Oleh H. Luthfi H.
ان المسلم يجعل إيمانه وعقيدته هي القاعدة التي يرجع إليها في محاكمة كل ما يعترضه في الحياة، ويحدد موقفه وسلوكه حسب ما يفرضه عليه إيمانه وما جاءت به العقيدة من أحكام،
Sejatinya seorang muslim harus menjadikan keimanannya dan akidahnya sebagai kaidah (tolak ukur) yang dikembalikan pada –akidah dan kaimanan tersebut– semua persoalan hukum dan apa-apa yang terekspresikan dalam kehidupan. Dan apa saja yang datang dari akidahnya, dari berbagai hukum dalam kehidupan.
Seorang muslim akan menentukan posisi –pilihan kehidupan– dan perilakunya selaras apa yang digariskan oleh keimanannya.
Firman Allah SWT:
(وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّـهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ).
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” (Al Ahzab 36).
Dalam ayat ini, Allah menjadikan kesempurnaan, kelayakan keimanan seseorang dengan ketundukan dia kepada segala ketentuan Rasulullah, yakni hukum-hukum Islam. Tidak ada khiyar, pilihan hukum setelah Allah dan Rasul-Nya menetapkan sebuah hukum, jika memang dia benar-benar beriman kepada Allah.
Sehingga layak dipertanyakan kesempurnaan keimanan seorang muslim, jika dalam berpolitik dia memilih sistem demokrasi, dalam berekonomi ridha kepada Ekonomi Kapitalis yang berlumur dengan riba, dan dalam pergaulan menggunakan standar kebebasan, bukan halal dan haram.
والقاعدة الشرعية تقول: “اﻷصل في اﻷفعال التقيد بالحكم الشرعي”.
Demikian pula qaidah syar’iyyah menyatakan; “hukum asal dari perbuatan itu terikat dengan hukum syara”.
وبهذا وجب على المسلم أن يجعل العمل واﻹيمان متلازمين لا ينفكان، فلا بُدَّ من الربط المحكم بين العقيدة والعمل.
Karenanya, wajib atas setiap muslim untuk menjadikan antara amal dan imannya bersesuaian, tidak terbelah. Harusnya ada mekanisme perekat antara akidah dan perbuatannya.
Tidak ada celah prinsip STMJ, Shalat Terus Maksiat Jalan dalam kamus filosofi seorang muslim. Jika antara akidah dan amal terpisah, iman tidak menhadi tolak ukur perbuatan, jadilah seorang muslim memiliki keperibadian yang terbelah.
Jika demikian yang terjadi, inilah yang menjadikan kehidupan Muslim penuh kehinaan hidup di dunia, dan diakhirat akan disambut dengan adzab yang pedih. Firman Allah SWT;
(أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ)
“Apakah kalian beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripada kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.”
[Surat Al-Baqarah 85]
نعوذ بالله من ذالك
Pertanyaan nya adalah, bagaimana agar keimanan atau akidah tersebut menjadi tolak ukur dalam berbuat?
Berfikir dalam menelusuri jalan keimanan. Iman yang kita akses, keyakinan yang kita terima wajib melalui proses berfikir. Inilah metode meraih keimanan bagi seorang muslim. Di sini rahasia “Thariqul Iman” yang dibahas oleh Al Alim Al Jalil, Syekh Taqiyuddin An Nabhaniy –rahimahullah– dalam Bab awal kitab An Nizham Al Islam (Peraturan Hidup dalam Islam).
Dengan proses berfikir yang mendalam, akan terhujam prinsip-prinsip akidah dan keimanan di dada seorang muslim. Simpul besar kehidupan; dari mana kita berada, mau ke mana kita kembali, dan apa yang harus diperbuat di dunia ini, akan terpecahkan dengan benar.
Inilah metode keimanan yang produktif, keimanan yang akan selalu menjadi tolak ukur saat dia melakukan perbuatan. []