Tata Kelola Wilayah Pesisir Khilafah Mewujudkan Rahmatan Lil’aalamiin (Kritik Terhadap Reklamasi Teluk Jakarta)
Hiruk pikuk pemberitaan media massa tentang reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta mereda setelah pemerintah menghentikan proyek-proyek pulau buatan tersebut. Penghentian tersebut hanya sementara dengan alasan terhambat beberapa aspek, sehingga perlu sinkronisas/penyelarasan berbagai undang-undang yang telah ada, pemenuhan kelengkapan dokumen Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang dibutuhkan dalam pembuatan Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan prasyarat lainnya. Apabila seluruh perizinan dan rekomendasi sudah dilengkapi, maka reklamasi legal dilanjutkan kembali. Gubernur DKI Ahok pun optimis proyek reklamasi akan berlanjut setelah pertemuan dengan Presiden Jokowi di istana rabu (27/4) kemarin.
Pada pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, pembangunan infrastruktur menjadi salah satu prioritas utama. Hal tersebut tercermin dari tingginya target-target pencapaian sebagaimana dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019 dan juga Master Plan Percepatan dan Perluasan Perkembangan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Proyek pembangunan Teluk Jakarta merupakan bagian dari strategi peningkatan potensi ekonomi di Koridor Ekonomi Jawa (KE Jasa dan Industri) untuk mencapai angka pertumbuhan ekonomi nasional 6,35% agar Indonesia menjadi bagian negara maju pada tahun 2025. Proyek ini juga untuk memenuhi kebutuhan percepatan penyediaan infrastruktur prioritas, dalam hal ini keterhubungan infrastruktur baru dengan pusat kota untuk mengatasi kemacetan, serta kebutuhan ruang tambahan untuk pengembangan masa depan permukiman, pusat bisnis, bandara dan pelabuhan. Dengan demikian reklamasi 17 pulau tersebut termasuk bagian penting dari liberalisasi Teluk Jakarta.
Liberalisasi Teluk Jakarta pada mega proyek “Garuda Raksasa” merupakan program pembangunan infrastruktur yang direncanakan pemerintah pusat, tertuang dalam Master Plan Final National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau Master Plan Pengembangan Terpadu Pesisir Ibukota Negara (PTPIN). Akhir tahun 2014 diterbitkan desain terbaru Garuda Great Jakarta Sea Wall, sebagaimana gambar tertera. Desain proyek NCICD pada dasarnya adalah tanggul laut sepanjang 33 km untuk menahan banjir rob. Ground breaking sudah dimulai sejak 9 oktober 2014 lalu. Pemerintah juga akan memanfaatkan hasil reklamasi lahan 1.250 ha tersebut sebagai lokasi pengembangan kota baru, berbagai infrastruktur akan dibangun di atasnya.
Master plan tersebut menetapkan tiga fase pembangunan. Fase A merupakan proyek reklamasi 17 pulau di laut bagian dalam Teluk Jakarta, yakni pulau A hingga Q dan ditambah dengan penguatan dan peninggian tanggul rob di bibir pantai Jakarta Utara.
Fase B difokuskan pada upaya membangun tanggul laut raksasa (giant sea wall, GSW) di laut luar barat dan waduk besar yang diperkirakan akan dibangun dalam kurun waktu 2018 sampai dengan 2022. Termasuk puluhan reklamasi yang membentuk pola garuda raksasa. Selanjutnya Fase C difokuskan untuk membangun GSW di laut luar timur yang akan dibangun setelah tahun 2023. Juga jangka panjang akan dilakukan beberapa pengembangan di sisi timur teluk Jakarta, yakni kemungkinan penutupan bagian timur teluk sebagaimana penutupan teluk bagian barat, dan akan disediakan jalan tol layang di atas laut akses Tangerang-Bekasi untuk mengurangi dampak atas penutupan teluk ini.
Diperkirakan kebutuhan anggaran hingga Rp 600 triliun untuk menyelesaikan keseluruhan fase proyek ini. Skema penganggaran berasal dari APBN, APBD DKI Jakarta, dan swasta. Namun, sebagian besar proyek akan diserahkan kepada swasta. Sebab pada Fase A pemerintah (pusat dan daerah) hanya berkewajiban memperkuat dan meninggikan tanggul di pesisir pantai yang telah ada sepanjang 8 km (termasuk di dalamnya pemasangan sheet pile Luar Batang oleh Pemda DKI), sementara sisanya 24 km menjadi tanggung jawab pengembang yang memenangkan tender pengusahaan lahan reklamasi 17 pulau. Adapun Fase B dan C penganggaran direncanakan menggandeng pihak swasta yang akan berinvestasi di kawasan NCICD melalui mekanisme KPBU/KPS (Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha/Kerjasama Pemerintah Swasta) atau Public-Private Partnerships (PPPs).
Dengan melihat besarnya biaya investasi yang dibutuhkan terutama reklamasi di laut dalam bagian luar teluk Jakarta, tentu diperlukan keberadaan properti ikonik di atasnya agar dapat mengembalikan modal investasi swasta seperti bangunan super block, super condominium, super mall, super sport, super coliseum, dan perumahan mewah.
Menurut Muslim Muin, ahli oseanografi yang juga mantan Kepala Program Studi Kelautan Institut Teknologi Bandung (ITB), tanggul laut raksasa bukan jawaban mengatasi masalah banjir Jakarta. Sebaliknya, tanggul ini berpotensi membawa banyak masalah baru. Pembuatan tanggul laut, kata Muslim, dilakukan lebih untuk melindungi 17 pulau reklamasi. Itulah mengapa pihak swasta yang mendapat konsesi lahan reklamasi bersemangat.
Berdasar rilis data Policy Paper yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan 2015, kenaikan permukaan air laut 7,3 mm/tahun bukanlah ancaman utama untuk banjir. Kenaikan permukaan air laut dapat ditanggulangi dengan meninggikan tanggul pantai yang telah ada. Pada tahun 2100, jika hanya diakibatkan oleh kenaikan permukaan air laut saja akan menyebabkan daerah pada ketinggian di bawah 1 meter akan tenggelam dengan luas area genangan seluas 1.325 Ha. Sedangkan jika ditambahkan dengan pengaruh penurunan permukaan tanah, maka luas area genangan akan mencapai 31.257 Ha. Mengacu pada hal tersebut, maka faktor penurunan permukaan tanahlah yang memicu lebih rentannya Jakarta terhadap bencana banjir. Muslim juga menyatakan alasan penutupan teluk sebagai waduk raksasa untuk menyediakan air bersih menurutnya lebih tak masuk akal. ”Debit air yang masuk Teluk Jakarta dari 13 sungai berlimpah-limpah rata-rata 300 meter kubik per detik. Sementara kebutuhan air Jakarta hanya 30 meter kubik per detik.
Demikian juga yang disampaikan Peneliti kelautan dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Widjo Kongko, pembangunan tanggul tak bakal mengatasi banjir namun justru menurunkan kualitas air, meningkatkan muka air laut, dan merusak lingkungan. Diluar itu, kerusakan lingkungan juga akan terjadi di daerah penyuplai pasir yang digunakan menguruk Teluk Jakarta, seperti pesisir Banten dan Jawa Barat. Perkiraan kebutuhan pasir tanggul NCICD adalah 300 juta m3, belum termasuk kebutuhan pasir untuk pembuatan 17 pulau.
Kekhawatiran para akademisi tersebut bersebrangan dengan optimisme Menko Bidang Kemaritiman Rizal Ramli yang menyatakan undang-undang proyek ini sudah jelas, adapun berbagai permasalahan yang dikhawatirkan misal banjir, maka menurutnya ada ilmu pengetahuan dan tenaga ahli yang dapat mengatasi hal tersebut.
Bahaya Liberalisasi bagi Masyarakat
Permasalahan mendasar dalam proyek NCICD ini bukan semata masalah ilmu dan kegiatan pembangunan sipil di laut, melainkan liberalisasi. Liberalisasi meniscayakan tata pemerintahan dan ekonomi yang liberal. Tata pemerintahan liberal sesuai dengan konsep Reinventing Government, yakni tata kelola pemerintahan dengan prinsip pemerintah berorientasi pada mekanisme pasar (market oriented government), yakni mendongkrak perubahan melalui pasar (leveraging change throught the market), mengubah sistem yang birokratis menjadi sistem wirausaha (enterprising the goverment). Sehingga fungsi pemerintah diarahkan hanyalah sebagai regulator pasar melalui sinkronisasi undang-undang. Adapun ekonomi liberal memberikan jaminan kebebasan kepemilikan untuk memastikan pertumbuhan ekonomi dapat diacapai setinggi-tingginya.
Liberalisasi pemerintahan dan ekonomi tersebut tampak jelas dalam proyek pembangunan NCICD dengan skema KPBU/KPS/PPPs dengan berbagai varian bentuknya. KPBU/KPS/PPPs adalah perjanjian jangka panjang “kerjasama” pemerintah-swasta yang berkonsekuensi pada pemberian hak istimewa konsensi kepada swasta untuk mengelola wilayah atau proyek sehingga pemenuhan kebutuhan publik mengikuti mekanisme bisnis. Reklamasi ini akan membentuk pulau-pulau “privat” termasuk perairannya, tidak hanya rakyat bahkan negara pun diposisikan konsumen ketika mengaksesnya. Seiring dengan itu UU Kasiba/Lisiba (Kawasan Siap bangun/Lingkungan Siap bangun) terkait pembentukan kota baru memberikan hak privatisasi kawasan kepada para developer baik BUMD maupun swasta untuk menguasai wilayah konsensinya termasuk mengelola kebutuhan penduduk di kawasan tersebut. Sehingga developer berhak menentukan desain tata kota, harga baku air utilitas, listrik, pengelolaan sampah, keamanan, dsb. Demikian juga pembangunan jalan tol pada tanggul GSW dan pulau-pulau reklamasi berdasar skema KPBU/KPS/PPPs varian built operate transfer (BOT), alih-alih pemerintah memberikan hak sarana transportasi public, justru pemerintah menyerahkan rakyat untuk menjadi konsumen operator jalan tol. Adapun pulau N, O, P, Q peruntukannya sebagai perluasan dermaga, port of Jakarta, meski terdapat kepemilikan dan kepengelolaannya oleh pemerintah, namun pemerintah hadir dalam bentuk badan usaha (PT. KBN, PT. Jakpro, PT. Pelindo) layaknya swasta.
Sehingga liberalisasi dan komersialisasi Teluk Jakarta tersebut meniscayakan terjadi perampasan hak publik, yang syariah telah menetapkan bahwa laut dan infrastruktur publik sebagai hak rakyat, yang mengharuskan Negara mengelolanya sebagai bentuk pelayanan.
Bagaimana Khilafah Mengurusi Rakyat, Pengusaha, dan Alam Sehingga Tercegah Liberalisasi ?
Khilafah memastikan Negara berfungsi sebagai pelindung rakyat sekaligus pengurus dan pelayan urusan rakyat. Khilafah juga memastikan ekonomi berjalan sesuai ketentuan syariat Islam. Hadits mulia menyatakan : “Sesungguhnya Imam/Khalifah itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Muslim). Demikian juga : “Imam/Khalifah adalah pelayan, dan hanya dia satu-satunya yang bertanggung jawab terhadap urusan rakyatnya.” (HR. Ahmad dan Bukhori).
Khalifah, orang yang mewakili rakyat dalam urusan pemerintahan dan kekuasaan serta dalam menerapkan hukum-hukum syariah, memiliki hak mutlak untuk melayani urusan rakyat sesuai dengan pendapat dan ijtihadnya. Hak dan kekuasaan ini tidak dapat dialihkan khalifah kepada pihak lain karena dialah penerima aqad kekhilafahan yang menjadikannya sebagai penanggung jawab langsung urusan rakyatnya. Hadits yang mulia menyatakan “Pemimpin yang memimpin masyarakat ialah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Bukhori). Maksudnya adalah pemimpin masyarakat ialah penanggung jawab masyarakat. Bertanggung jawab dalam mengurusi langsung urusan dan memperhatikan hal ihwal keadaan masyarakat (ri’ayah syu’un wa nazhar fil umur). Tidak menyerahkan urusan masyarakat kepada pihak lain contohnya dalam hal ini badan usaha.
Syariah menetapkan hak mutlak pengurusan tersebut sesuai pendapat dan ijtihad khalifah, hanya saja khalifah tidak boleh menyimpang dari hukum syara’ dengan alasan kemaslahatan tertentu. Dalam hal ini khalifah tidak dapat merubah status laut yang merupakan harta milik umum seluruh rakyat secara berserikat menjadi harta milik Negara ataupun milik swasta/individu. Harta milik umum artinya setiap rakyat berhak mengambil manfaat darinya dengan syarat tidak merusak dan tidak menghalangi orang lain untuk memanfaatkannya. Negara berfungsi pengelola harta milik umum tersebut untuk kepentingan pelayanan. Dilihat dari ketentuan syariah ini, maka praktik konsensi di Teluk Jakarta tidak dapat dibenarkan. Tidak diterima alasan reklamasi dengan merubah status harta tersebut karena alasan ketidakcukupan anggaran Negara untuk membangun infrastruktur. Dalam permasalahan ini syariah telah menetapkan metode tersendiri agar pos kas baitul maal untuk kebutuhan belanja infrastruktur vital tetap mencukupi.
Demikian juga tidak diterima alasan merubah status harta milik umum dalam hal ini reklamasi untuk memperluas lahan karena semakin sempit dan mahalnya harga lahan di ibu kota. Reklamasi bukan hal yang baru di berbagai Negara saat ini, salah satunya karena tekanan over urbanization. Permasalahan over urbanization tersebut tidak hanya muncul pada kota-kota besar negara berkembang, namun sudah menjadi potret kota-kota metropolis dunia. Ini adalah ciri khas kota yang dibentuk oleh Kapitalisme. Kebebasan kepemilikan berimbas pada terproteksinya sumber-sumber kehidupan di berbagai daerah akibat dikuasai oleh segelintir pemilik modal. Sehingga memaksa penduduk mencari peruntungan penghidupan di kota-kota besar. Masalah ini tidak akan muncul dalam khilafah karena Islam menetapkan jenis-jenis kepemilikan dan mengatur tata cara pengembangan harta, sehingga negara mampu menjamin pendistribusian kesejahteraan secara ril di berbagai daerah, yakni setiap wilayah mampu mengeluarkan potensi sumber ekonomi dan lapangan kerja berlimpah dengan menjamurnya industry rumah tangga dan kegiatan ekonomi sektor ril lainnya.
Adapun untuk kemaslahatan seluruh kaum muslim secara berserikat, syariah memungkinkan Negara untuk melakukan reklamasi tanpa mengubah status kepemilikan harta milik umum tersebut. Misalnya reklamasi untuk bendungan penahan banjir, pelabuhan, dan bandara yang dilakukan dan dikelola langsung oleh diwan mashalih Negara untuk tujuan pelayanan. Syariah juga memungkinkan Negara untuk memproteksi wilayah tertentu dari laut untuk direklamasi misal untuk mendukung pertahanan keamanan Negara. Sebagaimana sabda Rasulullah saw : “Tidak ada wewenang memproteksi kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya” (HR Abu Dawud). Hanya saja dalam pembangunan tersebut, negara tetap harus memperhatikan ketentuan-ketentuan syariah lainnya untuk memastikan pemimpin sebagai perisai. Semisal, reklamasi itu tidak boleh membahayakan baik secara fisik, lingkungan maupun sosial. Kajian tersebut, di wilayah yang akan dibangun maupun wilayah penyuplai material reklamasi perlu dilakukan secara cermat. Apabila terjadi relokasi atau berdampak bagi penduduk di sekitar proyek perlu diperhatikan secara cermat pula pemenuhan keberlangsungan kebutuhan hidupnya termasuk pemenuhan naluri secara sempurna. Bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) Negara wajib memberikan rumah, bukan malah menjadikannya klien rusun sewa. Hal itu berdasarkan hadits Rasul saw: “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Ad-Daruquthni).
Kebijakan-kebijakan Khilafah ini tidak berarti mematikan bisnis pengusaha, namun islam menempatkannya sesuai syariah menetapkan ceruk bisnis swasta. Sedangkan pembangunan infrastruktur yang tekait dengan kebutuhan vital seluruh rakyat secara berserikat merupakan kewajiban Negara untuk mengadakan dan mengelolanya untuk rakyat. Sehingga dengan hukum-hukum syariah tersebut, Islam menjadikan Negara mampu menjadi perisai bagi kemaslahatan rakyatnya sekaligus menjaga lingkungan. Demikianlah salah satu potret Islam Rahmatan lil Alamin. Hal tersebut hanya bisa terwujud apabila syariah diterapkan secara menyeluruh di dalam institusi Khilafah Rasyidah. Wallahu a’lam. [BS-LMMHTI]
Sumber:
1. Laporan Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah (KPPIP) Juni 2014 – Juli 2015
2. http://www.jawapos.com/baca/artikel/7961/tahap-a-giant-sea-wall-ditarget-rampung-2017
3. Laporan Koordinasi Percepatan Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah (KPPIP) Juni 2014 – Juli 2015
4. http://megapolitan.kompas.com/read/2014/10/15/11072831/.Giant.Sea.Wall.Solusi.Bermasalah.bagi.Jakarta
5. Kertas Kerja Kebijakan “Prakiraan Dampak Giant Sea Wall Teluk Jakarta, 2015, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Laut dan Pesisir, Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
6. http://megapolitan.kompas.com/read/2014/10/15/11072831/.Giant.Sea.Wall.Solusi.Bermasalah.bagi.Jakarta
7. http://sains.kompas.com/read/2014/10/06/20365291/Buka.Data.Kajian.Pembangunan.Giant.Sea.Wall