Jumlah warga Afghanistan yang melarikan diri dari kekerasan dan tetap terperangkap di negara mereka sendiri—dengan kelangsungan hidup yang terancam—telah meningkat secara dramatis menjadi dua kali lipat dalam tiga tahun terakhir, ungkap laporan yang dikeluarkan oleh Amnesty International baru-baru ini.
“Bahkan setelah melarikan diri dari rumah mereka untuk mencari keamanan, semakin banyak warga Afghanistan yang mendekam dalam kondisi mengerikan di negara mereka sendiri. Mereka berjuang demi kelangsungan hidup mereka tanpa tanda-tanda berakhir.” Penelitian Amnesty International menemukan bahwa meskipun pemerintah Afghanistan telah memberikan janji, akan tetapi para pengungsi di Afghanistan belum memiliki tempat tinggal, makanan, air, dan perawatan kesehatan yang memadai serta kurang memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pekerjaan.
Kebijakan IDP Nasional yang baru diluncurkan pada tahun 2014 lalu bisa menjadi penyelamat bagi mereka yang mengungsi, namun hal itu tidak dilaksanakan sama sekali—terhalang oleh dugaan korupsi, kurangnya kapasitas pemerintah Afghanistan, dan adanya kepentingan internasional.
Meskipun pihak berwenang Afghanistan berjanji untuk memperbaiki kondisi para pengungsi, Amnesty International menemukan bahwa penggusuran paksa—baik oleh pemerintah maupun oleh pelaku swasta—menjadi ancaman setiap hari.
Juga, meskipun ada pernyataan bahwa para pengungsi memiliki hak untuk meminta dan menerima makanan, air, dan pakaian yang memadai—sebagaimana disebutkan dalam kebijakan tahun 2014 sebab itu semua menjadi kewajiban pemerintah di bawah hukum internasional—akan tetapi, pemerintah Afghanistan tetap gagal untuk dapat memberikan aksesibilitas yang dapat diandalkan untuk kebutuhan hidup dasar bagi para pengungsi.
“Mereka telah kehilangan sumber mata pencaharian mereka, dan hanya memiliki sedikit kesempatan untuk bekerja secara informal. Sehingga, menciptakan situasi yang mengecualikan kaum perempuan, anak-anak dieksploitasi dan tidak mendapatkan pendidikan.” (rz)