Krisis Identitas Muslim Memicu Perilaku Kriminalitas
Jajaran Polsek Taman, Sidoarjo, melakukan razia dibeberapa sekolah, Kamis (19/5/2016) dengan memeriksa gadget siswa untuk menemukan konten pornografi yang disimpan. Razia ini dilakukan untuk mengantisipasi maraknya kasus pencabulan di bawah umur.
Saat ini Indonesia sedang berduka, darurat kekerasan seksual yang salah satunya penyebabnya adalah pornografi. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP dan PA) Yohana Susana Yembise menyatakan setiap hari 25 ribu anak Indonesia telah mengakses tanyangan porno. Jumlah tersebut separuh dari jumlah rata-rata dunia, 50 ribu.
Sungguh ironis, kemajuan teknologi yang harusnya membawa pengaruh positif, justru berdampak dekstruktif bagi generasi muda negara ini yang memang sedang mengalami krisis identitas sebagai seorang Muslim.
Pemuda Muslim saat ini tengah dikepung arus sekulerisme dari berbagai sisi, dimulai dengan sistem pendidikan sekuler yang hanya menempatkan Islam sebagai ibadah ritual saja, sementara sekulerisme justru menjadi ruh aturan kehidupan negeri ini. Nilai-nilai kebebasan dan gaya hidup Barat menyelimuti pemuda Muslim melalui arus informasi media. Mereka menjadi generasi yang bermental lembek, rentan tersulut emosinya, lebih tunduk pada hawa nafsu dibanding pada aturan sang pencipta. Akibatnya mereka menjadi aktor kekerasan seksual baik berperan sebagai pelaku atau korban…sungguh miris.
Promosi gaya hidup Barat serba bebas yang merusak generasi, terus didukung oleh kekuatan ekonomi digital seperti Facebook, Google, Instagram, Apple, Microsoft dan deretan korporasi kapitalis lainnya. Dalam meraih target pasar, mereka bahkan menjajakan tayangan porno yang dikemas dalam bentuk komik, game maupun video porno yang bisa diakses dengan mudah di HP. Parahnya arus ini difasilitasi oleh penguasa Muslim dengan berkomitmen dalam penyebaran nilai-nilai Barat melalui media digital. Seperti tampak dalam kunjungan Jokowi ke Silicon Valley Februari 2016, yang memuji peran twitter dalam demokrasi digital. Sementara dikantor Facebook, Jokowi mengajak CEO Facebook untuk mendukung program ‘Empowering Leaders of Peace Through Digital Platform’ yang digagas Jokowi. Sementara disisi lain penguasa negeri Muslim menjauhkan generasi muda dari agamanya dengan program deradikalisasinya.
Sesungguhnya negara ini telah kritis, tidak hanya darurat kekerasan seksual bahkan saat ini darurat krisis identitas sebagai negara Muslim. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya Muslim, harusnya ‘back to Muslim identity’, yaitu menyakini bahwa aturan Islam kaffah adalah solusi dari semua problematika bangsa termasuk kekerasan seksual.
Ketika negara ini mencampakkan sekulerisme dan mengadopsi sistem Khilafah, maka politik media dalam Islam akan mengadopsi strategi informasi spesifik untuk menyampaikan nilai-nilai yang semakin menguatkan identitas para pemuda Muslim sehingga menjadi sosok yang berkepribadian Islam, kuat, dan bertanggung jawab pada agama dan negaranya. Dengan sistem pendidikan Islam diperkuat suasana politik dan ekonomi Islam yang tidak akan membiarkan kekuatan ekonomi korporasi memanfaatkan kemajuan teknologi hanya untuk eksploitasi pasar tanpa memperhatikan kesehatan mental masyarakat terutama generasi muda.
Hanya Dien Islam dalam naungan Khilafah yang menolak kebebasan seksual, melarang objektifikasi dan eksploitasi perempuan, dan menetapkan kerangka kerja hukum yang komprehensif untuk mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka melindungi martabat mereka. Konsep inilah yang dapat memecahkan epidemi kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan yang menjadi malapetaka bagi dunia saat ini. [] (drg. Luluk Farida, Ko Lajnah Khusus Mahasiswa Muslimah HTI)