Oleh: Umar Syarifudin – Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia (praktisi politik)
Terpilihnya Setya Novanto sebagai Ketua Umum Partai Golkar di saat kasus papa minta saham belum selesai menyisakan ironi. Masih segar di ingatan bahwa Novanto sempat tersandung masalah etik ketika menduduki jabatan Ketua DPR. Saat itu, Novanto disebut ‘meminta saham’ pada PT Freeport Indonesia yang juga menyeret beberapa nama.
Kasus ini menyeret Setya Novanto dan pengusaha Riza Chalid, terkait perpanjangan kontrak Freeport. Dahulu, sampai digelar sidang MKD DPR untuk Setya Novanto. Hingga akhirnya Novanto mundur dari kursi DPR. Tidak lama Kejagung mengumumkan penyelidikan atas dugaan pemufakatan jahat. Novanto sudah diperiksa Kejagung, dan demikian juga pengusaha Riza Chalid walau tak pernah datang. Tapi waktu berlalu, rupanya kasus ini tak akan berlanjut. Jaksa Agung M Prasetyo menyampaikan untuk sementara kasus ini dihentikan dahulu. “Ya kita endapkan dululah,” tutur Prasetyo di Kejagung, Jl Sultan Hasanudin, Jakarta, Jumat (15/4/2016). Tak diketahui sampai kapan diendapkan (detik.com 15/4).
Pengamat politik dari LIPI, Syamsudin Haris, mengatakan terpilihnya Setya Novanto menunjukkan Golkar yang ‘semakin tidak dewasa’ dan menjadi partai yang ‘sangat transaksional’ terutama dalam langkah mendukung pemerintah. Dia melihat, naiknya Setya Novanto menjadi Ketua Umum Golkar bukan hanya soal pemerintah yang merangkul Golkar, tapi bagian dari perhitungan Golkar untuk menjadi bagian dari kekuasaan.
Sentimen ini juga didukung oleh peneliti ICW, Donal Fariz, yang mengatakan bahwa kepentingan Golkar sekarang adalah ‘bagaimana pendanaan partai distabilkan kembali’. “Mereka kan mengklaim pendanaan untuk partai tidak stabil, contoh saja untuk munaslub ini, masing-masing kader yang jadi calon ketua umum dimintai Rp1 miliar. Tidak mungkin mengandalkan beberapa kader yang duduk di DPR-RI saja yang jadi donator partai.” “Dibutuhkan instrumen lain, seperti jabatan-jabatan di kementerian-kementerian negara,” tambah Donal. (bbc.com 18/5)
Menurut Donal, Setya Novanto memiliki rekam jejak negatif di mata publik. Hal ini terbukti saat yang bersangkutan lengser karena terseret kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo terkait dugaan permintaan saham Freeport Indonesia. “Jelas diputuskan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan DPR bahwa yang bersangkutan melakukan pelanggaran etik berat,” ujarnya. Novanto juga terseret beberapa kasus yang ditangani KPK seperti asus PON Riau, kasus Akil Mochtar, dan e-KTP. Namun, hingga kini tidak ada bukti keterlibatan Novanto dalam semua kasus tersebut. (kompas.com 17/5)
Mengungkit kembali kasus Freeport, betapa mudahnya aturan di negara ini diubah-ubah demi mengikuti kepentingan investor asing seperti PT Freeport. Jika perpanjangan itu kembali dilakukan maka sudah empat kali izin ekspor PT Freeport diperpanjang. dalam UU Minerba 2009 dan Peraturan Pemerintah yang menjadi turunan dari UU itu, peningkatan nilai tambah di dalam negeri harus dilakukan sebelum diekspor. Semestinya aturan itu mengikat pemerintah dan seluruh perusahaan tambang.
Namun, perusahaan tambang raksasa terlihat tidak serius, karena secara ekonomi membangun pemurnian di dalam negeri kurang menguntungkan dibandingkan dengan mengekspor konsentrat. Celakanya lagi, pemerintah juga tidak tegas melaksanakan aturan tersebut dengan berbagai alasan. Peraturan demi peraturan pun diubah untuk menyesuaikan dengan kondisi investor khususnya PT Freeport. Salah satunya, terus memperpanjang ekspor meski pembangunan smelter oleh perusahaan itu tidak mengalami kemajuan signifikan. Jadinya, peraturan mengikuti pihak yang seharusnya diatur.
Kasus meminta saham adalah ranting dari turbulensi Freeport. Masalahnya sejak hadir tahun 1967 lalu, besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh perusahaan itu baik dari aspek ekonomi, kemanusiaan dan lingkungan sudah sangat nyata. Sayang, Pemerintah yang semestinya membela kepentingan negara dan rakyat justru lebih ‘membela’ kepentingan perusahaan itu.
Demi menjaga keamanan investasinya, Freeport menetapkan standar keamanan yang cukup ketat. Meski tidak pernah mengakui secara terbuka, berbagai temuan di lapangan menunjukan bahwa Freeport telah membayar aparat militer Indonesia untuk mengamankan perusahaan itu. Sejumlah mantan militer, polisi serta intelijen dari Indonesia dan AS dipekerjakan untuk menjaga keamanan perusahaan itu.
Freeport juga dikenal sebagai perusahaan yang tidak ramah lingkungan. Limbah tailing yang merupakan residu pertambangan perusahaan itu dibuang tanpa melalui pengolahan yang sesuai standar. Dampaknya, sumberdaya alam di sekitar wilayah pertambangan seperti Sungai Ajkwa, muara, hutan mangrove dan hutan tropis di sekitarnya ikut tercemar. Kadar pencemaran lingkungan yang tinggi tidak hanya mengganggu kesehatan penduduk, namun juga membatasi mereka untuk memanfaatkan sumberdaya alam itu.4 Ironis memang, di satu sisi Freeport mampu mengirim miliaran dolar ke AS, sementara penduduk Indonesia, khususnya penduduk Papua, sebagian besar hidup dalam kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan.
dipetieskannya kasus papa minta saham bukti bahwa demokrasi menyuburkan politik transaksional. Sementara kekayaan alam milik rakyat terus dikuras,rakyat yang jadi korbannya. Sedangkan eksistensi Freeport juga menjadi cermin betapa lemahnya Pemerintah dan kuatnya konspirasi mereka untuk melanggengkan eksistensi perusahaan-perusahaan asing dalam mengeruk kekayaan alam negeri ini.
Akar persoalan kerugian rakyat dan negara akibat dikurasnya emas, perak, dan tembaga di Grasberg Papua oleh PT Freeport adalah penerapan sistem kapitalisme-demokrasi di negeri ini. Untuk itu, sistem kapitalisme-demokrasi harus dicabut dan diganti dengan sistem Islam. Selama sistem kapitalisme-demokrasi diterapkan di negeri ini, maka rakyat dan negara akan terus menanggung kerugian; para kapitalis swasta dan asing akan terus pula dilegalkan oleh undang-undang produk demokrasi untuk mengeruk berbagai kekayaan alam.[]