Bolehkah Penguasa Mewajibkan Pajak Terhadap Kaum Muslim?

بسم الله الرحمن الرحيم

 Silsilah Jawaban asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”

Jawaban Pertanyaan:

Bolehkah Penguasa Mewajibkan Pajak Terhadap Kaum Muslim

Kepada Khalid Ali Yasin

 

Pertanyaan:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Semoga Allah memelihara Anda. Saya punya pertanyaan, saya berharap Anda berkenan menjawabnya…

Sudah diketahui bersama bahwa “pajak” adalah haram di dalam Islam. Lalu bagaimana daulah islamiyah bisa menyelesaikan defisit khususnya pada hari ini tidak ada “pemberdayaan usyur – kharaj” saat ini?

 

Jawab:

Wa’alaikumussalam wa rahmatullah wa barakatuhu.

Tampaknya terjadi kerancuan pada diri Anda dalam topik pertanyaan tersebut. Anda katakan: “pajak itu haram di dalam Islam”. Ini benar secara umum, akan tetapi dikhususkan pada kondisi-kondisi tertentu… Demikian juga Anda katakan: “sekarang tidak ada usyur atau kharaj”. Perlu diketahui bahwa tanah kaum muslim itu berupa tanah usyriyah atau kharajiyah, dan itu ada. Dan terkait masalah tersebut, Anda sebutkan kalimat: “pemberdayaan, usyur dan kharaj” sedangkan kata pemberdayaan di sini tidak ada tempatnya…

Meski semua itu, akan saya rincikan untuk Anda masalah tersebut supaya jawabannya jelas, tidak ada kerancuan di dalamnya dan tidak ada ambiguitas, in sya’a Allah.

  1. Syara’ melarang penguasa mewajibkan pajak terhadap kaum muslim berdasarkan perintah yang berasal darinya sesuka dia. Rasul saw bersabda:

«لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ»

“Tidak masuk surga orang yang menarik maksun-cukai/pajak-” (HR Ahmad dan dishahihkan oleh az-Zain dan al-Hakim)

Al-maksu adalah pajak yang diambil dari para pedagang di perbatasan negeri. Akan tetapi larangan tersebut mencakup semua pajak dikarenakan sabda Rasul saw dalam hadits muttafaq ‘alaih dari jalur Abu Bakrah:

«إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا…»

“Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian adalah haram seperti keharaman hari kalian ini di negeri kalian ini pada bulan kalian ini…”

 

Dan itu bersifat umum mencakup khalifah seperti juga mencakup orang lainnya… Jadi khalifah tidak boleh mewajibkan pajak agar bisa dibelanjakan, akan tetapi ia membelanjakan dari Baitul Mal.

  1. Akan tetapi, ada kondisi-kondisi yang dikecualikan oleh syara’ dari larangan bersifat umum untuk menarik pajak itu. Dinyatakan nas-nas syara’ yang menjelaskan bahwa belanja atasnya adalah wajib bagi kaum Muslim dan bukan hanya wajib bagi Baitul Mal. Dan berikutnya, maka jika yang ada di Baitul Mal tidak cukup untuk dibelanjakan terhadapnya maka pembelanjaan itu beralih dari Baitul Mal kepada kaum Muslim sehingga diwajibkanlah pajak terhadap orang-orang kaya sesuai kadar pembelanjaan wajib untuk kondisi-kondisi itu tanpa tambahan dan diletakkan pada pos yang untuk itu diwajibkan pajak tersebut… Pajak dalam kondisi-kondisi itu ditetapkan oleh penguasa, bukan menurut hawa nafsunya dan sesuka dia; akan tetapi harus sesuai perintah Allah SWT. Berdasarkan hal ini maka apa yang diwajibkan oleh syara’ terhadap Baitul Mal dan kaum Muslim, terhadapnya dibelanjakan dari Baitul Mal. Jika tidak ada harta di Baitul Mal atau harta yang ada habis atau tidak mencukupi, maka khalifah berwenang mewajibkan pajak terhadap orang-orang kaya sesuai kadar kebutuhan itu menurut hukum syara’… Dalam kondisi ini pajak tidak haram.
  2. Dari paparan sebelumnya jelas bahwa supaya boleh mewajibkan pajak untuk pembelanjaan atas suatu kondisi, maka wajib terpenuhi syarat-syarat berikut:

–    Di Baitul Mal tidak ada harta yang cukup untuk pembelanjaan atas kondisi ini…

–    Nas syar’iy menyatakan bahwa pembelanjaan atas kondisi ini adalah wajib bagi Baitul Mal dan bagi kaum Muslim…

–    Pajak yang diwajibkan tidak lebih dari kadar pembelanjaan yang wajib atas kondisi itu …

–    Pajak itu hanya diwajibkan terhadap orang-orang kaya saja yang mereka memiliki kelebihan dari kebutuhan asasi dan pelengkap secara makruf…

  1. Begitulah, dalam Islam pajak tidak diwajibkan kecuali sesuai syarat-syarat di atas. Yakni, pembelanjaan yang telah diwajibkan syara’ atas Baitul Mal dan kaum Muslim, dalam kondisi tertentu:

– Misalnya, pembelanjaan terhadap orang-orang fakir. Jika Baitul Mal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan orang-orang fakir maka diwajibkanlah pajak sesuai kadar kebutuhan ini tanpa tambahan, dan pajak itu diwajibkan bagi orang-orang kaya. Hal itu karena pembelanjaan terhadap orang-orang fakir bukan hanya wajib bagi Baitul Mal saja, akan tetapi juga wajib bagi kaum Muslim. Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak dari Aisyah ra. bahwa Rasulullah saw bersabda:

«لَيْسَ بِالْمُؤْمِنِ الَّذِي يَبِيتُ شَبْعَانًا وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ»

“Bukanlah seorang mukmin orang yang tidur kenyang sementara tetangganya kelaparan”.

 

Di dalam riwayat ath-Thabarani di Mu’jam al-Kabîr dari Anas bin Malik ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«مَا آمَنَ بِي مَنْ بَاتَ شَبْعَانًا وَجَارُهُ جَائِعٌ إِلَى جَنْبِهِ وَهُوَ يَعْلَمُ بِهِ»

“Tidaklah beriman kepadaku orang yang tidur kenyang sementaranya tetangganya kelaparan dan dia mengetahuinya”.

 

Al-Hakim mengeluarkan di al-Mustadrak dari Ibnu ‘Umar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«وَأَيُّمَا أَهْلِ عَرْصَةٍ أَصْبَحَ فِيهِمُ امْرُؤٌ جَائِعًا، فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُمْ ذِمَّةُ اللَّهِ،»

“Warga kampung manapun yang bangun pagi, di tengah mereka ada orang yang kelaparan maka sungguh jaminan Allah telah lepas dari mereka”.

 

– Misalnya, pembelanjaan atas jihad. Jika Baitul Mal tidak cukup untuk menutup kebutuhan-kebutuhan jihad maka diwajibkan pajak sesuai kadar kebutuhan ini tanpa tambahan. Pajak itu diwajibkan terhadap orang-orang kaya. Hal itu karena pembelanjaan atas jihad bukan hanya wajib bagi Baitul Mal saja, akan tetapi juga wajib bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman:

﴿وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴾

dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui. (TQS at-Tawbah [9]: 41)

 

Dan masih ada dalil-dalil lainnya.

– Misal, pembelanjaan untuk gaji tentara. Jika Baitul Mal tidak cukup untuk menutup kebutuhan-kebutuhan gaji tentara maka diwajibkan pajak dengan kadar kebutuhan ini tanpa tambahan, dan pajak itu diwajibkan atas orang-orang kaya. Hal itu karena pembelanjaan atas gaji tentara bukan hanya wajib bagi Baitul Mal saja akan tetapi juga wajib atas kaum Muslim. Imam Ahmad telah mengeluarkan di dalam Musnad-nya dari Abdullah bin Amru ra, ia berkata: Rasulullah saw bersabda:

«لِلْغَازِي أَجْرُهُ، وَلِلْجَاعِلِ أَجْرُهُ وَأَجْرُ الْغَازِي»

“Untuk orang yang berperang pahalanya dan untuk al-jâ’il upahnya dan pahala orang yang berperang”.

– Misal, pembelanjaan untuk membangun rumah sakit di kota yang di situ tidak ada rumah sakit lainnya dan menyebabkan dharar pada masyarakat jika tidak ada rumah sakit baru itu. Jika Baitul Mal tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pembangunan rumah sakit itu maka diwajibkan pajak sesuai kadar kebutuhan ini tanpa tambahan, dan pajak itu diwajibkan atas orang-orang kaya. Hal itu karena pembelanjaan untuk pembangunan rumah sakit yang sangat diperlukan yang tidak adanya rumah sakit itu menyebabkan dharar, pembangunan ini bukan hanya wajib bagi Baitul Mal saja akan tetapi juga wajib bagi kaum Muslim. Sebab larangan dari dharar bersifat umum. Al-Hakim telah mengeluarkan di al-Mustadrak, dan ia berkata “ini hadits shahih sanadnya”, dari Abu Sa’id al-Khudzri ra bahwa Rasulullah saw bersabda:

«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ، مَنْ ضَارَّ ضَارَّهُ اللَّهُ، وَمَنْ شَاقَّ شَاقَّ اللَّهُ عَلَيْهِ»

“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain. Siapa yang membahayakan maka Allah bahayakan dia, dan siapa yang menyusahkan maka Allah susahkan dia”.

 

– Misal, pembelanjaan atas kejadian-kejadian bencana yang menimpa rakyat baik berupa kelaparan, badai atau gempa… Jika Baitul Mal tidak cukup untuk menutupi biaya bencana maka diwajibkan pajak dengan kadar biaya ini tanpa tambahan, dan pajak itu diwajibkan atas orang-orang kaya. Hal itu karena biaya atas kejadian-kejadian bencana bukan hanya wajib atas Baitul Mal saja akan tetapi juga wajib atas kaum Muslim. Abu Dawud telah mengeluarkan di Sunan-nya dari Ibnu Hujair al-‘Adawi, ia berkata: aku mendengar Umar bin al-Khathab dari Nabi saw dalam kisah ini beliau bersabda:

«وَتُغِيثُوا الْمَلْهُوفَ وَتَهْدُوا الضَّالَّ»

“Dan kalian selamatkan orang yang tenggelam dan engkau tunjuki jalan orang yang tersesat”.

Demikian juga berlaku atasnya dalil-dalil kelaparan yang barusan kami sebutkan.

 

  1. Adapun pembelanjaan yang hanya wajib bagi Baitul Mal dan tidak wajib bagi kaum Muslim, maka ini tidak dibelanjakan atasnya kecuali jika ada di Baitul Mal harta yang mencukupi. Adapun jika tidak ada maka tidak diwajibkan pajak untuk keperluan itu, akan tetapi ditunggu sampai ada harta di Baitul Mal. Hal itu seperti belanja untuk salah satu kemaslahatan kaum Muslim di mana kaum Muslim tidak mengalami dharar dikarenakan tidak adanya kemaslahatan itu. Hal itu seperti pembukaan jalan kedua sementara jalan lainnya ada. Atau pembukaan rumah sakit kedua sementara ada rumah sakit lain yang masih mencukupi. Contoh lain, pembangunan proyek-proyek produktif yang jika tidak dibangun tidak mengakibatkan dharar terhadap umat, seperti pendirian industri ekplorasi nikel, celak atau pembangunan dok untuk untuk membangun kapal komersial dan semacamnya… Perkara-perkara ini dan semisalnya terhadapnya tidak dibelanjakan harta dari Baitul Mal kecuali jika ada harta yang mencukupi untuk itu…
  2. Adapun keberadaan pajak tidak diwajibkan kecuali terhadap orang-orang kaya saja, hal itu karena pajak tidak diambil dari individu kecuali dari kelebihan dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok dan pelengkap secara makruf. Siapa saja dari kaum Muslim yang memiliki kelebihan dari pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokoknya dan kebutuhan pelengkap maka darinya diambil pajak. Siapa saja yang tidak punya sesuatu setelah pemenuhan ini maka darinya tidak diambil sesuatupun. Hal itu karena sabda Rasulullah saw:

«خَيْرُ الصَّدَقَةِ مَا كَانَ عَنْ ظَهْرِ غِنَى»

“Shadaqah yang paling baik adalah yang berasal dari orang kaya”. (HR al-Bukhari dari jalur Abu Hurairah)

Dan kaya itu adalah apa yang tidak dibutuhkan oleh manusia dari apa yang menjadi kadar kecukupannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Imam Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa Rasulullah saw bersabda:

:«اِبْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِيْ قَرَابَتِكَ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِيْ قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا – يَقُوْلُ فَبَيْنَ يَدَيْكَ، وَعَنْ يَمِيْنِكَ، وَعَنْ شَمَالِكَ»

“Mulailah dengan dirimu sendiri dan sedekahkan atasnya, jika ada kelebihan sesuatu maka untuk keluargamu, dan jika ada kelebihan sesuatu dari keluargamu maka untuk kerabatmu dan jika ada kelebihan sesuatu dari untuk kerabatmu maka begini dan begini – beliau mengatakan: di depanmu, sebelah kananmu dan sebelah kirimu.”

 

Jadi ia mengakhirkan orang yang pembelanjaannya menjadi kewajibannya dari dirinya sendiri. Yang seperti itu adalah pajak sebab pajak itu seperti nafkah dan seperti shadaqah. Dan Allah SWT berfirman:

﴿وَيَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنفِقُونَ قُلِ الْعَفْو﴾

Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka pembelanjaankan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. (TQS al-Baqarah [2]: 219)

 

Yakni apa yang dalam pembelanjaannya tidak ada tenaga, dan itu adalah kelebihan dari kebutuhan. Maka pajak diambil dari harta kelebihan dari kebutuhan, yakni hanya diambil dari orang kaya. Pajak tidak diambil dari orang fakir. Orang kaya diketahui oleh direktorat zakat.

  1. Adapun bahwa pajak tidak diwajibkan kecuali sesuai kadar kebutuhan dan kecukupan adalah karena nas-nas syara’ memperbolehkan mengambil pajak untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan golongan tertentu. Inilah yang dikecualikan dari larangan mengambil harta individu tanpa kerelaannya. Karena itu, wajib berhenti pada batas yang dinyatakan di dalam nas-nas, dan jika tidak maka merupakan kezaliman. Jadi tidak boleh mengambil harta seseorang kecuali dengan kerelaan darinya, dan dikecualikan kondisi-kondisi tertentu yang diperbolehkan oleh nas mengambil pajak untuknya dengan kadar kebutuhan tersebut dan kecukupannya.
  2. Dari paparan sebelumnya jelaslah bahwa asumsi adanya defisit “kontinu atau semi kontinu” di “APBN” di daulah al-Khilafah adalah asumsi yang tidak pada tempatnya. Defisit yakni keadaan pendapatan yang tidak mencukupi belanja merupakan perkara menyalahi hukum asal jika penerapan Islam dilakukan dengan baik… Hal itu karena dua hal penting:
  1. Hukum-hukum syariah dengan rinci telah menjelaskan tatacara pemungutan harta oleh daulah dan tatacara pembelanjaannya. Hukum syariah tidak menjadikan hal itu untuk ijtihad dan penilaian manusia… Hukum syariah menjadikan infak atas sebagian perkara tidak bergantung pada ada atau tidak adanya harta di Baitul Mal sebab pembelanjaan (infak) terhadapnya adalah wajib bagi Baitul Mal dan kaum Muslim… Kami telah jelaskan di atas perkara-perkara yang pembelanjaan terhadapnya adalah wajib baik apakah ada harta di Baitul Mal atau tidak ada… Dan untuk perkara-perkara ini diwajibkan pajak jika tidak ada harta di Baitul Mal.Adapun pembelanjaan yang hanya wajib bagi Baitul Mal dan tidak wajib bagi kaum Muslim maka pembelanjaan itu tidak dilakukan kecuali jika di Baitul Mal kaum Muslim ada harta yang mencukupi untuk pembelanjaan tersebut dan untuknya tidak diwajibkan pajak seperti yang telah kami jelaskan sebelumnya …
  2. Pemasukan Baitul Mal yang kontinu adalah: fay`i, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah … Demikian juga pemasukan kepemilikan umum dengan berbagai jenisnya, pemasukan kepemilikan negara, usyur, khumus rikaz, barang tambang, harta zakat … Dan pada asalnya harta pemasukan Baitul Mal yang kontinu mencukupi untuk pembelanjaan atas apa yang pembelanjaanya wajib bagi Baitul Mal baik dalam kondisi ada harta atau tidak ada harta… Dengan begitu terjadinya defisit keuangan untuk menutupi pembelanjaan ini merupakan perkara yang jauh kemungkinannya terjadi…

Ada rincian-rincian yang memadai yang telah kami jelaskan di buku-buku kami Nizhâm al-Iqtshâdî, al-Amwâl fî Dawlah al-Khilâfah, Muqaddimah ad-Dustûr

Saya berharap jawaban ini telah mencukupi, dengan izin Allah SWT.

 

 

Saudaramu

 

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

 

12 Sya’ban 1437 H

19 Mei 2016 M

http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/37272.html#sthash.C6E4JNRH.dpuf

https://www.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192.1073741828.122848424578904/477762799087463/?type=3&theater

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*