, Ungkapnya. Masalahnya saat ini minuman haram ini sudah dijual di sembarang tempat, baik di toko modern seperti toko swalayan atau minimarket hingga toko-toko pracangan. Semuanya longgar tanpa kontrol pemerintah.
Senada dengan PCNU Kota Surabaya, pengurus HTI Kota Surabaya juga memberikan sorotan agar Surabaya benar-benar bersih dari miras yang saat ini sudah pada level meresahkan. Miras termasuk biang ancaman kamtibmas di kota Surabaya. “Leluasanya peredaran miras di Kota Surabaya sebenarnya sudah diketahui umum. Harusnya dihentikan dan ditindak tegas!” ujar Izudin Ismail salah satu pengurus DPD HTI Kota Surabaya.
Konstelasi politik di kalangan pansus dinamis. Sebelumnya, pansus menyepakati Hypermart dan Supermarket boleh menjual minuman beralkohol golongan A. Namun, setelah dengar pendapat (hearing) dengan PCNU Surabaya, perubahan ke arah pelarangan mulai tampak. Bahkan, nyaris semua pansus mengindikasikan melarang.
Finalisasi raperda minuman beralkohol (mihol) berakhir dengan voting. Hasilnya Panitia Khusus (Pansus) Mihol memutuskan melakukan diskresi total. Artinya, tidak boleh ada penjualan minuman keras di manapun, termasuk di tempat hiburan malam. Voting dilakukan karena pembahasan pansus berjalan alot. Sebagian meminta agar larangan peredaran mihol hanya berlaku di hypermat dan minimarket. Sementara sebagian lagi bersikukuh agar larangan peredaran mihol berlaku untuk semuanya (diskresi total).
Sayangnya desakan masyarakat untuk Surabaya tanpa miras masih ditimbang-timbang oleh Pemkot Surabaya. Kata Wakil Wali kota Surabaya, Whisnu Sakti Buana, di Surabaya, harus melihat keadaan di lapangan seperti apa sebelum merelaksasi undang-undang miras. “Kalau dikasih pembatasan ketat malah di bawah merajalela kan malah tambah parah. Jadi, win-win solution saja,” pungkas pria yang kembali mencalonkan Wakil Wali Kota Surabaya 2016-2020 itu.
Longgarkan Miras = Mengabdi Kepada Pemodal
Jika dengan lobi-lobi khusus pengusaha berhasil, tentunya Raperda akhirnya melongarkan penjualan minuman keras (miras. Ini membuktikan pemerintah lebih mendengarkan kapitalis daripada agama yang jelas mengharamkan cairan najis tersebut. “Jika Miras Longgar di Surabaya, membuktikan pemerintah lebih mendengarkan kaum pemodal ketimbang kemaslahatan warga Surabaya dan kemaslahatan agama. Dalam kamus dunia hitam kapitalis kan duit nomor satu, urusan agama dan moral belakangan,” ungkap Umar Syarifudin, praktisi politik yang menjadi aktivis HTI asal Kediri ini.
Di samping itu, jika miras longgar keputusan itu juga pertanda tidak pekanya pemerintah terhadap persoalan sosial di masyarakat. Tidak memperhatikan dampak yang telah dipaparkan pihak ulama, kepolisian, LSM, anggota masyarakat yang merasakan langsung dampak sosial akibat konsumsi miras di masyarakat. Jika miras dilegalkan dengan pengontrolan itu berarti secara langsung pemkot menginginkan terjadinya kekacauan di tengah masyarakat.
Kalau alasannya untuk mencegah miras oplosan, tidak ada yang jamin miras oplosan bakal hilang setelah miras dilegalkan. Yang ada nanti dua-duanya malah beredar di masyarakat. Bila alasan pemerintah adalah untuk menggerakkan roda ekonomi, maka ini alasan dangkal. Berapa banyak orang yang hidupnya bergantung pada industri miras? Tidak sepadan dengan ongkos sosial yang harus ditanggung rakyat dan aparat keamanan.
Banyak cara untuk menggerakkan ekonomi masyarakat semisal mengelola SDA sebaik-baiknya, menghapuskan pajak, mencabut sistem ekonomi riba, memberikan insentif pada UKM, membuka lapangan kerja, termasuk mengurangi gaji anggota dewan, direksi BUMN, juga presiden. Artinya berilah rakyat pekerjaan bukan malah dikasihkan kepada tenaga kerja asing.
Selain haram, meminum miras dapat mengakibatkan pelakunya menjadi lebih mudah melakukan berbagai tindakan kejahatan. Celakanya, sebanyak sekitar 14,4 juta remaja Indonesia menenggak miras pada 2016. Wajar saja jika akhirnya banyak remaja menjadi pelaku kejahatan, termasuk kejahatan begal motor. Ini menunjukkan adalah bahaya yang didasarkan pada Sabda Nabi Muhammad SAW yang secara khusus mengatakan miras itu induknya segala kejahatan (al khamru ummul khabaits).
Menuju Negeri Tanpa Miras
Tidak hanya di Surabaya, mudahnya mendapatkan minuman beralkohol atau minuman keras di sejumlah wilayah di Indonesia ternyata berkorelasi langsung dengan tingginya angka kriminalitas pembunuhan di negeri ini. Fakta tersebut terungkap dari hasil penelitian yang dilakukan Pusat Kajian Kriminologi FISIP UI bersama Gerakan Nasional Anti Miras (GeNAM). Ditemukan data kualitatif yang membuktikan bahwa akses mendapatkan miras yang terlalu mudah merupakan alasan utama mengapa remaja berada dalam pengaruh miras pada saat melakukan tindakan kriminal dalam hal ini pembunuhan.
Fahira Idris dalam pernyataanya mengungkapkan bahwa dari wawancara mendalam yang dilakukan terhadap 13 orang remaja yang mengonsumsi miras pada saat melakukan tindakan kriminal pembunuhan, ditemukan fakta yang cukup mengerikan, bahwa mereka begitu mudahnya membeli miras dan sama sekali tidak terawasi oleh keluarga maupun lingkungan sosialnya.
Solusi untuk marajelanya miras dikalangan remaja adalah ada intervensi negara dalam mengendalikan produksi, distribusi, dan penjualan miras dan melarang tegas menjual miras kepada remaja kita. Dia mendorong agar para kepala daerah tidak ragu untuk mengeluarkan Perda larangan peredaran miras.
Sementara itu, Kepala Pusat Kajian Kriminologi FISIP UI Iqrak Sulhin menyatakan, dalam kajian kriminologi, peran alkohol sebagai faktor kriminogen ini dapat dibedakan ke dalam dua kategori besar, yaitu; berperan langsung dan pemercepat. Meskipun sejumlah penelitian hanya menyatakan bahwa alkohol adalah fasilitator kejahatan, namun banyak penelitian lainnya memberikan konfirmasi adanya pengaruh langsung dalam kasus kejahatan kekerasan.
Persoalan mendasar dari peredaran miras yang kian marak karena sanksi hukum yang berlaku tidak bertumpu pada Syariat Islam. Secara filosofis, perda miras yang berlaku saat ini merupakan produk sistem demokrasi sekuler yang mendasarkan kebenaran pada akal manusia atau kompromi dan bukan halal haram.
Sehingga, dalam menjatuhkan sanksi pelaku miras semata mata berdasarkan landasan hukum positif sekuler dan mufakat yang bebas dari intervensi agama. Wajar kalau kemudian perda ini mandul dalam mencegah peredaran miras meski sudah dirazia berulang kali.
Dalam pandangan Syariah, aktivitas meminum khamr (minuman keras) merupakan kemaksiatan besar dan sanksi bagi pelaku adalah dijilid 40 kali dan bisa lebih dari itu. Islam juga melarang total semua hal yang terkait dengan miras mulai dari penutupan pabrik miras, distribusi miras, toko yang menjual hingga konsumen (peminum minuman keras). Semua itu akan efektif berjalan dengan menerapkan hukum-hukum fiqih yang jelas mulia, dalam ranah politik. Insya Allah.[]