Oleh: Umar Syarifudin – Syabab Hizbut Tahrir Indonesia
Di Barat, banyak ragam pendapat mengenai sebab-sebab kemiskinan. Namun secara garis besar dapat dikatakan ada tiga sebab utama kemiskinan. Pertama, kemiskinan alamiyah, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kondisi alami seseorang; misalnya cacat mental atau fisik, usia lanjut sehingga tidak mampu bekerja, dan lain-lain. Kedua, kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh rendahnya kualitas SDM, akibat kultur masyarakat tertentu; misalnya rasa malas, tidak produktif, bergantung pada harta warisan, dan lain-lain. Ketiga, kemiskinan stuktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat.
Dari tiga sebab utama tersebut, yang paling besar pengaruhnya adalah kemiskinan stuktural. Sebab, dampak kemiskinan yang ditimbulkan bisa sangat luas dalam masyarakat. Kemiskinan jenis inilah yang menggejala di berbagai negara dewasa ini. Tidak hanya di negara-negara sedang berkembang, tetapi juga di negara-negara maju.
Barat telah membuat kesimpulan dusta bahwa sebab musabab kemelaratan seperti kurangnya sumber daya alam, efek cuaca lokal, hingga kurangnya penerapan demokrasi. Prinsipnya tidak ada semacam persetujuan dikalangan ahli sosiologi dan lembaga penelitian mengenai penyebab utama kemiskinan dan kemelaratan. Lalu memaksaka kepada dunia penerapan kapitalisme dan adanya pasar bebas sebagai jalan keluar.
Selanjutnya pertumbuhan populasi di Asia yang pesat dituding sebagai sebab langkanya pangan. Kesimpulan ini diyakini sebagai sebab adanya kemiskinan, kerusakan lingkungan, dan konflik sosial kemasyaratan. Pembangunan ekonomi di dunia ketiga tidak akan berhasil apabila angka pertumbuhan populasi tidak dikontrol. Itu sebabnya lembaga internasional dan pemerintahan mengembangkan dan menerapkan strategi untuk mengontrol angka pertumbuhan di dunia ketiga. Meledaknya angka populasi ini dinamai ‘over’ yang berimplikasi pada penggunaan sumber daya yang habis-habisan untuk menunjang besarnya pertumbuhan populasi tersebut dan mengakibatkan ketidakstabilan global.
Kemiskinan adalah fakta yang ada pada mayoritas penduduk dunia. 3 bilyun jiwa hidup dibawah 2 dolar per hari, sedangkan 1,3 bilyun jiwa lainnya hidup kurang dari 1 dolar per hari. 1,3 bilyun jiwa hidup tanpa air bersih, 3 bilyun jiwa hidup di lingkungan yang tidak sehat dan 2 bilyun jiwa tidak memiliki akses penggunaan listrik. Liberalisme justru menjadi sebab ketimpangan kesejahteraan dan pemiskinan bagi mayoritas penduduk dunia. Banyak sekali survei yang menunjukkan bahwa liberalisme adalah biang kemelaratan. Tanggal 7 Desember 2006 adalah hari diluncurkannya laporan internasional yang dikeluarkan oleh Institut Global untuk Penelitian Perkembangan Ekonomi milik PBB. Hasilnya cukup mencengangkan bahwa penduduk dunia yang kaya (sekitar 1% dari total penduduk bumi) menguasai 40% dari asset kekayaan dunia dan 10% dari populasi dunia menguasai 85% dari total asset dunia .
Kemiskinan atau kefakiran adalah suatu fakta, yang dilihat dari kacamata dan sudut manapun seharusnya mendapat pengertian yang sesuai dengan realitasnya. Sayang peradaban Barat Kapitalis pengemban sistem ekonomi Kapitalis memiliki gambaran/fakta tantang kemiskinan yang berbeda-beda. Mereka menganggap bahwasannya kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atas barang maupun jasa secara mutlak. Dan karena kebutuhan berkembang seiring dengan berkembang dan majunya produk-produk barang maupun jasa, maka – mereka menganggap – usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan atas barang dan jasa itupun mengalami perkembangan dan perbedaan.
Standar kemiskinan/kefakiran di mata para Kapitalis tidak memiliki batasan-batasa yang fixed. Dia AS atau di negara-negara Eropa Barat misalnya, seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekundernya sudah dianggap miskin. Sementara di Irak, Sudan, Bangladesh misalnya seseorang yang tidak dapat memenuhi kebutuhan sekundernya, tidak dikelompokkan dalam kategori fakir/miskin. Perbedaan-perbedaan ini _ meski fakta tentang kemiskinan itu sama saja dimanapun _ akan mempengaruhi mekanisme dan cara-cara pemecahan masalah kemiskinan.
Dalam perspektif kapitalisme, sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan, bila pertumbuhan ekonomi masyarakat tersebut cukup tinggi. Dengan demikian, yang diukur adalah produktivitas masyarakat atau produktivitas negara tersebut setiap tahun. Dalam bahasa teknis ekonominya, produktivitas ini diukur oleh Produk Nasional Bruto (PNB atau GNP) dan Produk Domestik Bruto (PDB atau GDP).
Karena PNB atau PDB mengukur hasil keseluruhan dari sebuah negara, padahal jumlah penduduk negara berlainan, maka untuk bisa membandingkan, dipakai ukuran PNP/kapita/tahun atau PDB/kapita/tahun. Dengan demikian dapat diketahui berapa produktivitas rata-rata orang dari negara yang bersangkutan.
Dengan adanya tolok ukur ini, kita dapat membandingkan negara yang satu terhadap negara lainnya. Sebuah negara yang mempunyai PNB/kapita/tahun sebesar US $750, misalnya, dianggap lebih berhasil pembangunannya daripada negara yang PNB/kapita/tahun-nya sebesar US $500.
Penggunaan tolok ukur semacam ini, cenderung menjadikan kebijakan pembangunan negara terfokus pada meningkatkan PNB semata-mata. Akibatnya pertumbuhan ekonomi yang tampak dengan meningkatnya PNB ini pun, sering diklaim oleh pemerintah suatu negara sebagai wujud keberhasilannya dalam menjalankan kepemimpinan. Padahal nilai PNB/kapita/tahun (income per kapita) ini, sama sekali tidak dapat mencerminkan pemerataan dan kemakmuran rakyat. Sebab tolok ukur tersebut hanya menunjukkan nilai rata-rata. Banyak terjadi, sebagian kecil orang di dalam suatau negara, memiliki kekayaan yang melimpah, sedangkan sebagian besar lainnya justru hidup dalam kemiskinan. Di Amerika saja, mislanya, yang income perkapitanya mencapai US $25,400, dapat dijumpai kantong-kantong kemiskinan. Menurut laporan John Gaventa, seorang Ilmuwan Politik dari AS, mengatakan bahwa di suatu lembah di Pegunungan Appalachia Tengah, Amerika, terdapat komunitas penduduk yang miskin sekali. Menurut perkiraan, sebanyak 70% keluarga setempat hidup di bawah garis kemiskinan, dan sebanyak 30% keluarga menganggur. Ironisnya daerah tersebut amat kaya sekali dengan tambang batubara, yang dieksploitasi oleh sebuah perusahaa tambang raksasa. Jelas bahwa penggunaan PNB atau PDB sebagai tolok ukur keberhasilan dalam pembangunan, telah menjadikan kemiskinan di suatu negara, tersembunyi di balik angka-angka tersebut.
Memang ada tolok ukur tambahan yang dapat digunakan untuk mengetahui keberhasilan pembangunan. Yaitu dengan menyertakan faktor pemerataan pendapatan dalam masyarakat. Misalnya, dengan melihat berapa prosen dari PNB yang diraih oleh 40% penduduk termiskin, 40% penduduk golongan menengah, dan 20% penduduk terkaya. Dalam ilmu ekonomi, bila 40% penduduk termiskin menerima kurang dari 12% PNB ketimpangan yang ada dianggap mencolok. Jika menerima 12% – 17%, ketimpangannya dianggap sedang. Dan jika menerima lebih dari 17%, ketimpangannya dianggap lumayan kecil. Meskipun demikian, jika paradigma kebebasan hak milik tetap menjadi acuan, terjadinya ketimpangan tetap tidak pernah bisa dihindari.
Liberalisme telah dan akan terus membiarkan dunia barat untuk menghisap kekayaan dunia ini. Liberalisme juga tidak akan pernah berpihak pada dan menaikkan derajat kaum miskin, dan justru menjadi alat pemiskinan. Maka penerusan kebijakan ekonomi liberal di dunia ketiga adalah biang kemelaratan yang berkelanjutan.
Tembok Pembatas
Sebenarnya di dunia terdapat cukup bahan pangan untuk semua manusia. Artinya, kelaparan dan kekurangan bahan pangan bukanlah masalah keterbatasan bahan pangan, melainkan akibat dari pembagian yang tidak merata di dalam negara, daerah, dan lapisan masyarakat. Seandainya hasil panen dan jumlah protein yang tersedia di atas bumi ini dibagi dengan jumlah penduduk dunia, dapat dipastikan bahwa setiap orang akan memperoleh 3.140 kalori dan 65 gram protein setiap harinya. Jumlah ini lebih dari cukup karena manusia setiap harinya hanya membutuhkan 2.400 kalori.
Kebebasan hak milik merupakan salah satu ide dasar yang digunakan kapitalis dalam mengatur kepemilikan. Menurut ide ini, setiap orang berhak memiliki dan sekaligus memanfaatkan segala sesuatu sesuka hatinya. Dengan demikian setiap individu berhak memiliki barang-barang yang termasuk dalam pemilikan umum (public property) seperti ladang-ladang minyak, tambang-tambang besar, pelabuhan, jalan, barang-barang yang menjadi hajat hidup orang banyak, dan lain-lain. Pembangunan yang menyandar pada paradigma ini, jelas mengakibatkan terjadinya ketimpangan sosial. Akan terjadi akumulasi kekayaan yang melimpah-ruah pada segelintir orang, sementara mayoritas masyarakat tidak dapat menikmati hasil pembangunan.
Peran negara yang minimalis di negara kapitalis, jelas telah menjadikan negara kehilangan fungsi utamanya sebagai pemelihara urusan rakyat. Negara juga akan kehilangan kemampuannya dalam menjalankan fungsi pemelihara urusan rakyat. Akhinya rakyat dibiarkan berkompetisi secara bebas dalam masyarakat. Realitas adanya orang yang kuat dan yang lemah, yang sehat dan yang cacat, yang tua dan yang muda, dan sebagainya, diabaikan sama sekali. Yang berlaku kemdian adalah hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang dan berhak hidup.
Dalam kegagalan yang akut, jalan keluar hanya ada satu yaitu terbitnya matahari daulah al-Khilafah bersinar dan sistem ekonomi Islam diterapkan. Maka yang merasakan manfaatnya bukan hanya daulah al-Khilafah saja, akan tetapi juga negara-negara yang berinteraksi dengan daulah al-Khilafah. Hal itu membuat kemiskinan yang diciptakan kapitalisme global semacam ini menjadi tidak ada atau berada pada kondisi yang bisa dikontrol.[]