Menggagas Solusi Tuntas Kekerasan Seksual
HTI Press, Jakarta. Hampir semua pelaku kejahatan seksual tergerak melakukan kejahatannya karena adanya rangsangan yang merangsang syahwatnya, apakah melalui film porno, internet dan lainnya sehingga melampiaskannya dengan cara yang salah. Demikian ungkap Asri Supatmiati Jurnalis dan Redaktur Radar Bogor sebagai panelis pertama dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Menggagas Solusi Tuntas Kekerasan Seksual” di Aula Lt.2 Kantor Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia (MHTI) Tebet Jakarta Selatan, pada Kamis (19/5/2016).
“Hari ini trend media telah berubah dari media konvensional ke media digital. Masyarakat kian mudah mengakses berbagai macam informasi,” ungkap penulis buku “Indonesia dalam Dekapan Syahwat” ini.
Asri melihat tidak hanya sistem ekonomi, pendidikan yang diliberalisasi. Namun sek juga diliberalisasi melalui konten-konten porno, salah satunya lewat media. Menurutnya media yang paling berpengaruh adalah TV dilanjutkan pesaingnya yaitu internet.
“Akses terhadap TV yang paling tinggi sementara internet, media yang paling berpengaruh adalah media sosial,” urainya di hadapan para tokoh dari berbagai kalangan yang hadir.
Sementara konten dari media-media tersebut seperti di media cetak, portal, iklan dan lainnya tidak lepas dari konten yang ada akses porno dan pandangan seksual. Menurut Asri adanya kode etik jurnalistik tidak benar-benar dilaksanakan selama itu mendapatkan keuntungan.
Dikesempatan yang sama, Juru Bicara MHTI Iffah Ainur Rochmah sebagai panelis kedua menyebut kekerasan seksual yang terjadi semakin hari semakin banyak, semakin keji, dan korbannya semakin dini usia. Seperti kasus Yuyun (14) di Bengkulu. “Lantas dimana negara?” tanyanya retoris.
Konon, kata Iffah, dengan semakin banyaknya tekanan masyarakat menuntut negara agar mempunyai peran lebih besar menghentikan kekerasan seksual, negara baru bereaksi. Pemerintah berkomentar bahwa pelaku harus dihukum sekeras-kerasnya dan harus dilakukan langkah-langkah konstruktif untuk membangun kepedulian pada anak. Keluarga pun diminta lebih waspada melindungi anak-anak mereka.
“Namun ketika ditanya, jika para ibu didorong bekerja meninggalkan putra-putrinya, siapa yang melindungi anak-anak mereka? Atau banyak ibu di rumah namun tidak punya kemampuan untuk mendidik dan melindungi anak-anaknya, ini bagaimana?” kritik Iffah.
Iffah juga mempertanyakan Peraturan perundangan (Perpu) yang akan memberlakukan hukuman berat bagi pelaku kejahatan seksual. Di dalamnya terdapat sanksi subsider berupa hukuman kebiri kimiawi serta hukum sosial berupa publikasi identitas pelaku dan diberi gelang chips agar mudah terkontrol. “Apakah ini solusi tuntas apa tidak? Ini bukan solusi tuntas!” tegasnya.
Apa yang direkomendasikan pemerintah tidak menjadi solusi tuntas karena pemicu kekerasan seksual tidak dihapus tuntas. Miras terus diproduksi, hukuman bagi pecandu dan pengedar narkoba yang tebang pilih, konten porno pada media tidak diselesaikan. “Bahkan lebih parah lagi perilaku kebebasan itu difasilitasi negara seperti orang bebas mengumbar aurat, bolehnya pergaulan bebas atau bebas berzina selama tidak ada yang protes,” tambah Iffah.
Jadi mustahil, kata dia, menghentikan kekerasan seksual dengan rekomendasi dari sistem yang berjalan hari ini. “Yakinlah hanya sistem Khilafah, satu-satunya sistem yang mampu menghentikan dan memberi solusi tuntas terhadap kekerasan seksual,” pungkasnya.[] Novita M Noer