Harga Pangan Selalu Naik, Kacaunya Pengaturan Stok Pangan di Indonesia
Oleh: Hj.Nida Saadah SE.,Ak.,MEI.
(DPP MHTI-Koordinator Lajnah Khusus Intelektual)
Kenaikan harga jelang Ramadhan dianggap hal biasa karena tingginya permintaan/konsumsi meningkat. Faktor tingginya permintaan ini dianggap legitimasi untuk membuka kembali kran impor bahan pangan strategis. Pejabat negara beralasan lonjakan harga justru terjadi karena sebelumnya ada pembatasan impor daging dan beras. Adanya kartel beras, bawang dan daging, spekulan dan inflasi tidak ditangani serius untuk diatasi. Jokowi gagal penuhi janji untuk memenuhi kebutuhan pangan dengan harga terjangkau.
Bagaimana kacaunya pengaturan stok pangan di Indonesia, kejahatan apa yang sedang terjadi, dan bagaimana strategi kedaulatan dan ketahanan pangan dalam Negara Khilafah?
Kacaunya Pengaturan Stok Pangan di Indonesia
Fenomena musiman bahwa harga bahan-bahan pangan, terutama daging, selalu naik menjelang bulan suci Ramadhan terulang lagi tahun ini. Bahkan, berdasarkan data resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dikutip laman infopangan, harga daging sapi di Kelapa Gading mencapai Rp160 ribu per kilogram (kg).
Tingginya harga ini membuat para konsumen dan pedagang resah. Alfan (37) salah satu pedagang di Pasar SS Klender, Jakarta Timur, mengatakan harga tersebut sudah bertahan selama empat bulan, dari yang sebelumnya Rp90 ribu per kg.
Mencermati ragam statement penguasa atas persoalan harga pangan akhir-akhir ini, menjadi bukti paling jelas ketidakberdayaan pemerintah dalam mengendalikan harga.
Menyoal harga bawang merah yang tinggi, Mentan (Menteri Pertanian) menyatakan bahwa: Bawang impor berpeluang kembali untuk di ekspor. (Republika.co.id).
Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengungkapkan, rencana impor bawang merah sebanyak 2.500 ton. Kalaupun bawang impornya tidak dipakai, kita bisa ekspor lagi kalau perlu, ujarnya.
Wakil Presiden Yusuf Kalla dan Ketua MPR Zulfikli Hasan menyatakan tidak masalah harga bahan pangan naik menjelang Ramadhan, sekali-kali biarlah dinikmati oleh petani.
Siapa yang bisa menjamin harga pangan di tingkat konsumen bisa dinikmati oleh petani?
Justru disinilah persoalan distribusi pangan kita. Bahwa petani kita kebanyakan hanya melakukan budidaya dan produksi, sementara mereka tidak memahami dan mengetahui kondisi pasar. Yang menguasai pasar pangan kita selama ini adalah broker, para pemodal. Dan hasrat mereka saat menguasai pasar adalah untung. Tidak peduli petani selalu buntung.
Sebagai contoh, beberapa saat yang lalu Kementerian Pertanian (Kementan) mengaku heran tentang harga cabe.
Saat harga cabe di Jakarta meroket, di tingkat pedagang eceran, cabai rawit kini harganya sampai Rp 80.000-90.000/kg, sedangkan cabai merah keriting mencapai Rp 70.000/kg.
Kementerian Pertanian (Kementan) mengaku heran, sebab harga di petani tak mengalami kenaikan signifikan. Di Garut misalnya, harga cabai di tingkat petani hanya Rp 26.000- Rp 27.000/kg, sangat jauh di bawah harga cabai ketika sampai di Jakarta.
Ungkapan para petinggi negara di atas, menjadi bukti bahwa pemerintah tunduk kepada broker, para pemodal dalam persoalan politik pangan.
Yang seharusnya dilakukan selevel Mentan (Menteri Pertanian) dan pejabat pemerintah lainnya adalah melakukan politik harga pangan agar negara ini bisa mandiri. Terlebih potensi pangan di negara kita luar biasa.
Kejahatan Kartel Atas Distribusi Stok Pangan
Menyikapi kenaikan harga pangan, Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Muhammad Syarkawi, Jumat (13/11) menyebutkan adanya lima kartel yang mempermainkan harga beras.
Dalam kamus Oxford, kartel atau cartel didefinisikan, Cartel is a group of separate business firms wich work together to increase profits by not competing with each other. Artinya, kartel adalah sebuah kelompok (grup) dari berbagai badan hukum usaha yang berlainan yang bekerja sama untuk menaikkan keuntungan masing-masing tanpa melalui persaingan usaha dengan pelaku usaha lainnya. Mereka adalah sekelompok produsen atau pemilik usaha yang membuat kesepakatan untuk melakukan penetapan harga, pengaturan distribusi dan wilayah distribusi, termasuk membatasi suplai. Dalam buku Black’s Law Dictionary (kamus hukum dasar yang berlaku di Amerika Serikat), praktik kartel (cartel) didefinisikan, A combination of producer of any product joined together to control its productions its productions , sale and price, so as to obtain a monopoly and restrict competition in any particular industry or commodity. Artinya, kartel merupakan kombinasi di antara berbagai kalangan produsen yang bergabung bersama-sama untuk mengendalikan produksinya, harga penjualan, setidaknya mewujudkan perilaku monopoli, dan membatasi adanya persaingan di berbagai kelompok industri. Dari definisi tersebut, praktik kartel bisa dilakukan oleh kalangan produsen manapun atau untuk produk apapun, mulai dari kebutuhan pokok (primer) hingga barang kebutuhan tersier.
Di Indonesia, lima kartel disinyalir sengaja merancangkan suatu persekongkolan tidak sehat yang berakibat terjadinya kelangkaan pasokan beras yang berujung kenaikan harga yang tidak wajar. Di setiap provinsi ada 5 sampai 7 pemain besar. Pemain-pemain besar inilah yang menentukan harga, kata Syarkawi.
Adapun tentang kartel daging sapi, dia menyebutkan, perusahaan yang menjalankan praktik kartel berasal dari dalam negeri, tetapi menjalin hubungan dengan perusahaan asing. Disebutkan, perusahaan-perusahaan itu bersekongkol dengan cara menahan pasokan daging sapi mulai dari feed loter sampai ke rumah potong hewan.Jadi, temuan kami di lapangan waktu sidak di Rumah Potong Hewan, sejak seminggu sebelum Idul Fitri mereka masih memotong sapi 30 ekor per hari. Tapi setelah sebulan jumlah sapi yang dipotong berkurang terus sampai hanya 8 ekor per hari, katanya.
Menurut pengamat ekonomi Ichsanuddin Noorsy, dalam diskusi bertema “Monopoli dan Stabilitas Harga Menjelang Ramadhan 1437 H”, di Media Center DPR, Jakarta, Kamis (2/6), Kartel-kartel pangan sangat memanfaatkan tidak seragamnya data kebutuhan pangan dari Badan Pusat Statistik, Kementerian Pertanian, dan Bulog.
Data yang berbeda-beda dari tiga lembaga pemerintah pusat itu menyuburkan permainan lima kartel dalam memainkan harga kebutuhan pangan di Indonesia.
“Kalau Wantimpres rapat dan memutuskan harga daging sapi Rp 80 ribu per kilogram, maka satu-satunya jalan adalah impor karena pemerintah tidak punya kebijakan yang antisipatif,” terang Noorsy.
Dengan demikian kalau masalah yang sama ini selalu gagal berulang-ulang, berarti ada birokrasi dan pengusaha (kartel) serta parpol yang selalu bermain.
Yang terjadi adalah pemiskinan struktural karena kebijakan pemerintah tidak menyelesaikan secara struktural.
Pengusaha dan bandar tidak berubah, pemerintah terus dikendalikan oleh bandar. Jadi, selama 15 tahun reformasi ini Indonesia tidak pernah mencapai kedaulatan dan ketahanan pangan,” ungkap Noorsy.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf mengatakan, kartel di Indonesia saat ini memasuki tahap kejahatan luar biasa.
Ada beberapa usaha yang dikartelkan, di antaranya industri farmasi, daging ayam, daging sapi, bawang merah dan bawang putih, ban mobil ring 14 dan 15, pelayanan pesan singkat (SMS) oleh beberapa operator telekomunikasi.
Daging ayam, misalnya, harga di peternak setelah diteliti hanya antara Rp10 ribu sampai Rp15 ribu per kilogram. Sementara harga di tingkat pasar modern, pasar tradisional melonjak menjadi Rp30 ribu hingga Rp40 ribu.
“Di sini sudah terjadi disparitas harga yang begitu tinggi. Bahkan, pemerintah pernah meminta untuk melakukan pengafkiran enam juta ekor ayam di Indonesia karena terjadi kelebihan stok daging ayam,” katanya.
Padahal, Indonesia merupakan negara agraris dengan tingkat keanekaragaman hayati, termasuk pangan yang berlimpah. Lebih dari 6.000 jenis tumbuhan berbunga, baik liar maupun budidaya, telah dikenal dan dimanfaatkan untuk keperluan bahan makanan, pakaian, perlindungan, dan obat-obatan. Masyarakat Indonesia tidak kurang mengkonsumsi 100 jenis tumbuhan dan biji-bijian sebagai sumber karbohidrat. Tidak kurang dari 100 jenis kacang-kacangan, 450 jenis buah-buahan, serta 250 jenis sayur-sayuran dan jamur (KMNKH 2007, Situs Lingkungan Hidup Indonesia 2006, Jakarta).
Titik masalahnya ada pada politik atau kebijakan dari pemerintah. Dan politik ekonomi pertanian itu adalah persoalan distribusi. Sementara yang menguasai distribusi pangan kita, termasuk menjadi pengendali harga di tingkat produsen atau pasar, selama ini adalah para pemodal tadi.
Seharusnya, jika pemerintah serius dan berpihak kepada rakyat, yang dilakukan adalah memotong mata rantai distribusi yang membingungkan.
Sistem politik demokrasi menjadikan penguasa tidak berdaya menjalankan politik pangan yang berpihak kepada rakyat. Hanya dalam sistem yang Allah berikan, yakni sistem Khilafah Islamiyyah ala Minhaj Nubuwwah politik pertanian akan berpihak pada kemaslahatan rakyat.
Strategi kedaulatan dan ketahanan pangan dalam masyarakat yang dijalankan Negara Khilafah
Terkait dengan dominasi kejahatan kartel dalam situasi kekacauan penyediaan stok pangan di Indonesia, maka pembenahan Negara Khilafah akan dilakukan pada kebijakan distribusi, kebijakan ketersediaan pangan, dan pemberian jaminan kesejahteraan dari negara.
Kebijakan distribusi: cepat, pendek, merata
Islam memandang individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan-kebutuhan primernya secara menyeluruh. Penataan distribusi kekayaan oleh negara Khilafah dilaksanakan dalam keseluruhan sistemnya, mulai dari penentuan kepemilikan harta kekayaan, pengelolaannya, dan juga pendistribusiannya bagi kemaslahatan warga negaranya. Bahkan apabila masyarakat mengalami kesenjangan antar individu, negara dalam hal ini khalifah diwajibkan memecahkannya dengan mewujudkan kemerataan/ keseimbangan harta dalam masyarakat, dengan cara memberikan harta negara yang menjadi hak miliknya kepada orang-orang yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya. Dan kesemua itu dilaksanakan melalui mekanisme yang cepat, pendek, dan merata sehingga seluruh individu rakyat dapat dengan mudah memperoleh hak-haknya, terutama terkait dengan aspek vital kebutuhan mereka, seperti kebutuhan pokok pangan.
Adapun kartel, maka itu adalah praktek ekonomi tidak sehat yang dilarang. Praktek ekonomi jahat semacam itu tidak memiliki tempat dalam Negara Khilafah. Para pelakunya akan disidang dalam pengadilan Hisbah, dan diganjar hukuman berat dari Islam. Sistem peradilan ini bisa berjalan efektif, karena Islam menutup semua celah terhadap para pejabat negara untuk berkolaborasi dengan para pengusaha dalam mengeksploitasi penyediaan kebutuhan umum. Kebijakan ketersediaan pangan
Ketersediaan kebutuhan pangan merupakan hal penting yang dijamin oleh Khilafah. Oleh karenanya Khilafah harus memperhatikan peningkatan produktivitas pertanian, pembukaan lahan-lahan baru, dan penghidupan tanah mati, serta pelarangan terbengkalainya tanah. Hal ini dilakukan untuk mengoptimalkan produksi lahan-lahan pertanian, agar stok kebutuhan pangan selalu tersedia untuk rakyatnya. Dan sebagai proteksi terhadap ketersediaan pangan ini khilafah melarang adanya praktek penimbunan barang (termasuk menimbun bahan kebutuhan pokok), karena hal ini akan menyebabkan kelangkaan bahan bahan kebutuhan pokok tersebut. Ketikapun hal itu terjadi, Khalifah harus mencegah masuknya tangan-tangan asing dalam pengelolaan bidang pertanian ini, baik lewat industri-industri pertanian asing maupun melalui perjanjian multilateral, seperti WTO, FAO, dan lain-lain, karena ini akan sangat membahayakan kedaulatan pangan negara khilafah sendiri.
Para petani dan peternak dalam Negara Khilafah juga sangat terpacu meningkatkan kapasitas produksinya karena mereka memiliki akses langsung ke pasar. Negara Khilafah membangun fasilitas-fasilitas yang memudahkan distribusi produk ke pasar-pasar, memudahkan bertemunya produsen langsung dengan para konsumen. Tidak dikenal istilah 2 harga, harga di tingkat petani dan harga di tingkat konsumen, apalagi dengan disparitas yang sangat jauh. Di masa Khulafaur-Rasyidin, Khalifah Umar bin Khattab pernah membangun jembatan penghubung 2 benua untuk memudahkan mobilitas masyarakat, meski harus menyerap anggaran Baitul Mal yang sangat besar.
Adapun penerapan zakat secara sistemik oleh negara, ternyata memberikan stimulus tersendiri. Dalam kebijakan fiskal Bayt al-Mal , sistem zakat tidak menimbulkan ekses negatif terhadap harga maupun jumlah yang diperdagangkan. Untuk zakat ternak, kebijakan fiskal Bayt al-Mal menerapkan sistem yang regressive untuk memberikan insentif meningkatkan produksi. Makin banyak ternak yang dimiliki, makin kecil rate zakat yang harus dibayar. Hal ini akan mendorong tercapainya skala produksi yang lebih besar dan terciptanya efisiensi biaya produksi. Sistem regressive ini hanya berlaku untuk zakat ternak, karena bila terjadi kelebihan pasokan, ternak tidak akan busuk seperti sayur atau buah-buahan. Harga tidak akan jatuh karena kelebihan pasokan. Kebijakan regressive rate ini akan mendorong peternak untuk memperbesar skala usahanya dengan biaya produksi yang rendah. Hal ini mengakibatkan semakin besarnya supply hewan ternak dengan harga yang relatif murah.
Jaminan Kesejahteraan dari Pemberian Negara
Kesejahteraan merupakan sesuatu yang didambakan kita semua, jaminan inipun selayaknya akan diberikan oleh negara khilafah kepada seluruh warga negaranya tanpa kecuali. Apalagi yang menyangkut kebutuhan vital, maka dalam pelaksanaannya negara tidak dibenarkan membuat kebijakan-kebijakan yang memberatkan rakyatnya. Syariat Islam telah menetapkan pembiayaan atas berbagai keperluan dibebankan kepada negara dari baitul mal, hal ini pun dilakukan ketika mekanisme penjaminan kebutuhan itu belum dipenuhi secara layak melalui hukum nafkah. Banyak sekali ayat-ayat di dalam Al Quran dan Al Hadits yang memerintahkan manusia untuk menginfakkan harta dan memberi makan orang-orang fakir, miskin, dan yang kekurangan, seperti dalam QS Al Hajj:28; Al Baqarah: 177,184, 215; Al Insan: 8, Al Fajr: 13-14; dan Al Maidah: 89. Bahkan ketika harta dalam baitul mal tidak ada atau kurang, sementara sumbangan sukarela kaum muslim atas inisiatif mereka juga belum mencukupi, maka syariat menetapkan pembiayaannya menjadi kewajiban seluruh kaum muslimin.
Islam telah memberikan contoh, bagaimana kesigapan negara dalam membantu rakyat yang kelaparan. Khalifah Umar bin Khaththab, di suatu malam, pernah melakukan inspeksi ke perkampungan penduduk. Tanpa sengaja beliau mendengar rintihan anak menangis dari arah sebuah rumah. Beliau pun menghampiri rumah tersebut dan memperhatikannya dari luar. Ternyata anak itu menangis karena lapar, sebab orang tuanya tidak lagi memiliki bahan makanan. Sang Ibu sudah mencoba menghibur anaknya, dengan seolah-olah sedang menanak makanan, padahal yang dimasak adalah batu. Si Ibu berharap anaknya tertidur sambil menunggu makanan yang sedang dimasak. Setelah mengetahui kondisi yang terjadi, sang Khalifah pun bergegas mengambil sekarung bahan makanan dari Baitul Mal, lalu dipikulnya sendiri untuk diberikan pada keluarga yang sedang menghadapi kelaparan tersebut. Inilah wujud tanggung jawab negara dalam menjamin kebutuhan pokok rakyatnya.
Dalam konteks hubungan internasional, Islam juga menetapkan adanya kewajiban syari bagi Negara Khilafah untuk membatu negara lain yang membutuhkan bantuan pangan. Hal ini seperti apa yang pernah dilakukan oleh Khalifah Abdul Majid saat memimpin Kekhilafahan Turki Ustmani. Pada tahun 1845, terjadi kelaparan besar yang melanda Irlandia yang mengakibatkan lebih dari 1,000,000 orang meninggal. Untuk membantu mereka, Sultan Abdul Majid berencana mengirimkan uang sebesar 10,000 sterling kepada para petani Irlandia. Akan tetapi, Ratu Victoria meminta Sultan untuk mengirim 1,000 sterling saja, sebab dia sendiri hanya mengirim 2,000 sterling. Maka, Sultan pun mengirim 1,000 sterling. Namun, secara diam-diam beliau juga mengirim 3 kapal penuh makanan. Pengadilan Inggris berusaha untuk memblokir kapal itu, tapi meski demikian makanan tersebut sampai juga ke pelabuhan Drogheda dan ditinggalkan di sana oleh para pelaut Ustmani. Dengan peristiwa ini rakyat Irlandia, khususnya mereka yang tinggal di Drogheda, menjadi bersahabat dengan orang Turki. Peristiwa ini juga menyebabkan munculnya simbol-simbol Usmani di kota tersebut. Jadi ketahanan pangan di era ketika Islam diterapkan sebagai satu institusi bukan suatu ilusi belaka.
Oleh karena itu, penyatuan negeri-negeri Islam dalam Khilafah Islam, juga akan menjadi sebuah solusi, karena dengan itu akan ada sharing antar wilayah-wilayah yang ada untuk sama-sama mengupayakan tercukupinya semua kebutuhan pokok rakyat di seluruh wilayah Khilafah Islam. Sehingga kesejahteraan dan keadilan pun akan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat yang bernaung di dalamnya.
Jadi jelas, krisis pangan yang terjadi saat ini bukan karena jumlah pangan tidak mencukupi kebutuhan manusia, melainkan karena sistem distribusi yang buruk, akibat penerapan sistem ekonomi neo-liberalisme di negeri ini dan bahkan hilangnya fungsi negara dalam sistem rusak seperti ini.[]