Re-Patriasi Tax Amnesty: Problema Penerapan, Mampukah Meningkatkan Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi?

tax amnestyPembahasan RUU Pengampunan Pajak (“Tax Amnesty”) molor dari jadwal yang ditetapkan. Dewan Perwakilan Rakyat melalui Rapat Paripurna telah menutup masa persidangan IV tahun 2015-2016, namun rancangan undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak belum juga diundangkan.

RUU Tax Amnesty berada di bawah Komisi XI DPR yang membidangi keuangan. DPR pada periode persidangan kali ini akan mengintensifkan pembahasan RUU Tax Amnesty, termasuk RUU Pilkada, yang keduanya lewat dari target masa sidang sebelumnya.

Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Pengampunan Pajak Soepriyatno menyebut ada lima tema pembahasan yang krusial dalam rapat panja pemerintah dengan DPR untuk merumuskan aturan hukum pengampunan pajak. (Antara, 26/05/2016).

Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Partai Demokrat, Hinca Panjaitan dengan tegas mengatakan jika partainya menolak RUU Tax Amnesty yang tengah dibahas. Menurutnya, ada beberapa pertanyaan penting dari RUU itu yang belum dijawab pemerintah.

“Kami menolak. Jadi, kenapa kami menolak. Kalau (pemerintah bisa menjawab) dijawab kenapanya, baru kami setuju,” kata Hinca (vivanews.co.id, 28/05/2016).

Hinca menilai selama ini pemerintah menyandarkan kebijakan Tax Amnesty hanya berdasarkan asumsi terdapat uang triliunan rupiah yang dibawa orang Indonesia ke luar negeri.

Asumsi dana yang dapat ditarik 1.000 triliun dari luar negeri, akan menambal APBN. Dalam hal ini, negara telah menerapkan dugaan atas adanya kejahatan pajak, sehingga menerapkan pengampunan pajak.

Lebih dari itu, menurutnya masih diperlukan pembahasan yang luas, menyeluruh dan komprehensif agar kebijakan Tax Amnesty dapat dieksekusi dan memberikan nilai manfaat. Selain, pemberian Tax Amnesty juga wajib memperhatikan unsur keadilan dalam pelaksanaannya.

 

Substansi Perdebatan

Secara umum, Pemerintah dan DPR telah memiliki kesatuan pendapat dan kesepahaman tentang pentingnya pembahasan RUU Tax Amnesty. Langkah ini, diyakini dapat menambah pemasukan negara dari sektor pajak dan sekaligus dapat menutup problem devisit Anggaran yang dialami.

Sebagaimana diketahui Nilai Realisasi pendapatan negara dari pajak, meleset dari target dan sasaran pencapaian. Pendapat pajak tahun 2015 sebesar Rp1.055 triliun, realisasi penerimaan tersebut baru 81,5 persen dari target Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2015 yang dipatok Rp1.294 triliun atau kurang Rp239 triliun.

Tak hanya meleset (shortfall) dari target APBNP 2015, realisasi penerimaan pajak itu juga tidak sesuai dengan realisasi yang dijanjikan Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro yakni 85 persen dari target atau maksimal shortfall Rp195 triliun.

Adapun Pada tahun 2016 ini, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan realisasi penerimaan pajak kuartal I baru mencapai Rp194 triliun atau Rp 4 triliun lebih rendah dari realisasi penerimaan pajak periode yang sama tahun lalu, Rp198,23 triliun.

“Kuartal pertama sedikit di bawah tahun lalu,” tutur Menteri Keuangan Bambang P.S. Brodjonegoro  (CNNindonesia, 05/04/2016).

Bahkan, Menkeu berencana melakukan pemotongan Dana Alokasi Khusus (DAK) bagi Pemerintahan Daerah sebesar 10%, untuk dijadikan dasar penyesuaian APBN-P tahun 2016, dikarenakan meleset nya pendapatan negara. Rencana pengurangan DAK telah dituangkan dalam Surat Edaran Nomor: SE-10/MK-07/2016, yang dikeluarkan Kementrian Keuangan.

Adapun beberapa isu krusial yang menjadi bahan perdebatan antara Pemerintah dan DPR terkait RUU Tax Amnesty, setidaknya terbagi dalam beberapa hal, yakni :

Pertama, Pengertian menyeluruh tentang “Tax Amnesty”. Wacana awal RUU pengampunan pajak, adalah untuk menarik dana-dana WNI yang di Parkir di luar negeri (re-Patriasi).

Jika merujuk devinisi umum Tax Amnesty, maka keberatan Demokrat atas substansi pembahasan pajak yang belum detail dan rinci dapat dibenarkan.

Menurut Wikipedia, Tax Amnesty didefinisikan :

“Tax Amnesty is a limited-time opportunity for a specified group of taxpayers to pay a defined amount, in exchange for forgiveness of a tax liability (including interest and penalties) relating to a previous tax period or periods and without fear of criminal prosecution. It typically expires when some authority begins a tax investigation of the past-due tax. In some cases, legislation extending amnesty also imposes harsher penalties on those who are eligible for amnesty but do not take it”. [wikipedia].

Pembahasan definisi Tax Amnesty, menjadi penting mengingat dengan dasar definisi ini Pemerintah dapat menetapkan sasaran subjek dan objek pajak berikut ruang lingkup dalam pembahasan.

Subjek pajak berkaitan dengan pajak pribadi maupun korporasi, baik secara langsung melalui korporasi inti di Indonesia maupun menggunakan korporasi yang berbadan hukum negara asing.

Pribadi wajib pajak juga terkait apakah pribadi dikhususkan pada properti atau kepemilikan dalam bentuk benda bergerak atau tidak bergerak yang bersifat asset tetap, atau termasuk di dalamnya aset melalui kepemilikan bisnis dalam bentuk saham-saham perseroan di luar negeri, baik perseroan murni asing, berafiliasi dengan perseroan di Indonesia, atau bahkan merupakan anak usaha dari perseroan di Indonesia.

Pada konteks wajib pajak institusi maupun badan hukum yang memiliki aktivitas bisnis di dalam negeri, beberapa aset pribadi dan/atau perseroan yang  sebelumnya belum terdaftar sebagai aset dan/atau penghasilan terlapor, hal ini juga penting untuk dibahas dapat atau tidaknya diikutkan dalam kebijakan Tax Amnesty.

Artinya, fasilitas Tax Amnesty berlaku umum tidak saja pada dana gelap yang ada diluar negeri tetapi juga meliputi dana-dana gelap yang disembunyikan di dalam negeri.

Hal ini penting, karena ada juga aset WP baik pribadi maupun badan hukum yang belum terlapor pada aset dan harta kena pajak. Momentum Tax Amnesty, bisa saja digunakan untuk menarik aset-aset gelap ini menjadi terang dan legal.

Perlu juga dipertimbangkan nilai dan batasan fasilitas Tax Amnesty, selain membahas besaran dan tarif pajak atas re-patriasi aset, jika itu berada di luar negeri, atau legalisasi aset jika itu terdapat di dalam negeri.

Kedua, penerapan besaran tarif dari uang tebusan, baik besaran pajak pokok, bunga sekaligus dendanya. Wacana awal yang berkembang, besaran tarif re-patriasi aset pada triwulan pertama sebesar 1 %. Triwulan kedua 2 % dan triwulan ke-tiga sebesar 4 %.

Belakangan wacana berkembang dengan menaikan nilai besaran presentasi pajak, diawali dari triwulan pertama sebesar 2 %. Triwulan kedua 4 % dan triwulan ke-tiga sebesar 6 sampai 8 %.

Ketiga, mengenai tata cara mengikuti program pengampunan pajak. Tata cara mengikuti program bisa saja Juklak dan juknis nya dirinci melalui permenkeu. Namun, wacana umumnya harus dituangkan dalam UU sebagai dasar pembentukan permenkeu.

Mekanisme penarikan dana dan penempatan aset di Indonesia diantara pembahasan yang masih belum final. Pemerintah telah menyiapkan instrumen penempatan dana re-Patriasi melalui SBN (Surat Berharga Negara), deposito satu bulan, obligasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun menyiapkan instrumen Reksa Dana Penyertaan Terbatas dan Modal Ventura.

Instrument lain berupa investasi keuangan pada bank yang nantinya ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima setoran penerimaan negara bukan impor. Bank yang ditunjuk kelak disebut bank Persepsi.

Bank yang akan ditunjuk sebagai bank persepsi adalah Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) 3 dan Bank BUKU 4. Bank BUKU 3 adalah bank dengan modal inti Rp 5 Triliun sampai dengan kurang dari Rp30 Triliun. Sedangkan bank BUKU 4 adalah bank dengan modal inti di atas Rp 30 Triliun.

Penyiapan data dan fakta akurat, menjadi prasarat mutlak suksesnya program Tax Amnesty. Tanpa validitas data, boleh jadi asumsi-asumsi penerimaan pajak dari program Tax Amnesty akan berakhir di atas kertas.

keempat, fasilitas dan konsekuensi maupun sanksi.

Fasilitas yang perlu dibahas adalah prioritas dan benefit apa saja yang dapat diperoleh para wajib pajak atas kepatuhan pelaksanaan program Tax Amnesty, baik patuh pada pelaksanaan yang sesuai jadwal pengampunan, transparansi dan akuntabilitas laporan aset, termasuk penempatan dan pemilihan instrumen penempatan dana re-patriasi.

Konsekuensi hukum, baik secara perdata maupun pidana perlu diatur secara tegas agar kepatuhan yang telah didorong atas kesadaran dengan pemberian benefit tertentu bagi wajib pajak, semakin maksimal dengan adanya klausul sanksi dan ancaman.

Secara perdata, selain ancaman besaran nilai presentasi dana re-patriasi membengkak jika meleset dari jadwal pembayaran secara triwulan 1, 2 dan 3, termasuk juga tambahan sanksi bunga dan denda pajak.

Perlu juga dipikirkan sanksi pidana bagi wajib pajak yang tidak mengikuti program Tax Amnesty hingga batas akhir yang telah ditetapkan, agar UU Tax Amnesty ini berkekuatan eksekutorial.

Perlu juga pengaturan pengawasan dana-dana re-patriasi, agar masuknya aset dari luar negeri ini tidak sekedar menjadi _Hot Money_ yang setelah program Tax Amnesty, dana-dana tersebut lari ke luar negeri lagi.

Hal ini untuk menghindari kebijakan Tax Amnesty tidak menjadi sarana “Legalisasi Money Laundry Oleh Negara” kepada para Wajib Pajak Nakal.

Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi?

Tax Amnesty adalah sarana negara untuk menambah pemasukan negara melalui pendapatan pajak dari dana re-patriasi. Memang benar, kebijakan ini berpotensi menambah pertambahan pemasukan negara.

Tapi serta merta menyimpulkan masuknya dana re-patriasi akan mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi, rasanya kurang tepat jika tidak dibarengi dengan kebijakan pemompaan aktivitas ekonomi riel oleh Pemerintah.

Dana re-Patriasi yang ditampung dalam SBN, misalnya tidak akan memberikan faidah pada pertumbuhan ekonomi jika penggunaannya oleh negara melalui program dan proyek-proyek negara tidak bersifat ekonomis dan produktif.

Justru penempatan dana pada SBN menambah besaran kewajiban negara atas komitmen kompensasi penempatan dana tersebut.

Sama juga jika penempatan dana-dana re-Patriasi ditempatkan pada bank persepsi baik bank dalam kualifikasi BUKU 3, BUKU 4 maupun BUKU 5.

Sepanjang aktivitas ekonomi riek tidak didorong dengan kebijakan yang nyata dan pro rakyat, maka dana-dana re-patriasi hanya akan menjadi tandon tampungan di bank, dan tidak menambah apapun bagi pertumbuhan ekonomi.

Nilai Pertumbuhan ekonomi tahun 2015 yang mengalami perlambatan sebesar 4,73%, turun nol koma sekian persen dari target 5,7%, tidak mustahil akan kembali terulang ditahun 2016.

Alhasil, Tax Amnesty jika terealisasi dengan baik baru berpotensi menyediakan modal, bukan menyelesaikan usahanya. Pertumbuhan ekonomi sangat dipengaruhi oleh intensitas usaha riel, meskipun ketersediaan modal menjadi salah satu aspek penting.

Jika Pemerintah tidak menyiapkan paket kebijakan ekonomi yang tepat, maka kebijakan Tax Amnesty hanya memberikan solusi tambal sulam dan tidak akan pernah menyelesaikan problem akarnya, yakni perlambatan ekonomi. *[]*

 

Abu Jaisy al Askary

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*