Peraturan Penghapusan Kekerasan Seksual: Perlindungan Abal-abal bagi Anak-anak

kekerasan seksual anakOleh: Pratma Julia Sunjandari (Lajnah Siyasi DPP MHTI)

Kegeraman masyarakat terhadap berbagai kasus kejahatan seksual yang terjadi pada anak-anak berujung pada sikap pemerintah untuk menguatkan kembali regulasi terkait masalah perlindungan anak-anak.  Sekalipun Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa menyatakan solusi akan diterapkan  sejak hulu hingga hilir[1], namun yang paling mengemuka adalah penambahan hukuman bagi pelaku kekerasan seksual.  Seperti Rakor yang dipimpin Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK), Puan Maharani yang  secara khusus membahas amandemen UU perubahan kedua atas UU No.23/2002 tentang Perlindungan Anak. Amandemen tersebut menambahkan substansi penambahan hukuman, pendampingan dan rehabilitasi kejiwaan.[2]

Begitu pula Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PP-PA) Yohana Yembise yang minta ada pasal tentang ancaman hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati bagi pelaku yang menyebabkan korbannya meninggal dunia.  Karena itu, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) harus segera diproses menjadi UU.  Sekian lama RUU tersebut hanya masuk dalam long-list prolegnas 2015 – 2019. [3]  Tak yakin dengan kinerja dewan, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan kementerian terkait untuk merumuskan Perppu (Peraturan pemerintah pengganti undang-undang) sebagai payung hukum untuk kejahatan tersebut.[4]

Mensos Khofifah menegaskan bentuk pemberatan bermacam-macam, mulai dari penambahan masa penjara, hukuman mati, hingga hukuman kebiri bagi residivis.  Upaya law enforcement (penegakan hukum) itu akan diiringi dengan percepatan layanan pengaduan masyarakat dan pendampingan kepada masyarakat.[5]

Pemberatan  Hukuman, Efektifkah?

Pemberatan hukuman yang dimaksudkan pemerintah, diungkapkan dengan lugas oleh Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly.   Ada dua jenis hukuman di dalam Perppu, yakni hukuman pokok dan hukuman tambahan.  Hukuman pokok berwujud penambahan masa maksimal hukuman penjara selama 20 tahun.  Dalam UU No.35/2014 tentang Perlindungan Anak (revisi), hukuman maksimal bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak ialah hukuman penjara selama 15 tahun.  Setelah hukuman pokok, terdapat hukuman tambahan berupa kebiri, pemasangan chip dan publikasi identitas pelaku. Kebiri kimia bisa diberikan kepada pelaku saat di dalam penjara atau sebelum keluar penjara. Pelaku juga bisa dipasangi chip elektronik di pergelangan kaki sebelum keluar penjara untuk memantau pergerakannya.[6]

Sedangkan dalam draft RUU PKS, hukuman pidana tersingkat berlaku bagi pelaku kejahatan yang melakukan kontrol seksual dengan penjara paling sedikit 1 tahun. Hukuman terlama, yakni seumur hidup diberikan bagi setiap orang yang melakukan perkosaan secara berencana, berulang, atau dengan tujuan mendapatkan kekuatan, penyembuhan, atau menimbulkan suasana ketakutan di dalam masyarakat.  Sanksi itu juga berlaku bagi penjahat yang menjadikan kejahatan seksual  sebagai pekerjaan atau kebiasaan. [7]

Lalu, bagaimana hukuman bagi predator seksual yang memangsa anak-anak?  Tindak pidana yang menimpa seseorang yang belum berumur 18  tahun, menyebabkan pelaku paling singkat dipenjara 18 tahun dan paling lama 40 tahun.  Apabila tindak pidana mengakibatkan korban meninggal dunia maka ancaman pidana menjadi 2 kali lipat hingga seumur hidup.[8]

Jika pelakunya yang masih tergolong ‘anak-anak’ -dalam terminologi Barat-  yang berusia 16 tahun sampai sebelum 18 tahun, maka ancaman pidana dan tindakan yang dijatuhkan mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan ditambah kewajiban rehabilitasi pelaku paling sedikit 9 bulan dan paling lama 3 tahun.  Anak yang belum berusia 16 tahun, tindakan yang dijatuhkan dikurangi 1/3, dengan ditambah kewajiban rehabilitasi pelaku paling sedikit 3 bulan dan paling lama 1 tahun. Sedangkan anak yang belum berusia 12 tahun, maka hukuman dikurangi 2/3, dengan ditambah kewajiban rehabilitasi antara 6 bulan sampai 1 tahun. [9]

Tujuan pemberatan hukuman tentu bermuara pada penanaman efek jera bagi pelaku kejahatan dan orang yang berkeinginan melakukan tindakan serupa.  Namun, dengan hukuman yang kian berat apakah dijamin, tujuan tersebut mampu teralisir?   Clara Siagian, peneliti Pusat Kajian Perlindungan Anak Universitas Indonesia, menilai beragam hukuman yang terangkum dalam rancangan Perppu tentang kekerasan seksual terhadap anak cenderung reaktif dan bombastis.  Menurutnya, solusi cepat ala pemerintah itu dipertanyakan efektifitasnya dalam jangka panjang.[10]

Sebenarnya, efektifitas sanksi ala sistem demokrasi ini patut dipertanyakan.  Secara umum, akal manusia amat terbatas untuk menyusun peraturan termasuk membuat sanksi yang menjerakan.  Peraturan yang dibuat di Indonesia, maupun di negara kapitalis manapun tidak sanggup mengakomodir jenis perkara kriminal yang kian berganti tahun kian mengerikan dan makin tak mampu dinalar akal sehat.  Peraturan yang diharapkan menjadi payung hukum, seperti  UU Perlindungan Anak saja,  tak sampai berusia 15 tahun sudah akan mengalami 2 kali revisi.

Lihatlah pula hukum positif yang diterapkan di Perancis, negara tempat kelahiran filsuf- filsuf perumus teori negara demokrasi. Pada 2012, parlemen Perancis meloloskan RUU yang mengatur soal pelecehan seksual sebagai tindak pidana.  Bila melecehkan seorang permpuan, para pelakunya akan menghadapi hukuman dua tahun penjara dan denda hingga US$ 37.000  (sekitar Rp 500 juta).[11]  Denda uang memang lazim digunakan negara-negara Eropa untuk menghukum pelaku kejahatan.[12]

Namun, sanksi berat tidak mampu menghentikan kejahatan seksual di Perancis. Tujuh belas perempuan mantan menteri Prancis, termasuk direktur Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde, mengatakan tidak akan tinggal diam lagi mengenai maraknya pelecehan seksual dalam dunia politik Perancis. Dalam artikel opini yang dimuat di Journal du Dimanche (15/5/2016), para perempuan itu berjanji akan mempublikasikan “semua pernyataan seksis,” serta “tindakan dan perilaku tidak pantas” yang dilakukan para pejabat politik Prancis. Artikel itu diterbitkan hanya beberapa hari setelah sembilan perempuan mengeluhkan pelecehan seksual oleh Denis Baupin, wakil ketua majelis rendah parlemen.[13]

Kontroversi Kebiri Kimiawi

Itu bila berkaitan dengan hukuman pokok.  Bagaimana dengan hukuman tambahan?  Secara khusus, hukuman kebiri kimiawi menjadi hukuman yang paling menuai kontroversi.  Tak kurang dari Menteri PP-PA, Yohanna Yembise turut berkomentar bahwa sampai saat ini belum ada bukti yang menunjukkan hukuman kebiri dapat menurunkan kasus kejahatan seksual pada anak.  Dengan sudut pandang berbeda, Menteri Kesehatan Nila Djuwita Moeloek mengatakan sanksi kebiri akan menyulitkan dokter sebagai eksekutor.  Sebab dari sudut pandang etika kedokteran, dokter wajib mengobati dan mengembalikan fungsi organ tubuh bukan malah merusaknya.[14]

Pengamat Hukum Tata Negara, Margarito Kamis juga menilai tuntutan pemerintah yang mendesak hukum kebiri dan memberi chip sebagai sanksi berat bagi pelaku kejahatan seksual dianggap melanggar konstitusi warga negara.   Menurutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan lebih matang hukuman yang tidak melanggar konstitusi warga negara. “Pertanyaan konstitusionalnya, dengan mengebiri orang bagaimana cara mereka mengembangkan keluarga dan keturunannya,” ujarnya.[15]

Pendapat yang menyatakan hukuman kebiri kimiawi tidak akan membuat para pelaku jera juga disampaikan Psikolog forensik, Reza Indragiri Amriel.  Dalam sangat banyak kasus kejahatan seksual terhadap anak, motif pelaku ialah dominansi dan kontrol : ada amarah, dendam, kebencian yang berkobar-kobar.  Dengan hukuman kebiri, nanti malah lebih bahaya karena anak-anak selaku target lunak, merupakan pihak yang paling mudah dijadikan sebagai sasaran pengganti pengekspresian sakit hati sang predator.  Pelaku kejahatan seksual, akan menggunakan cara-cara yang lebih brutal untuk melumpuhkan korbannya.[16]

Menurut Reza, keterbangkitan seksual tidak sebatas karena faktor hormonal, tetapi juga masalah fantasi. “Seperti seorang anak yang belum memasuki usia pubertas pun tetap bisa menunjukkan respons fisik pada alat vitalnya manakala terangsang secara seksual setelah membaca materi-materi pornografi,” katanya.  Apalagi hukuman kebiri kimiawi juga akan sangat merepotkan lantaran menggunakan metode suntik, yang membuat predator harus diinjeksi secara berkala. Betapa besar anggaran negara yang dialokasikan untuk merawat secara teratur para pelaku kejahatan seksual.

Suntik hormonal dalam rangka mematikan nafsu seksual predator justru mengandung efek samping, baik fisik maupun psikis. Ketika efek samping itu muncul dan pelaku  tersebut merasa perlu berobat, secara prosedural ia akan mengunjungi puskesmas ataupun dokter umum di rumah sakit. Sumber pembiayaan pelaku berasal dari kartu Indonesia sehat (KIS). “Apakah pemerintah rela membiarkan KIS-nya digunakan penjahat-penjahat seksual,” kata Reza. [17]

Hukum kebiri senyatanya memang telah memakan korban.  Di Inggris, seorang ilmuwan terkenal yang kisah hidupnya baru saja diangkat dalam film berjudul The Imitation Game, Alan Turning telah menjadi korban dari tindakan kebiri. Ia ditangkap polisi Inggris di tahun 1952 karena menjadi homoseksual. Tak tahan menjalani efek dari suntikan kebiri, Turning akhirnya bunuh diri di usia 41 tahun.  Saat ini para narapidana kejahatan paedofilia di Inggris secara sukarela menjalani suntikan kebiri. Mereka memang tak mau kejahatan itu terulang lagi. Sebanyak 25 narapidana secara sukarela melakukan suntikan ini di tahun 2014.[18]

Tapi solusi sukarela itu juga tidak mampu mengatasi kasus-kasus paedofilia.  Polisi Inggris yang menyelidiki dugaan kekerasan seksual pada anak mengatakan lebih dari 1.400 orang telah menjadi tersangka, 261 diantaranya adalah “tokoh-tokoh publik” termasuk puluhan politisi dan bintang televisi.  Isu kekerasan terhadap anak-anak ini muncul secara meluas pada 2012 ketika mantan pembawa acara televisi BBC Jimmy Savile diperlihatkan telah melakukan kekerasan terhadap ratusan korban selama puluhan tahun.  Kepala Polisi Constable Simon Bailey  -pejabat yang memimpin penyelidikan bernama Operasi Hidran- mengatakan bahwa 666 pelaku yang sedang diselidiki diduga melakukan kekerasan di sekolah, panti asuhan, dan tempat ibadah.  Jumlah insiden yang dilaporkan ke polisi telah meningkat 71 persen dalam tiga tahun terakhir, sehingga menjadi 113.291 kasus tahun 2015. [19]

Kejahatan seksual memang akan terus menjadi momok di negara-negara kapitalis, termasuk d inegeri-negeri muslim,  karena memang masalah tidak mungkin diselesaikan secara tuntas. Semua berawal dari penyangkalan mereka, bahwa kasus-kasus kekerasan seksual disebabkan perilaku mereka yang mendewakan syahwat.  Padahal perempuan yang mengumbar aurat dan ajakan berperilaku seks bebas menjadi fenomena yang terjadi setiap hari dan mengisi fantasi liar manusia-manusia yang tidak takut akan kehidupan sesuadah mati.  Lalu, bagaimana kebejatan seksual bisa dihentikan bila akar penyebab masalahnya tidak pernah disentuh dalam penanganan?

Selain solusi yang serampangan, pemerintah sendiri selalu setengah hati dalam menyelesaikan masalah masyarakat.  Lagi-lagi dana menjadi persoalan.  Gunarta, seorang  Perencana di Bappenas, menyatakan dalam hal penyelesaian perkara (clearing rate), khususnya kejahatan konvensional cenderung stagnan pada kisaran 50 persen. Kasus-kasus kejahatan konvensional seperti pencurian, penipuan, pemerkosaan, sampai dengan pembunuhan mengalami stagnasi clearing rate karena terkait dengan keterbatasan anggaran penyelidikan dan penyidikan tindak pidana. Di Indonesia, setiap kasus tindak pidana telah ditetapkan besaran biayanya. Dengan demikian kinerja setiap unit reserse diukur dari pencapaian target yang telah ditetapkan. Artinya jika dalam satu tahun ditargetkan sebanyak 40 kasus maka maksimal kasus yang diselesaikan sebanyak 40 kasus. Jika melebihi target atau terlalu berprestasi justru akan dipertanyakan,”dapat biaya dari mana?”[20]

Kondisi tersebut menyebabkan para penyidik tidak dapat melakukan improvisasi secara bebas dan terpaksa tebang pilih kasus yang dianggap menonjol dan dapat me-moncer-kan kariernya. Akibatnya banyak kasus-kasus yang dianggap tidak berbobot terpaksa tidak ditindaklanjuti dan dilepas begitu saja.[21]

Pelibatan Masyarakat : Melepas Tanggung Jawab

Salah satu keberhasilan pelaksanaan tugas dan fungsi kepolisian, terutama dalam hal penanganan tindak kriminalitas, adalah seberapa besar partisipasi masyarakat dalam melaporkan tindak kejahatan yang dialaminya. Tanpa laporan dari masyarakat polisi tidak dapat melakukan langkah penyelidikan dan penyidikan terhadap suatu kasus kejahatan yang menimpa masyarakat.[22]

Bisa jadi pertimbangan tersebut yang menjadikan draft RUU PKS mencantumkan partisipasi masyarakat.  Masyarakat diminta dalam pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Peran serta masyarakat dapat memberikan informasi, melaporkan,  melakukan sosialisasi tentang penghapusan kekerasan seksual, memantau kinerja aparat penegak hukum,  memberikan perlindungan terhadap korban atau membantu proses pemulihan korban.[23]

Menyikapi hal itu, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Ledia Hanifa Amaliah berpendapat perlu dibentuk semacam satuan tugas di tingkat RT/RW yang diisi oleh masyarakat untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan terhadap anak.[24]  Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan juga bereaksi dengan menerapkan kembali Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 82 tahun 2015.  Peraturan tersebut mengharuskan sekolah-sekolah untuk memiliki gugus unit pencegahan kekerasan yang terdiri dari guru, siswa, dan orang tua. [25]

Memang, sudah menjadi kewajiban setiap masyarakat untuk peduli akan keselamatan generasi penerusnya.  Termasuk kepedulian itu bila selalu kritis ketika menghadapi kemunkaran.  Rasulullah SAW telah memperingatkan Kita tentang keharusan amar ma’ruf nahi munka.,  Hendaklah kamu beramar ma’ruf (menyuruh berbuat baik) dan bernahi mungkar (melarang berbuat jahat). Kalau tidak, maka Allah akan menguasakan atasmu orang-orang yang paling jahat di antara kamu, kemudian orang-orang yang baik-baik di antara kamu berdo’a dan tidak dikabulkan (do’a mereka). (HR. Abu Zar)

Namun dalam kondisi kapitalistik yang sekularis liberal begini, masyarakat tidak akan sanggup melawan kekuatan besar yang mengaruskan ide-ide rusak yang mengatasnamakan kebebasan : pornografi, pornoaksi, miras, narkoba dan pengabaian nilai-nilai agama serta moralitas. Faktor-faktor tersebut memberi andil besar dalam menciptakan kasus-kasus kejahatan seksual. Keuntungan luar biasa besar yang dihasilkan dari industri maksiat, membuat korporasi penyedia komoditi/jasa tersebut enggan mengubur tambang emasnya.  Pemerintah pun tidak serius membuat regulasi yang tegas melarang bisnis-bisnis maksiat tersebut dan menegakkan sanksi keras atas kejahatan tersebut.  Lalu, masyarakat yang tidak memiliki kewenangan luas, diharapkan untuk mengatasi semua halangan itu? Sungguh tidak fair.  Yang mampu dilakukan masyarakat adalah menjadi kekuatan penekan secara politis untuk melawan kekuatan-kekuatan besar berwujud entitas internasional, pemerintah, korporasi, organisasi binaan asing  dan sebagainya.

Tidak bisa dipungkiri jika arus kemunkaran tersebut berasal dari nilai-nilai liberal yang disebarluaskan secara masif dengan memanfaatkan lembaga internasional.  Fatalnya, dengan dalih untuk mengefektifkan penghapusan kekerasan seksual, pemerintah diwajibkan melaksanakan kerja sama internasional baik yang bersifat bilateral, regional, maupun multilateral. Bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[26]

Jelas dengan membuka akses seluas-luasnya bagi peran serta masyarakat  internasional,  yang akan menerapkan perundang-undangan, hukum, dan kebiasaan internasional, akan meniscayakan nilai-nilai liberal kian menjadi standar dan budaya masyarakat kita.  Apalagi pergerakan entitas internasional mendapatkan perpanjangan tangan dari personal, pemerintah maupun lembaga yang berafiliasi dengannya.  Dengan arus westernisasi yang gencar, jangan salahkan masyarakat, terutama generasi muda,  jika mereka makin teralienasi dari pemahaman benar-salah sesuai tuntunan syariat, dan lebih merasa menjadi masyarakat universal (baca: Barat) daripada Muslim.

Pemaksaan Ide Jender yang Merusak

Salah satu nilai liberal yang melatarbelakangi pembuatan semua regulasi anti kekerasan ini adalah ide kesetaraan jender. Indonesia, sebagai negara yang telah meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women)  telah diwajibkan untuk menjalankan langkah-langkah perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan korban kekerasan.  Oleh sebab itu, sejak tahun 2011 kalangan feminis telah menuntut DPR segera membahas RUU Kekerasan Seksual yang digagas LBH APIK.[27]  Namun kampanye kalangan feminis itu baru mendapat respon dari Sidang Paripurna DPR RI tanggal 26 Januari 2016 yang menetapkan Prolegnas Tahun 2015-2019 dengan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.[28]

Desakan internasional juga sangat kuat terhadap isu tersebut, seperti kampanye global yang dicanangkan UN Women  (the United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women)  dengan tajuk End Violence  Against Women (EVAW). Targetnya, penghapusan kekerasan terhadap perempuan  menjadi kebijakan global, terutama di dunia muslim.  Isu ini pula yang menjadi salah satu agreed conclusions yang dihasilkan oleh Commission on the Status of Women (CSW) ke-60 yang diselenggarakan pada 14-25 Maret 2016 di markas besar PBB New York. Komnas Perempuan, sebagai salah satu wakil Indonesia dalam forum tersebut melakukan peran strategisnya, yaitu mengawal isu kekerasan terhadap perempuan agar menjadi prioritas yang diperjuangkan oleh Delegasi Republik Indonesia.[29]

Isu jender memang menjadi senjata Barat untuk menggulirkan program peningkatan partisipasi perempuan  di ranah publik.  Namun ‘eksploitasi’ massif perempuan ini terhalang dengan kasus-kasus kekerasan yang menimpa mereka.  Dengan gegabah, kalangan pejuang jender menyederhanakan masalah dengan menganggap semua masalah yang berkaitan dengan perempuan dan anak selalu diawali dengan pandangan diskriminatif, termasuk pada masalah kekerasan seksual. Seperti pendapat Wakil Ketua Komnas Perempuan Yuniyanti Chuzaifah yang mengingatkan bahwa pemberantasan kekerasan seksual harus menyentuh akar persoalan. Yaitu, pola pikir masyarakat terhadap kejahatan seksual serta diskriminasi dan ketimpangan jender di masyarakat.[30]

Karena itu, draft RUU PKS ini amat kental dengan muatan jender.  Dalam bagian ketiga tentang Bentuk-bentuk Pencegahan dalam Pasal 14 poin b, pernyataan Mengubah atau menghapus kebijakan segala bentuk praktek tradisi dan kebijakan diskriminatif yang menjadikan seksualitas sebagai sasaran adalah contoh pemaksaan ide tersebut.  Demikian pula dalam pembahasan rehabilitasi pelaku, pemaksaan ide jender terdapat dalam kalimat-kalimat :  mengubah perspektif pelaku tentang relasi kehidupan yang setara dan berkeadilan; rehabilitasi meliputi pendidikan pemahaman mengenai hak asasi manusia, seksualitas, dan gender; pendidikan masyarakat diarahkan pada praktek hidup berkesetaraan gender, saling menghormati antar jenis kelamin, penghormatan pada identitas gender.[31]

Pemaksaan feminis mengaitkan ide jender dengan semua persoalan, jelas dilatarbelakangi berbagai motif. Pidato mantan Direktur Eksekutif UNWomen, Michele Bachelet di  Pacific Islands Forum on Climate Change di Kepulauan Cook 28 Agustus 2012 menyatakan bahwa memajukan persamaan hak laki-laki dan perempuan berarti menciptakan masyarakat sehat dan ekonomi berkelanjutan. Bila kesetaraan terjadi, diskriminasi akan menghilang, sehingga potensi perempuan untuk memajukan pembangunan ekonomi akan berkembang.  Sedangkan kekerasan terhadap perempuan dan anak pasti akan menimbulkan beban sosial ekonomi.  Hal itu akan menghambat produktivitas, mengurangi kemampuan SDM dan melemahkan pertumbuhan ekonomi. Sebuah laporan dari  US Centers for Disease Control and Prevention tahun 2003 memperkirakan bahwa biaya akibat kekerasan pasangan intim di Amerika Serikat saja melebihi US $ 5,8 miliar per tahun.  Untuk pelayanan medis dan kesehatan saja membutuhkan US $ 4,1 miliar.

Di lain pihak, demi menghantam ‘ekstrimisme’ Islam, dengan berani kelompok-kelompok itu menyodorkan berbagai fakta untuk sekedar meyakinkan khalayak bahwa amalan hukum syariah sangat diskriminatif dan berpotensi mengundang kekerasan terhadap perempuan. Menurut mereka, aturan-aturan  itu mengandung  pemaksaaan, pembatasan dan pembedaan sehingga mengurangi jaminan rasa aman bagi perempuan, juga melembagakan diskriminasi.

Secara bersamaan mereka sampaikan bahwa praktek-praktek yang berasal dari Barat, tidak diskriminatif, toleran, lebih menghargai hak asasi dan ramah kepada perempuan.  Masyarakat yang tak dekat dengan Islam, makin mudah ter-Barat-kan oleh sistem.  Lambat laun, masyarakat akan mentolerir semua perilaku-perilaku impor itu, hingga mereka menjadi permisif terhadap semua penyimpangan.  Sudah saatnya masyarakat dimampukan agar berani menolak ide-ide bathil yang tidak pernah mampu menyelesaikan masalah, bahkan menjerumuskan manusia pada jurang kenistaan.

Perlindungan Abal-abal bagi Anak-anak

Muara dari semua solusi kejahatan seksual yang digagas oleh rezim Jokowi tidak akan mampu menghentikan predator seksual.  Senyatanya, semua penanganan tersebut adalah perlindungan abal-abal.  Disangka sebagai perlindungan, namun tidak mampu menjadi perisai bagi kehidupan mereka.  Juga tidak mampu menghilangkan semua ancaman.  Artinya, selama faktor-faktor penyebab kejahatan tidak mampu dilenyapkan, keamanan, kehormatan dan  nyawa anak-anak masih terancam.  Jikapun ada upaya merehabilitasi pelaku kejahatan, lingkungan tempat hidup masyarakat yang sekuler dan liberal masih akan menyimpan benih-benih kerusakan yang berpotensi menjadi ancaman laten bagi anak-anak.

Begitulah yang terjadi bila pemerintah dan masyarakat tidak mau keluar dari konsepsi demokrasi sekularis yang mendasarkan penyelesaian problem manusia dari ‘kecerdasan’ akalnya.  Padahal, seumur peradaban manusia, solusi yang didasarkan pada hukum ciptaan manusia hanya berujung pada persoalan baru, bukan penyelesaian masalah.

Seharusnya penanganan kejahatan dilakukan secara preventif dan kuratif. Tanpa upaya preventif, apapun langkah kuratif yang dilakukan, seperti menjatuhkan sanksi hukum yang berat, tidak akan pernah efektif.  Bahkan upaya pemerintah untuk menerapkan hukum kebiri bagi laki-laki pedofilia adalah suatu kesesatan dan dosa besar yang sama sekali tidak boleh didukung oleh umat Islam. Upaya penerapan hukum kebiri tersebut di samping menunjukkan kebodohan terhadap Syariah Islam, juga menunjukkan kegagalan yang total dalam penanggulangan kejahatan seksual terhadap anak.[32]

Sesungguhnya penanggulangan kejahatan seksual terhadap anak, bahkan penanggulangan semua penyakit sosial yang ada dalam sistem sekuler-kapitalis saat ini, wajib dikembalikan kepada Syariah Islam yang diterapkan secara kaaffah dalam negara Khilafah. Dengan tiga pilar pelaksanaan Syariah Islam, yaitu ketakwaan individu, kontrol sosial, dan penegakan hukum oleh negara, insya Allah semua penyakit dan kejahatan sosial akan dapat dikurangi atau bahkan dilenyapkan dari muka bumi dengan seizin Allah.[33]

Walhasil, kejahatan ini tidak akan terjadi bila masyarakat memiliki keyakinan bahwa sekecil apapun perbuatan buruk, akan diketahui Allah SWT dan pasti mendapatkan balasan di hari akhirat. Keterikatan pada hukum syariat mampu mencegah perbuatan dzolim apapun dan terhadap siapapun.  Mekanisme sistem sanksi dalam Khilafah Islam yang tegas pun akan menjadi penghalang kemaksiatan, karena keberpihakan hanya berlaku pada hukum Allah, bukan pada penguasa ataupun pengusaha. []

Catatan kaki:

  1. http://epaper1.kompas.com/kompas/books/160513kompas/#/5/
  2. http://www.kemenkopmk.go.id/artikel/pemerintah-siapkan-peraturan-perlindungan-bagi-anak-anak#sthash.kOegZcIA.dpuf“
  3. http://www.antaranews.com/berita/559003/menteri-yohana-bereaksi-keras-pada-kasus-yuyun
  4. http://www.voaindonesia.com/content/presiden-jokowi-kejahatan-seksual-terhadap-anak-adalah-kejahatan-luar-biasa/3324087.html
  5. Ibidem 1
  6. http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160511_indonesia_perppu_reaktif
  7. DRAFT RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL SAMPAI DENGAN 1 SEPTEMBER 2015
  8. Ibidem 7
  9. Ibidem 7
  10. Ibidem 6
  11. http://update.ahloo.com/2016/05/03/6-negara-ini-beri-hukuman-berat-pada-pelaku-pelecehan-seksual
  12. https://books.google.co.id/books?id=_tWCLog8FPoC&pg=PA186&lpg=PA186&dq=denda+uang+sebagai+hukuman+efektifitas&source=bl&ots=iqLfQjALXy&sig=COV1nN-uKG17h93vReT25cQP5lg&hl=en&sa=X&ved=0ahUKEwiLtaiA3ODMAhUG2KYKHfKlCRcQ6AEILjAC#v=onepage&q=denda%20uang%20sebagai%20hukuman%20efektifitas&f=false
  13. http://www.voaindonesia.com/content/mantan-menteri-perancis-kecam-kekerasan-seksual-dalam-dunia-politik/3331861.html
  14. http://www.beritasatu.com/blog/tajuk/4717-prokontra-hukuman-kebiri.html
  15. http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/05/12/o729zq384-hukum-kebiri-bisa-menghilangkan-hak-konstitusional-warga
  16. http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/16/05/12/o72iv3384-dampak-negatif-hukuman-kebiri-kimiawi
  17. Ibidem 16
  18. http://health.kompas.com/read/2015/10/23/170000323/Daftar.Negara.yang.Memiliki.Hukuman.Kebiri
  19. http://www.voaindonesia.com/content/polisi-inggris-261-tokoh-tersangka-kekerasan-seksual-pada-anak/2780575.html
  20. http://news.detik.com/opini/1390680/rasio-polisi-dan-kinerja-kepolisian-
  21. Ibidem 20
  22. Ibidem 16
  23. Ibidem 7
  24. http://www.antaranews.com/berita/558997/aanggota-dpr–masyarakat-harus-berperan-lindungi-anak
  25. http://www.antaranews.com/berita/560354/mendikbud-minta-sekolah-bentuk-unit-pencegahan-kekerasan
  26. Ibidem 7
  27. http://hizb-indonesia.info/2011/12/06/kampanye-antikekerasan-terhadap-perempuan-sebuah-pengukuhan-paham-kebebasan/
  28. Berita Komnas Perempuan EDISI 19 2016 www.komnasperempuan.go.id
  29. http://www.komnasperempuan.go.id/siaran-pers-komnas-perempuan-menyambut-penyelenggaraan-komisi-status-perempuan-commission-on-the-status-of-women-ke-60-di-pbb/
  30. Ibidem 3
  31. Ibidem 7
  32. http://hizb-indonesia.info/2015/10/26/pro-kontra-hukuman-kebiri-dalam-perspektif-syariah-islam/
  33. http://hizb-indonesia.info/2016/05/13/akibat-syariah-tak-diterapkan-perempuan-pun-jadi-korban/

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*