Oleh : Adi Victoria (Humas HTI Kaltim)
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
“Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
Hadits di atas secara syarih (jelas) memberikan Khobar (berita) kepada kita bahwa selama kita menjadikan Al Qur’an dan Hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (As Sunnah) sebagai maqayis (standar) dalam berfikir dan berbuat, maka kita tidak akan tersesat. Dan memang begitulah seharusnya jika mengaku sebagai seorang Mukmin, yakni yang mengaku beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, seorang Mukmin, ketika dihadapkan kepada suatu pemahaman, maka untuk menghukumi apakah pemahaman itu benar atau salah, ia harus menjadikan Al Qur’an dan As Sunnah sebagai tolak ukurnya, bukan yang lain. Sangat aneh rasanya jika ada seorang Mukmin yang menjadikan tolak ukur selain Al Qur’an dan As Sunnah sebagai maqayis (standart) dalam menghukumi suatu pemahaman. Semisal pemahaman tersebut tidak diterima karena menurut nya tidak sesuai dengan karakter atau kearifan lokal suatu bangsa, padahal pemahaman tersebut tidak bertentangan atau bahkan bersumber dari Al Qur’an dan As Sunnah.
Sebutlah ide Khilafah misalnya. Masih saja ada sebagian umat Islam yang tidak setuju, menolak ide Khilafah. padahal Khilafah merupakan bagian dari ajaran Islam yang merupakan janji Allah subhanahu wa ta’ala kepda hambaNya yang beriman dan beramal shalih serta bisyarah atau kabar gembira dari Rasulullah SAW akan tegaknya kembali Khilafah Islamiyyah yang bermanhajkan kenabian.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala dalam Surat an Nuur ayat ayat 55 misalnya :
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِنْ بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh- sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhaiNya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahkuKu dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku; dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, mereka itulah orang-orang yang fasik“.[TQS An Nuur (24):55]
Di dalam kitab Manaahil al-‘Irfaan, juz 2/271, Imam al-Zarqaaniy menjelaskan sebab turun ayat di atas sebagai berikut, “Sebab turunnya surat An Nuur (24) ayat ke 55 ini ditunjukkan oleh sebuah riwayat yang dishahihkan oleh Imam al-Hakim dari Ubaiy bin Ka’ab ra, bahwasanya ia berkata, “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya sampai di Madinah dan orang-orang Anshor memberikan perlindungan kepada mereka, maka orang-orang Arab bersatu padu memerangi mereka. Hingga akhirnya, para shahabat dan Nabi saw tidak pernah melewati malamnya kecuali dengan perang, dan mereka senantiasa bangun di waktu pagi dalam keadaan perang. Para shahabat pun berkata, “Tahukah kalian, kapan kita bisa melewati malam-malam kita dengan aman dan tentram, dan kita tidak pernah lagi takut, kecuali hanya takut kepada Allah subhanahu wa ta’ala? Lalu, turunlah firman Allah subhanahu wa ta’ala surat An Nuur (24):55. Imam Ibnu Abi Hatim juga menuturkan dari al-Bara’, bahwasanya ia berkata, “Ayat ini turun di saat kami berada dalam ketakutan yang luar biasa. Demikianlah keadaan para shahabat pada saat itu, walaupun Allah subhanahu wa ta’ala telah berjanji kepada mereka, namun Dia tidak menyegerakan terwujudnya janji Ilahiy itu, meskipun keadaan (ketakutan) mereka benar-benar telah diluar keadaan yang normal. Hingga akhirnya, Daulah Islamiyyah di Madinah berhasil menunjukki mereka, dan Allah mengangkat mereka sebagai Khalifah yang menguasai seluruh penjuru dunia,; dan Allah mewariskan kepada mereka negeri kerajaan Kisra, Romawiy. Tidak hanya itu saja, Allah menguatkan agama yang telah diridloiNya untuk mereka, dan mengubah ketakutan mereka menjadi rasa aman”.[ Imam al-Zarqaaniy, Manaahil al-‘Irfaan, juz 12, hal. 271]
Imam Thabariy di dalam tafsirnya menyatakan; makna frase “layastakhlifannahum fi al-ardl”, adalah sesungguhnya Allah akan mewariskan bumi kaum Musyrik, baik dari kalangan Arab dan non Arab kepada mereka (umat Islam), dan menjadikan mereka sebagai penguasanya dan mengatur urusan mereka; sebagaimana Allah telah mengangkat sebagai penguasa orang-orang sebelum mereka; seperti yang dilakukan oleh Allah pada Bani Israil. Sebab, mereka (Bani Israil) berhasil mengalahkan rejim Jababirah di Syam dan menjadikan mereka sebagai penguasa daerah itu, sekaligus sebagai penduduknya.”[ Imam al-Thabariy, Tafsir al-Thabariy, juz 15, hal. 158-160]
Imam Syaukaniy, di dalam Fath al-Qadiir mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala akan menjadikan mereka sebagai khalifah atas muka bumi, yang akan mengatur semua kekuasaan di bawah kekuasaan mereka”.[ Imam Syaukaniy, Fath al-Qadiir, juz 4, hal. 47]
Semua ini menunjukkan, bahwa Khilafah al-Islamiyyah merupakan janji Allah yang paling agung bagi kaum Mukmin. Pasalnya, dengan tegaknya kekuasaan Islam ini (Khilafah al-Islamiyyah), agama Allah subhanahu wa ta’ala bisa ditegakkan secara sempurna, dan keamanan kaum Muslim bisa diwujudkan secara nyata.
Selain Janji Allah subhanahu wa ta’ala akan tegaknya Khilafah tersebut, Khilafah juga merupakan warisan ri’asah atau kepemimpinan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam generasi setelahnya.
Dalam haditsnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ تَكْثُرُ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Dahulu Bani Israil senantiasa dipimpin oleh para Nabi, setiap wafat seorang Nabi diganti oleh Nabi lainnya dan sesudahku ini tidak ada lagi seorang Nabi dan akan terangkat beberapa khalifah bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, apa yang engkau perintahkan kepada kami? Beliau bersabda: ”Tepatilah bai’atmu pada yang pertama, maka untuk yang pertama dan berilah kepada mereka haknya, maka sesungguhnya Allah akan menanyakan apa yang dipimpinya (rakyatnya).” (HR.Al-Bukhari dari Abu Hurairah, Shahih Al Bukhari dalam Kitab Bad’ul Khalqi: IV/206 no. 3196; Muslim, Shahîh Muslim, no. 3429; Ahmad, Musnad Ahmad, no. 7619.)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat lain juga menyampaikan 5 fase dari kepemimpinan atas manusia.
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنِي دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنِي حَبِيبُ بْنُ سَالِمٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ (رَوَاهُ اَحْمَدُ)
Imam Ahmad berkata, “Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy telah meriwayatkan sebuah hadits kepada kami; di mana ia berkata, “Dawud bin Ibrahim al-Wasithiy telah menuturkan hadits kepadaku (Sulaiman bin Dawud al-Thayalisiy). Dan Dawud bin Ibrahim berkata, “Habib bin Salim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir; dimana ia berkata, “Kami sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw, –Basyir sendiri adalah seorang laki-laki yang suka mengumpulkan hadits Nabi saw. Lalu, datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyaniy seraya berkata, “Wahai Basyir bin Sa’ad, apakah kamu hafal hadits Nabi saw yang berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, “Saya hafal khuthbah Nabi saw.” Hudzaifah berkata, “Nabi saw bersabda,
“Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya.
Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya.
Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya.
Setelah itu, akan datang masa raja dictator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya.
Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam”.[HR. Imam Ahmad]
Sesungguhnya masih banyak hadits-hadits yang memberitakan akan tegaknya dan kembalinya Khilafah Rasyidah ‘ala minhajin nubuwwah.
Oleh karena itu kemudian, jika benar-benar menjadikan Al Qur;an dan As Sunnah sebagai maqayis dalam menghukumi sebuah pemahaman, dalam hal ini adalah ide Khilafah, maka seharusnya sikapnya adalah menerima, tidak kemudian dibenturkan dengan sesuatu yang merupakan hasil kesepakatan dari manusia seperti UU buatan manusia, konsep kearifan local, adat istiadat suatu bangsa, dan sebagainya. Bahkan tidak hanya menerima, melainkan juga turut berjuang agar Khilafah yang merupakan janji dari Allah subhanahu wa ta’ala dan bisyarah (kabar gembira) dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segera tegak di muka bumi ini. Insya Allah. Wallahu a’lam bisshowab.[]