Sistem Demokrasi Induk Kriminalitas

Oleh H. Luthfi H.

Sistem Demokrasi saat ini nyata-nyata telah menjadi biang kerok, induk dari berbagai tindak kriminalitas. Tidak peduli apakah di desa atau kota. Tindak pembunuhan, perampokan, pemerkosaan, narkoba dan mabok-mabokan, seolah menjadi “hindangan” di sepanjang pagi, siang, petang, malam hingga tengah malam.

Di awal bulan Mei, di Hari Pendidikan Nasional; anak didik, dari yang dianggap “belum berumur”, siswa, bahkan sampai mahasiswa, dihiruk-pikuki dengan berbagai tindak kriminalitas. Mulai dari kasus narkoba yang semakin menyeruak, pembunuhan mahasiswa terhadap dosen, dan tindak pemerkosaan disertai pembunuhan beramai oleh segerombol “binatang buas”.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai kasus penyalahgunaan narkoba semakin mengancam anak-anak. Jumlah pengguna narkoba di usia remaja naik menjadi 14 ribu jiwa dengan rentang usia 12-21 tahun. Jumlah tersebut terbilang fantastis karena data terakhir dari Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Puslitkes Universitas Indonesia menyebutkan total pengguna narkoba segala usia mencapai lima juta orang di Indonesia. Angka tersebut 2,8 persen dari total seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2015.

Berikutnya pembunuhan mahasiswa atas dosennya. Adalah Roymando Sah Siregar, mahasiswa semester VI Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FKIP UMSU), dengan tega telah menggorok leher dosennya, Nuraini.

Kriminal mabok tuak, pengeroyokan pemerkosaan, dan pembunuhan sekaligus, dilakukan oleh “binatang buas”, 14 laki-laki biadab terhadap Yuyun.

Yuyun, adalah seorang remaja putri berusia 14 tahun asal Bengkulu diperkosa sampai menemui ajalnya oleh 14 orang laki-laki yang rata-rata masih dibawah umur! Semua pelaku berusia dibawah 20 tahun. Tindak kriminal ini sungguh brutal dan di luar nalar. Setelah diperkosa secara bergilir, dia dihajar habis-habisan sampai tewas. Lalu tubuhnya dilempar ke jurang sedalam 15 meter! Tindak kriminalitas yang tidak pernah dilakukan segerombol binatang buas sekali pun.

Ragam tindak kriminal tersebut baru yang terekam oleh media. Kasusnya juga bukan yang pertama, dan kita ragu ini yang terakhir. Sampai detik ini, orang tua mana yang tidak khawatir anak nya terkena jerat narkoba? Orang tua mana yang sudah merasa aman anak putrinya tidak diperkosa oleh segerombol binatang bejat? Dan semua tindak kriminal tersebut tumbuh subur, bahkan berkembang biak dan beranak pinang, bercucu dan cercicit, di alam Demokrasi. Sehingga wajar jika kita katakan bahwa sistem demokrasi adalah ummul jaraim, induk dari segala tindak kriminalitas tesebut.

Pasalnya, sistem Demokrasi adalah sistem yang sejak kelahirannya memberikan peluang atas segala tindak kriminalitas. Sistem ini menjadikan kebebasan sebagai landasan kehidupan. Padahal kebebasan inilah yang menjadi pangkal segala tindak kejahatan. Orang pada akhirnya bebas membunuh, bebas menjual barang haram, bebas memperkosa, bebas merampok, bebas mencuri, dan bebas melakukan segalanya.

Dalam kitab Ad Dhimuqrathiyyah Nizham Kufrin, Syekh Abdul Qadim Zallum –rahimahullah– mengungkapkan ada empat prinsip kebebasan yang dianut oleh sistem Demokrasi. Yakni, kebebasan berakidah (beragama), kebebasan berpendapat (kebebasan berbicara), kebebasan dalam kepemilikan (kebebasan dalam ekonomi), dan kebebasan dalam berperilaku (hurriyatu asy syakhshiyyah). Dalam perkara tindak kriminal ini, adalah prinsip kebebasan dalam berperilaku dan berekonomi menjadi faktor yang paling menonjol dan menumbuh-suburkan tindak kriminalitas.

Pada persoalan narkoba dan miras (minuman keras) misalnya. Hukuman dan sanksi pelaku tindak kriminal jadi ambidu, abu-abu karena prinsip Demokrasi. Banyak yang menilai, selama narkoba bebas diperjual-belikan, miras tetap berbedar secara bebas, kasus Yuyun bukan menjadi kasus yang terakhir. “Kalau sudah di bawah pengaruh miras, akal sehat dan nurani hilang. Makanya jangan heran kalau ada anak tega bunuh orang tua atau orang tua tega bunuh anak, karena pengaruh miras. Bayangkan, di kasus Yuyun ini, ada pelaku anak di bawah umur yang tega memerkosa berkali-kali hingga korbannya meninggal dan mayatnya dibuang ke jurang. Kalau tidak di bawah pengaruh miras, mereka tidak akan sebiadab itu. Saya tidak tahu, sampai kapan kita semua sadar bahwa miras itu bencana,” ujar Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Miras (Genam) Fahira Idris, di Jakarta (4/5/2016).

Namun persoalannya adalah, apakah keinginan demikian bisa terealisir dalam sistem demokrasi? Padahal sistem demokrasi secara prinsip tidak melarang beredarkanya barang haram tersebut. Kebebasan kepemilikian, kebabasan dalam berekonomi menjadi hal yang prinsip dalam sistem ini. Asasnya adalah manfaat. Selama ada pemintaan, selalu ada penawaran. Tidak peduli barang halal atau haram. Merusak atau mudharat.

Persoalan “pembatasan” dengan regulasi idzin atau tidak idzin dalam penyebaran miras, terbukti tidak pernah efektif. Karenanya Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kota Surabaya meminta panitia khusus rancangan peraturan daerah (Raperda) minuman beralkohol DPRD setempat, melarang total peredaran minuman keras di Kota Pahlawan tersebut (Republika.co.id). Demikian juga Gubernur Papua Lukas Enembe menyuruh Bupati Biak untuk mencabut idzin Miras. Karena 25 % warganya tewas karena miras.

Demikian pula saat menyoal sanksi atas tindak kriminalitas ini dalam sistem Demokrasi. Sudah banyak pihak yang menggagas hukuman setimpal, hukuman seumur hidup, sampai pada hukuman mati bagi pelaku kejahatan. Namun lagi-lagi kita hidup dalam alam Demokrasi. Nyatanya hukuman yang diberikan kepada pemerkosa Yuyun adalah vonis penjara. Ada alasan dibawah umur. Ke 14 “binatang buas” tersebut juga cengengesan ketika diperiksa dan diintrogasi oleh Polisi. Tak ada sedikitpun ada rasa penyesalan. Dan hukuman yang setimpal, yang membuat efek jera, semakin jauh, saat sayup-sayup terdengar suara pegiat HAM (Hak Asasi Manusia) Barat yang siap-siap membela pelaku tindak kriminal atas dasar HAM.

Kaum muslimin…
Keadaan ini sangat berbeda dan bertolak belakang dengan sistem Islam di bawah naungan Khilafah Islamiyyah. Prinsip dasar hidup bagi seorang muslim adalah bertakwa, untuk beribadah kepada Allah SWT, bukan perinsip hidup bebas dalam berperilaku. Sikap ini sungguh prinsip yang sedari awal menjauhkan dari tindak kriminalitas. Firman Allah SWT.

(وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ)

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adh-Dhariyat 56).

Pelaksanaan hukum Islam secara menyeluruh dalam setiap sisi kehidupan adalah pilar komprehensip mencegah tindak kriminalitas. Dalam persoalan tindak perkosaan atau perzinahan, Islam menutup rapat peluang tersebut dengan kewajiban menutup aurat –baik untuk laki-laki maupun perempuan–, melarang wanita muslimah untuk berdandan berlebih-lebihan (tabarruj), menahan pandangan mata (ghadwul bashar, Al Qur’an Surat An Nur 31), larangan ber-khalwat dan ikhtilath. Khalwat artinya mojok, atau berdua-duaan antara seorang laki-laki dengan perempuan. Ikhtilat berarti campur baur antara laki-laki dengan perempuan.

Demikian pula negara memberikan kemudahan untuk menikah. Nabi Muhammad Rasulullah SAW bersabda: “Perempuan yang paling besar mendatangkan berkah Allah untuk suaminya adalah perempuan yang paling ringan maharnya.” (HR. Ahmad, Hakim, Baihaqi).

Untuk perosoalan miras dan narkoba, Islam secara tegas mengharamkan barang haram tersebut untuk diproduksi dan diedarkan. Rasul menjelaskan bahwa miras adalah ummul khaba’its. Induk segala kejahatan. Sabda Rasulullah saw: “Khamr itu adalah induk keburukan (kejahatan) dan barangsiapa meminumnya maka Allah tidak menerima sholatnya 40 hari. Maka apabila ia mati sedang khamr itu ada di dalam perutnya maka ia mati dalam keadaan bangkai jahiliyah.” (HR At-Thabrani, Ad-Daraquthni dan lainnya)

Demikian pula dengan tindak pembunuhan. Syariat Islam sangat melindungi nyawa manusia. Rasulullah SAW bersabda:

لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ

“Sungguh hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah dibandingkan terbunuhnya seorang muslim.” (HR. An Nasai).

Bukan hanya cukup di sini, sungguh Islam memberikan uqubat (sanksi) yang sangat setimpal, adil, dan menjaga keutuhan dalam kehidupan bermasyarakat. Firman Allah;

وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ

“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” [Al baqarah ayat 179]

Al-Alusi dalam tafsirnya, Ruhul Ma’ani (2/1130), mengatakan, “Makna qishash sebagai jaminan kelangsungan hidup adalah kelangsungan hidup di dunia dan di akhirat. Jaminan kelangsungan hidup di dunia telah jelas karena dengan disyariatkannya qishash berarti seseorang akan takut melakukan pembunuhan. Dengan demikian, qishash menjadi sebab berlangsungnya hidup jiwa manusia yang sedang berkembang. Adapun kelangsungan hidup di akhirat adalah berdasarkan alasan bahwa orang yang membunuh jiwa dan dia telah diqishash di dunia, kelak di akhirat ia tidak akan dituntut memenuhi hak orang yang dibunuhnya.”

Kaum muslimin…
Sistem Demokrasi nyata-nyata telah menjadi sumber dari berbagai petaka, ibu dari lahirnya janin kriminalitas. Jika kita semua telah sadar bahwa Khamar adalah induk dari segala kejahatan, kita pun juga harus sadar bahwa induk kejahatan itu bersemayam pada sistem Demokrasi. Tiupan terompet, nyala lilin, ungkapan simpati yang mendalam dari berbagai kalangan atas Yuyun adalah sangat wajar. Namun jika sikap tersebut tidak disertai dengan mencampakkan demokrasi, ini yang kurang wajar. []

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*