Ramadhan, Spiritual dan Politik

Ramadhan sudah sepatutnya menjadi momentum penting bagi kaum Muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan cara melaksanakan syariah-Nya secara kâffah. Tentu pendekatan itu tidak hanya terkait amal-amal spiritual semata seperti ibadah mahdhah dan akhlak, namun juga mencakup amal-amal politis dalam makna mengurusi urusan umat dengan syariah Islam. Sebabnya, di dalam Islam tidak ada dikotomi antara amal spiritual dan amal politik.
Ramadhan, Spiritual dan PolitikPada dasarnya Islam mengatur segenap perbuatan manusia dalam hubunganya dengan Tuhannya, yakni Allah SWT, melalui hukum-hukum yang terkait akidah dan ibadah ritual seperti shalat, shaum, zakat, haji, dan sebagainya. Islam juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri yakni berupa hukum-hukum yang terkait akhlak, pakaian dan makanan. Islam pun mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya melalui hukum-hukum yang terkait muamalah dan ‘uqûbât, seperti ekonomi, pemerintahan, politik, dakwah, pendidikan, perang, pidana, dan lain sebagainya (Lihat: Taqiyyudin an-Nabhani, 2001, Nizhâm al-Islâm). Terkait hal tersebut maka sangat penting untuk memahami dua hal berikut.

Pertama: Islam menolak sekularisme karena Islam bersifat menyeluruh; mengatur ketiga jenis hubungan tersebut. Ide sekularisme pada dasarnya adalah upaya pemisahan agama (Islam) dari kehidupan publik/negara (fashl ad-dîn ’an ad-dawlah). Ide ini sebenarnya berakar dari peradaban Barat-Kristen, yang memisahkan agama (Kristen) dari negara. Tentu hal ini tidak sesuai dengan realita syariah Islam.

Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw. untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, dirinya dan sesamanya. Syariah Islam yang terkait pengaturan manusia dengan Tuhannya dan dirinya sendiri ini bisa dilaksanakan oleh individu. Meski demikian, untuk kesempurnaannya harus ada peran negara di dalamnya. Adapun syariah yang terkait pengaturan hubungan manusia dengan sesamanya, muamalat dan ‘uqûbât (sanksi hukum), sebagian besar harus dilaksanakan oleh negara. Misalnya muamalat yang terkait pemerintahan, ekonomi, sosial, pendidikan, politik, keamanan, dan sebagainya. Hanya sebagian kecil aktivitas muamalat yang bisa dilaksanakan tanpa peran negara. Syariah Islam yang mengatur masalah ‘uqûbât (sanksi hukum) seperti hukum hudûd, jinâyât, ta’zîr dan mukhâlafât, mutlak harus dilaksanakan oleh negara, tidak boleh dilaksanakan oleh kelompok apalagi individu.

Faktanya rangkaian proses sekularisasi pemikiran Islam di Indonesia telah digelorakan sejak tahun 80-an oleh Nurcholis Madjid. Di dalam bukunya, “Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan” (Mizan, 1987), Nurcholis Madjid menyerukan untuk membangun Islam inklusif yang bersifat terbuka dan toleran terhadap ajaran agama lain dan budaya keindonesiaan. Buku-buku serupa yang mempropagandakan paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme juga terus diterbitkan. Di antaranya adalah buku “Membela Kebebasan Beragama: Percakapan tentang Sekularisme, Liberalisme dan Pluralisme” yang diterbitkan oleh LSAF dan Paramadina, tahun 2010. Pada buku tersebut dituliskan bahwa ketiga paham tersebut, yakni sekularisme, pluralisme dan liberalisme wajib dikembangkan di Indonesia sebagai prasyarat mutlak tegaknya demokrasi di Indonesia.

Perlu dicatat pula bahwa sekularisasi di Indonesia dan di negeri-negeri Muslim lainnya didukung oleh negara-negara Barat, khususnya AS. Pasalnya, mereka berkepentingan untuk melanggengkan ideologi Kapitalisme di negeri-negeri Muslim, sekaligus menyingkirkan ideologi Islam sebagai rival utamanya. Tentu kita masih ingat, Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) yang dulu sempat kontroversial karena isinya melanggar syariah itu didanai oleh The Asia Foundation.

Karena itu pada bulan Ramadhan ini, selain perlu dibahas masalah ibadah dan akhlak, perlu pula disampaikan di berbagai acara pengajian dan khutbah tarawih tentang penerapan syariah Islam yang bersifat syumuliyah tersebut. Hal ini sebagai upaya membersihkan pemikiran umat dari ide sekularisme, sekaligus menyelamatkan umat dari bahaya propaganda sekularisme yang bermuara pada kepentingan negara-negara kapitalis penjajah di negeri-negeri Muslim.

Kedua: Islam tidak memisahkan spritualisme dan politik karena keduanya diatur dalam syariah Islam. Politik yang dimaksud bukanlah seperti yang diungkapkan oleh Harold D Lasswell (1936) dalam bukunya: Politics: Who Gets What, When, How. Dia mendudukkan politik hanya sebagai persoalan siapa mendapat apa, kapan dan bagaimana. Akibatnya, politik identik dengan upaya meraih kepentingan pribadi dan kelompok semata.

Menurut Taqiyuddin an-Nabhani (2005) dalam bukunya, Mafâhîm Siyâsiyah li Hizb at-Tahrîr, politik adalah pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri. Politik dilaksanakan oleh negara dan umat. Negaralah yang secara langsung melakukan pengaturan ini secara praktis, sedangkan umat mengawasi negara dalam pengaturan tersebut. Pengaturan urusan umat di dalam negeri dilakukan oleh negara dengan menerapkan ideologi Islam berupa pelaksanaan syariah Islam secara kâffah di dalam negeri. Pengaturan urusan umat di luar negeri dilakukan dengan cara mengadakan hubungan dengan berbagai negara, bangsa, dan umat lain, serta menyebarkan ideologi Islam ke seluruh dunia.

Dengan demikian politik berdasarkan definisi an-Nabhani tersebut, yakni pengaturan urusan umat di dalam dan luar negeri dengan hukum Islam, tidak dapat dipisahkan dengan spiritualisme yang berupa ibadah ritual. Keduanya merupakan satu kesatuan dalam struktur sistem Islam. Definisi oleh an-Nabhani tersebut disandarkan pada hadis-hadis yang menunjukkan aktivitas penguasa, kewajiban mengoreksi penguasa, serta pentingnya mengurus kepentingan kaum Muslim. Salah satu di antaranya adalah hadist dari Abu Hurairah yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ

Dulu Bani Israil selalu dipimpin dan diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, dia digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudah aku. Yang ada adalah para khalifah yang banyak jumlahnya (HR Muslim).

Pengertian politik oleh an-Nabhani tersebut dapat dipandang sebagai pengertian syar’i karena diambil dari dalil-dalil syariah. Karena itu kaum Muslim semestinya tidak memisahkan spiritualisme dengan politik Islam. Hal tersebut, selain melanggar syariah, juga akan menjauhkan umat dari upaya penerapan syariah secara kâffah. Menerima sebagian syariah Islam (spiritualitas dan moralitas semata) dan menolak sebagian yang lain (politik, pemerintahan, ekonomi, dan lain-lain) merupakan penyimpangan dari Islam. Ini adalah kebiasaan orang Yahudi yang diancam oleh Allah SWT:

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ

Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab (Taurat) dan mengingkari sebagian lainnya? Tidak ada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat (QS al-Baqarah [2]: 85).

Ramadhan: Momentum Penyadaran Umat

Ramadhan dapat menjadi momentum penting untuk penyadaran umat. Pertama: Ramadhan semestinya menjadi momentum untuk meningkatkan ketaqwaan dan ketaatan kepada Allah SWT secara totalitas, baik dalam aspek ibadah spiritual maupun aspek politik, pemerintahan, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Allah SWT telah menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang sempurna (QS al-Maidah [5]: 3) dan mengatur seluruh aspek kehidupan umat manusia (QS an-Nahl [16: 89). Karena itu tidak ada yang layak untuk mengatur seluruh aspek kehidupan di masyarakat kecuali Islam dengan syariahnya. Allah SWT berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

Jika kalian berlainan pendapat tentang suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan hari akhir (QS an-Nisa’ [4]: 59).

Imam Ibnu Katsir di dalam kitabnya, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, menjelaskan ayat tersebut bahwa segala perkara yang diperselisihkan oleh manusia, baik perkara pokok (ushûl) maupun cabang (furû’) agama, harus dikembalikan pada al-Quran dan as-Sunnah. Ini sebagaimana juga firman Allah SWT dalam surat asy-Syura ayat 10 (yang artinya): Tentang apapun yang kalian perselisihkan, putusan (hukum)-nya dikembalikan kepada Allah.

Sangat jelas bahwa ayat ini memerintahkan kaum Muslim untuk berhukum pada al-Quran dan as-Sunnah. Artinya, kaum Muslim diperintahkan untuk menerapkan syariah Islam secara totalitas dalam seluruh aspek kehidupan mereka. Karena itu ketakwaan seorang Muslim harus diwujudkan melalui ketundukannya pada syariah Islam secara menyeluruh.

Kedua: Ramadhan seharusnya mampu memperkuat dakwah untuk menegakkan Khilafah Rasyidah sebagai institusi untuk menerapkan syariah secara totalitas tersebut. Sebagaimana diketahui, sejak Khilafah diruntuhkan pada 28 Rajab 1342 H/3 Maret 1924 M oleh Musthafa Kamal at-Taturk, umat Islam kehilangan institusinya yang berfungsi sebagai pelaksana syariah. Saat ini di negeri-negeri Muslim hukum Islam disingkirkan, digantikan dengan hukum dan undang-undang warisan kafir penjajah.

Ketiadaan Khilafah juga menyebabkan umat ini tidak lagi memiliki institusi yang menyatukan mereka. Padahal dengan Khilafah umat Islam akan dipersatukan dalam satu negara dan satu kepemimpinan menjadi umat yang kuat. Runtuhnya Khilafah telah menyebabkan wilayah umat Islam yang luas disekat menjadi negara-negara kecil yang tidak berdaya. Umat pun akhirnya terpecah-belah dalam kungkungan nasionalisme masing-masing negara. Ketiadaan Khilafah juga menyebabkan umat ini kehilangan institusi yang melindungi agama, harta dan darah mereka. Sebab, Khilafah berfungsi laksana perisai bagi umat Islam. Rasulullah saw. bersabda:

إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ

Sesungguhnya seorang pemimpian itu adalah perisai, orang-orang berperang di belakang dia dan berlindung kepada dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Karena itu, ketiadaan Khilafah ini harus diakhiri dengan jalan menegakkan kembali Khilafah Rasyidah yang akan menerapkan kembali syariah Islam secara totalitas. Hal itu merupakan keniscayaan untuk mengakhiri berbagai problem dan keburukan yang diderita umat saat ini dan untuk mengembalikan kejayaan dan kemuliaan ke tangan umat Islam.

Meneladani Umat Islam Terdahulu

Rasulullah saw. dan para Sahabat serta umat Islam terdahulu telah memberikan teladan terbaik. Pada bulan Ramadhan mereka tidak hanya mengamalkan ibadah ritual semata, namun juga menjakankan berbagai aktivitas politik hingga perang jihad fi sabilillah. Sebagai contoh, Perang Badar terjadi pada bulan Ramadhan tahun 2 Hijriyah. Pada perang ini, 313 pasukan Islam berhadapan dengan 1.000 pasukan kaum musyrik. Peristiwa Fathu Makkah juga terjadi pada bulan Ramadhan, yakni pada tahun 8 Hijriyah. Rasulullah saw. beserta 10.000 pasukan yang bergerak dari Madinah akhirnya mampu menguasai Makkah secara keseluruhan tanpa pertumpahan darah sedikitpun. Peristiwa perjalanan pasukan kaum Muslim di bawah pimpinan Rasulullah ke Tabuk juga terjadi pada bulan Ramadhan. Pasukan yang berjumlah 30.000 orang tersebut bergerak dari Madinah pada saat musim panas yang sangat terik menuju Tabuk yang dikuasai oleh pasukan Romawi. Meskipun pada akhirnya pertempuran tidak terjadi, Rasulullah saw. telah menanamkan keberanian pada pasukan kaum Muslim untuk menghadapi pasukan Romawi yang saat itu terkenal sangat tangguh.

Pada 28 Ramadhan tahun 92 Hijriyah, pasukan kaum Muslim di bawah pimpinan Thariq bin Ziyad dikirim oleh Khilafah Bani Umayyah untuk membebaskan Andalusia di Spanyol. Thariq memimpin pasukannya menyeberangi laut yang memisahkan Afrika dan Eropa tersebut. Akhirnya, Andalusia berhasil dibebaskan dan selama 8 abad menjadi pusat peradaban yang tinggi di bawah naungan Islam. Pada 15 Ramadhan 658 Hijriyah pasukan kaum Muslim dibawah pimpinan Sultan Qutuz dari Dinasti Mamluk Mesir berhasil mengalahkan pasukan Mongol di ‘Ain Jalut daerah Palestina. Pada 15 Ramadhan 1294 Hijriyah sebanyak 34.000 orang pasukan kaum Muslim Khilafah Ustmaniyah di bawah pimpinan Ahmad Mukhtar Basya berhasil mengalahkan tentara Rusia yang berjumlah 740.000 orang dalam peperangan Yakhliz.

Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi teladan bagi kita, bahwa Rasulullah dan umat Islam terdahulu mengisi bulan Ramadhan tidak hanya dengan amal-amal ibadah ritual, namun juga amal-amal politik. Pada bulan Ramadhan ini semestinya juga kaum Muslim mengisinya dengan berbagai aktivitas ibadah spiritual serta aktivitas politik. Adapun aktivitas politik yang paling penting saat ini adalah memperjuangkan tegaknya syariah Islam secara kâffah dalam sistem Khilafah Rasyidah yang akan menyatukan multi-potensi kekuatan umat Islam di seluruh dunia. Melalui institusi tersebut, umat Islam akan mampu kembali memimpin dunia dan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin bisa menjadi kenyataan.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Dr. M. Kusman Sadik; Ketua Lajnah Khusus Intelektual DPP HTI]

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*