Kejahatan Seksual, Pemerintah Lalai Wujudkan Keamanan
Hilangnya Rasa Aman Tidak Hanya di Ruang Publik
Buruknya aspek keamanan di tempat umum dan fasilitas umum khususnya transportasi publik telah berkontribusi pada tindakan kejahatan seksual,(*) yang kejadiannya kian mengkhawatirkan. Selama 5 tahun terakhir sedikitnya diberitakan lima kasus perkosaan dan pelecehan seksual di transportasi publik. Ini hanyalah puncak dari fenomen gunung es, yang jumlah sesungguhnya bisa puluhan kali lipat, di antaranya berakhir dengan pembunuhan sadis.
Tidak hanya di tempat dan fasilitas umum, rasa aman dari kejahatan seksual juga telah hilang di rumah, yang semestinya menjadi tempat perlindungan pertama dan utama bagi anak dari kejahatan seksual. Hunian yang sempit terbukti pemicu perlakuan perkosaan terhadap anak-anak. Dewan Pakar The Housing Urban Development Institute Danang Priatmodjo menyatakan, “Rumah petak sempit picu pemerkosaan ke anak. Karena orang tua tidur dengan anak sehingga timbul niat buruk. Ini dicatat oleh Polda Metro. Pemicunya salah satunya karena rumah sempit,…Kita masih lihat sehari-hari ada kosan atau tempat tinggal sempit. Ada yang tinggal di dalam ruangan 3X4 meter tapi didiami oleh bapak, ibu, anak. Tinggal disitu. Nggak ada ruang lain.” Berdasarkan angka backlog (selisih pasokan dan permintaan perumahan) yang cukup tinggi.
Pemerintah Lalai
Kondisi buruk ini adalah akibat pemerintah hadir menerapkan sistem kehidupan sekuler kapitalistik. Berupa penerapan konsep neoliberal good governonce, yang termaktub dalam sejumlah perundang-undangan dan peraturan. Diantara yang menonjol adalah fungsi dan wewenang pemerintah dibatasi sebagai regulator (baca: pelayan bagi kepentingan korporasi), pembangunan transportasi yang mengacu pada konsep KPS (Kemitraan Pemerintah dan Swasta), dan anggaran berbasis kinerja. Akibatnya hajat hidup publik dalam hal ini transportasi publik dan hunian berada dalam kendali korporasi.
Tidak saja mahal dan jauh dari rasa nyaman, transportasi publik juga jauh dari sebutan aman dari kejahatan seksual. Cukup mudah ditemui kondisi transportasi publik yang rawan bagi terjadinya kejahatan seksual. Seperti berdesak-desakan saat antri, menaiki dan ketika berada dalam moda transportasi, jembatan penyeberangan orang tampa penerangan, jalan gelap dan menjadi tempat mangkalnya pelaku kejahatan seksual. Ini di satu sisi, di sisi moda transportasi dikendalikan para sumber daya transportasi yang bermoral bejat, karena tidak didik dengan sistem pendidikan Islam, disamping maraknya info-info bermuatan porno serta tidak diterapkannya sistem pergaulan Islami dan sistem sangsi yang benar bagi pelaku kejahatan seksual.
Hal yang sama terjadi pada hajat hunian publik, pemerintah menyerahkannya kepada para pengembang. Pemerintah benar-benar tidak berdaya di hadapan para korporasi sebagai pihak operator. Misal, pada tahun 2012, Mantan Menteri Perumahan Rakyat (Menpera) Djan Faridz sempat mengeluarkan kebijakan batas rumah minimal dengan luas rumah 36 m2. Namun kebijakannya yang mengacu pada 22 ayat 3 UU No 1 Tahun 2011 soal Perumahan dan Kawasan Pemukiman, sempat digugat oleh pengembang dan akhirnya dibatalkan.2 Tidak saja mahal, baglock tetap tinggi, hunian minimalis terutama bagi kalangan menengah kebawah menjadi tempat yang rawan bagi tindak kejahatan seksual.
Bagaimana Semestinya Negara Hadir
Pemerintah adalah pihak yang diamanahkan syara’ mengemban kewajiban memenuhi hak-hak publik terhadap berbagai hajat kebutuhan mereka, termasuk transportasi publik yang aman disamping murah dan nyaman. Demikian juga halnya dengan pemenuhan hajat terhadap hunian. Hal ini mengharuskan negara dan pemerintah hadir menerapkan sistem kehidupan yang benar, yaitu sistem kehidupan Islam. Menerapkan prinsip-prinsip yang sohih, seperti negara dan pemerintah bertanggungjawab dan berwenang penuh dalam hal pemenuhan hajat publik terhadap transportasi umum yang aman disamping murah dan nyaman. Demikian juga halnya dengan pemenuhan hajat publik terhadap hunian yang aman dan nyaman manakala individu dan penanggung jawab nafkah tidak mampu memenuhi hajat hunian yang layak.
Ditegaskan Rasulullah SAW, artinya “..Imam (Khalifah) raa’in (pengurus rakyat) dan dia bertanggungjawab terhadap rakyatnya” (HR Ahmad, Bukhari).
Cakupan wewenang dan tanggung jawab pemerintah mulai dari merumuskan rencana pembangunan transportasi publik dan hunian yang benar-benar aman, hingga pelaksanaannya. Apapun alasannya tidak dibenarkan pemerintah hanya berperan sebagai regulator.
Demikian juga tidak dibenarkan penggunaan konsep kemitraan pemerintah dan swasta karena konsep ini apapun variannya telah mengebiri fungsi dan wewenang pemerintah. Disamping wajib diterapkan anggaran yang bersifat mutlak, yaitu ada atau tidak ada kekayaan negara yang dialokasikan untuk pengadaan dan pembangunan tranportasi publik dan hunian yang aman, wajib diadakan negara.
Hal inilah yang menjadi kunci bagi terpenuhinya hak-hak publik terhadap ruang publik, angkutan publik dan hunian yang aman dari kajahatan seksual bagi setiap individu masyarakat, kaya miskin, penguasa maupun rakyat biasa dan apapun ras, agama dan warna kulitnya. Yaitu ketika negara dan pemerintah hadir menerapkan Islam secara kaafah dalam bingkai negara khilafah.
Allah Swt., telah menegaskan yang artinya,”…Dan Dia (Allah)benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa….” (TQS Al An Nuur (24): 55). Allahu A’lam.[] (Dr. Rini Syafri, Ketua Lajnah Maslahi Muslimah HTI).
Catatan kaki:
(*): kejahatan seksual berawal dari hasrat seksual yang terstimulasi oleh kehadiran pemahaman dan fakta seksual pada situasi dan kondisi yang salah/haram dan diikuti adanya situasi dan kondisi untuk pelampiasannya dengan cara yang diharamkan Islam seperti pelecehan seksual, perkosaan dan lain sebagainya.
1. http://megapolitan.kompas.com/read/2015/06/22/05035291/Ini.Kasus-kasus.Kejahatan.Seksual.yang.Pernah.Terjadi.di.Angkot.Ibu.
2. http://finance.detik.com/read/2015/01/14/160718/2803332/1016/pakar-hunian-rumah-sempit-picu-pemerkosaan-terhadap-anak
3. http://www.jpnn.com/read/2016/01/08/349439/KemenPUPR-Minta-Pemda-Dukung-Kebijakan-Hunian-Berimbang. Syarif Buhanuddin, Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan,Kementerian PUPR bhwa “Backlog saat ini sebesar 13,5 juta unit, sekitar 60 persennya itu adalah kebutuhan rumah Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). …”
4. Konsep “good governance” mengandung muatan gagasan yang sama dengan konsep “reinventing government”.
5. Hizbut Tahrir. Muqadimah dustur aw asbaabu maujibatu lahu. Al Qismul Awwal. Darul Ummah. Beirut. 2009. Hal 160