Oleh: Umar Syarifudin – Aktivis HTI (Praktisi Politik)
Kasus papa minta saham lama tenggelam. Namun jangan lupakan esensinya, yaitu perampokan SDA di Papua secara legal berlindung di bawah payung UU Minerba. Seperti kita ketahui dalam Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bumi, air dan kekayaan yang terkandung didalamnya dikuasai negara dan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sumber daya mineral sebagai sumber daya tak terbarukan, maka kesempatan yang didapat adalah hanya sekali dan tidak ada kesempatan kedua apabila sumber daya mineral tersebut habis.
Jokowi mengaku telah bertemu dan berbicara dengan manajemen PT Freeport. Jokowi juga mengajukan 5 syarat untuk PT Freeport dalam proses negosiasi kontrak. PT Freeport diminta melakukan lima syarat: (1) Ikut membantu pembangunan Papua. (2) Meningkatkan kandungan lokal, termasuk menambah jumlah pekerja asal Papua. (3) Mendivestasi (menjual) sebagian sahamnya. (4) Meningkatkan royalti yang dibayarkan kepada Pemerintah Indonesia. (5) Mengolah logam di dalam negeri, termasuk membangun industri hilir khususnya di Papua.
Dari semua itu, perpanjangan kontrak PT Freeport agaknya bisa dikatakan “sudah dipastikan”. Pasalnya, berbagai syarat yang diajukan Pemerintah telah disepakati oleh PT Freeport. Jika sekarang belum diberikan, hal itu hanya karena masalah UU yang mengharuskan pengajuan perpanjangan kontrak paling cepat bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak berakhir. Perpanjangan kontrak PT Freeport baru bisa diajukan pada tahun 2019, sebab kontraknya berakhir pada tahun 2021.
Ingat, Freeport di Indonesia sudah hampir 50 tahun, kemampuan bangsa dalam bidang ekonomi dan kemampuan putra putri negeri tidak perlu diragukan, maka sudah saatnya bangsa ini percaya diri terhadap kemampuannya dalam mengelola kekayaan alam yang tidak dimiliki negara lain. Dengan tidak memperpanjang kontrak Freeport yang berakhir pada 2021, Indonesia akan menguasai 100 persen saham PT Freeport Indonesia tanpa mengeluarkan uang sepeserpun alias gratis. Kalau tambang tersebut dikelola oleh Freeport karena alasan Indonesia tidak punya modal, tidak bisa diterima. Freeport dulu juga tidak punya apa-apa, dia mendapatkan modal dengan menjadikan kandungan emas di Papua sebagai agunannya.
Tahun ini PT Freeport Indonesia berkewajiban melakukan divestasi saham 20 persen. Namun karena pemerintah sudah memiliki 9,36 persen saham, sisa divestasi 10,64 persen. Beberapa waktu lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan PT Freeport Indonesia telah menyampaikan harga divestasi yang ditawarkan senilai US$ 1,7 miliar. Namun karena harga saham divestasi masih terlalu mahal, pemerintah sedang mengkaji nilai riil saham perusahaan tambang Freeport Indonesia.
PT Freeport dan sejumlah perusahaan tambang juga enggan tunduk pada Peraturan Pemerintah yang membatasi kepemilikan wilayah kerja yakni maksimal 100.000 hektare untuk perusahaan mineral dan 50.000 hektare untuk perusahaan batubara. Saat ini, wilayah kerja Freeport telah mencapai 1,8 juta hektare dan Vale Indonesia tercatat sekitar 180.000 hektare. Jika mengacu pada peraturan tersebut maka sebagian besar wilayah pertambangan Freeport harus diserahkan kepada pemerintah.
Secara ekonomis, cadangan PT Freeport memang sangat besar. Freeport memperkirakan cadangan bijih yang siap ditambang pada saat itu mencapai 2,6 milyar ton! Freeport merupakan simbol bagaimana kuatnya penjajahan kapitalisme dalam bentuk investasi di negara ini. Eksistensi Freeport juga menjadi cermin betapa lemahnya Pemerintah dan kuatnya konspirasi mereka untuk melanggengkan eksistensi perusahaan-perusahaan asing dalam mengeruk kekayaan alam negeri ini.
Kita semua menyadari, kekayaan alam yang ada di Papua (dari migas, mineral, emas, tembaga, uranium dll), menjadi motivasi penguasaan asing atas dua wilayah tersebut. Namun tentu saja bukan sekadar itu. Di samping sumber daya alam, Papua sudah menjadi simbol dan representasi dari Indonesia.
Kuatnya peran Pemerintah AS dalam investasi Freeport diakui oleh Muhammad Sadli, Ketua Komite Penanaman Modal Asing pada awal pemerintahan Soeharto. Ia mengakui bahwa kontrak Freeport dilakukan bukan hanya karena pertimbangan ekonomi, namun juga pertimbangan politik, yakni untuk mendapatkan dukungan militer dan jaminan politik dari AS yang memiliki ekonomi terbesar dan kekuatan paling berpengaruh di dunia. Kehadiran Freeport di Indonesia menjadi penting bagi AS. Semakin besar keuntungan Freeport McMoran, pajak yang didapatkan Pemerintah AS akan semakin besar.
yang paling penting, “bahwa tambang emas di Papua itu milik kita, milik rakyat, bukan milik mereka (Freeport). Islam menetapkan tambang adalah milik umum seluruh rakyat. Tambang itu harus dikelola langsung oleh negara dan seluruh hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat. Hanya dengan pengelolaan sesuai aturan syariah seperti itulah, kekayaan alam itu akan benar-benar menjadi berkah buat negeri ini dan penduduknya. Karena itu, pemberian ijin ataupun perpanjangan ijin kepada swasta/asing untuk menguasai pengelolaan tambang, termasuk Freeport, jelas menyalahi Islam.
Kalau mereka (PT Freeport) marah itu wajar, karena mereka sudah puluhan tahun menikmati harta kita. Sumber daya mineral dari jumlah dan lokasinya merupakan karunia yang tidak dimiliki bangsa-bangsa lain, karena itu sudah saatnya bangsa Indonesia menunjukkan dan mengambil kesempatan pengelolaan cadangan emas yang (mungkin) tidak ada lagi, guna mewujudkan tujuan bangsa dan tidak ada kesempatan lain kecuali sekarang![]